English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : YBG

Xilisoft HD Video Converter 6 Full With serial

Wide range of formats support: Support HD videos like AVCHD (mts, m2ts), MKV, HD ASF, HD AVI, H.264/AVC, HD Quick Time, HD MPEG-4, and HD WMV, and general videos and audios like AVI, MPEG, WMV, MP4, 3GP, FLV, RM, MOV, MP3, WMA and AAC.

Trik dan SN Smadav Pro 8.4

Smadav 2011 Rev. 8.4 : Pendeteksian khusus untuk beberapa virus shortcut terbaru (MSO-sys, fanny-bmp),penambahan database 40 virus baru, penyempurnaan deteksi semua varian virus shortcut, penambahan teknik heuristik, dsb.

08 al-Khamr

Kartun Ahkamul Quran, merupakan kartun islamic yang memberikan tuntunan kepada kita tentang hukum-hukum dan adab-adab dalam agama islam. dan kali ini menceritakan tentang hukum meminum khamar (minuman keras)

NATURAL_HABBATUSSAUDA PLUS

HABBATUSAUDA adalah jinten hitam yang mampu membangkitkan sistem kekebalan tubuh (immunity system) yang mampu mempertahan tubuh dari serangan berbagai penyakit. Insya Alloh

Sabtu, 29 Januari 2011

Letak Strategis dan Suku-suku di Jazirah Arab

Letak dan penduduk

Jazirah Arabiyah terletak disebelah barat daya dari benua Asia, dari arah barat berbatasan dengan laut merah, dan dari arah timur berbatasab dengan teluk Arab dan teluk 'Umman, dan dari arah selatan berbatasan dengan samudera Hindia dan laut Arab, dan dari arah utara berbatasan dengan sebagian wilayah Syam dan Irak.

Dia adalah daratan yang luas, panjangnya dari utara sampai selatan diperkirakan lebih dari 1000 Km. Adapun lebarnya dari timur sampai barat, maka diperkirakan lebih dari 1500 Km. Dan di Jazirah Arabiyah tidak ada sungai-sungai, sebagian besar darinya adalah padang pasir dimana kehidupan tergantung pada air hujan. dan hujan pun jarang sekali terjadi kecuali di sebelah selatan yang terkadang turun hujan.

Bangsa Arab telah menempati daerah jazirah sejak zaman dahulu, dan diantara mereka ada yang telah punah dan dikenal dengan Arab kuno, seperti kaum 'Aad yang merupakan kaum Nabi Huud 'Alaihis salaamu, dan kaum Tsamud yang merupakan kaum dari Nabi Sholeh 'Alaihis salaam.
Adapun bangsa Arab yang masih tersisa, maka mereka terbagi menjadi dua bagian yang besar :
1. Bangsa Arab Qohthooniyah
2. Bangsa Arab 'Adnaaniyah

Bangsa Arab Qohthooniyah atau bangsa Arab selatan mereka adalah bangsa Arab yang dikembalikan asalnya kepada arabnya Ibnu Qohthoon. Dan negeri asal mereka adalah Yaman, dari sanalah mereka berkembang hingga menjadi beberapa kabilah dan marga, yang terkenal darinya ada dua kabilah, yaitu :
1. Himyar, diantara marganya adalah Za'id, Al-Jumhur, Qudho'ah, dan Sakasik
2. Kahlan, diantara marganya adalah Azd, Kindah, Hamadan, Anmar, Thoyyi', Lakhm, Aus, Madzhaj, Khazraj dan anak cucu dari Jafnah.

Anak-anak kabilah (marga) Kahlan banyak yang hijrah dari Yaman, lalu menyebar di berbagai penjuru Jazirah. Kepergian mereka diakibatkan adanya banjir besar saat mereka mengalami gagal dalam berdagang akibat tekanan dari bangsa Romawi dan dikuasainya jalur perdagangan laut, serta ada yang menyebutkan banhwa hijrahnya mereka dikarenakan adanya perselisihan dan persaingan antara marga Kahlan dan marga Himyar. kemudian kabilah-kabilah mereka terpecah dan mereka hijrah/ berpindah ke dataran-dataran lain yang banyak di Jazirah Arabiyah. Dan diantara marga Kahlan yang berhijrah dari Yaman terbagi menjadi 4 :
1. Azd, mereka meninggalkan Yaman setelah mengikuti pendapat pemuka dan sesepuh mereka, Imran bin Amr Muzaiqiya'. Mereka berpindah-pindah di negeri Yaman dan mengirim pemandu , lalu menempuh arah utara dan timur.
Tsa'labah bin Amr dari al-Azd pindah menuju Hijaz, lalu menetap diantara dua tempat yang bernama Tsa'labiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya dewasa dan kekuasaannya menguat, dia beranjak menuju Madinah, menetap dan bertempat tinggal di sana.Diantara anak keturunan Tsa'labah ini adalah Aus dan Khazraj, yaitu dua orang anak dari Haritsah bin Tsa'labah.
Diantara keturunan mereka tersebut ada yang berpindah dan menetap di kawasan Hijaz, yaitu Hartsah bin Amr (dialah Khuza'ah) dan anak keturunannya, hingga kemudian singgah di Marr Azh-Zhahran, lalu menguasai tanah suci dan mendiami Makkah serta mengekstradisi penduduk aslinya, suku-suku Jurhum.
Sedangkan Imran bin Amr, dia singgah di Omman lalu menetap di sana bersama anak-anak keturunannya, yaitu Azd Omman. kabilah-kabilah lainnya, yaitu kabilah Nashr bin al-Azd menetap di Tuhamah. Mereka lebih dikanal dengan nama Azd Syannuah.
Adapun Jafnah bin Amr, ia berangkat menuju wilayah Syam dan menetap di sana bersama anak keturunannya. Dialah bapak para raja al-Ghassasinah. kata 'al-Ghassasinah' tersebut merupakan nama sumber mata air di Hijaz yang dikenal dengan nama Ghassan. Sebelum pindah ke wilayah Syam, mereka pernah singgah di sana terlebih dahulu.
Adapun bangsa Arab 'Adnaaniyah , mereka adalah keturunan Nabiyulloh Ismaa'iil 'Alaihis salaam dan istrinya. dan mereka menjadikan daerah Hijaz dan Tihaamah dan sekitarnya dari daerah utara sebagai negeri mereka. Dan kabilah-kabilah yang paling terkenal dari 'Adnaaniyah ada dua kabilah, yaitu Quraisy dan Tamiim.

2. Lakhm dan Judzam, mereka pindah ke bagian timur dan utara. di kalangan Lakhm ini terdapat seorang yang bernama Nashr bin Rabi'ah. Dia adalah bapak para raja al-Manadzirah di Hirah.
3. Bani Thayyi', setelah perjalananyang dilakukan oleh Azd, mereka pindah ke arah utara hingga di kawah dua bukit Aja dan Salma. Dan akhirnya tinggal di sana sehingga kedua gunung tersebut dikenak dengan nama dua gunung Thayyi'.
4. Kindah, mereka singgah di Bahrain, kemudian mereka terpaksa pindah dan singgah di Hadhramaut. Sepertinya mereka mengalami cobaan yang sama seperti ketika di Bahrain. Kemudian mereka mampir di Najd. Di sana, mereka membentuk pemerintahan besar dan diperhitungkan namun pemerintahan itu demikian tumbang tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Ada lagi satu kabilah dari Himyar yaitu Qudha'ah, terlepas dari masih diperselisihkan penisbatannya kepada Himyar, yang meninggalkan Yaman dan bermukim di daerah pedalaman as-Samawah yang terletak di pinggiran Irak.

Adapun Arab 'Adnaaniyah, nenek moyang mereka yang tertua adalah Nabi Ibrahim 'alaihi sallam, yang berasal dari negeri Irak, dari sebuah kota yang disebut Ar. Kota ini terletak ditepi sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah. Sebagaimana yang telah di ketahui, Ibrahim telah berhijrah dari sana menuju Haran dan Hirran, setelah itu menuju ke Palestina kemudian beliau jadikan sebagai markas dakwah beliau. Beliau banyak melakukan perjalanan ke pelosok negeri ini dan selainnya. Beliau pernah sekali mengunjungi Mesir, Kala itu Fir'aun (sebutan bagi penguasa Mesir atau sering juga disebut Ramses) berupaya untuk memperdaya dan berniat buruk terhadap istri nabi Ibrahim yaitu Sarah. Namun Alloh membalas tipu dayanya dan menjadikan tipu daya tersebut berbalik padanya. Maka, tersadarlah Fir'aun betapa dekatnya hubungan Sarah dengan Alloh hingga akhirnya ia jadikan anaknya (Hajar) sebagai abdi sarah. Hal itu ia lakukan sebagai pengakuannya terhadapan keutamaan Sarah, kemudian Hajar dikawinkan oleh Sarah dengan Ibrahim, dikarenakan Sarah sampai saat itu tidak memberikan keturunan. Ibrahim kembali ke Palestina, sementara dari hasil pernikahan barunya dengan Hajar tersebut Alloh mnganugrahkannya anak bernama Ismail. Sarah terbakar api cemburu karenanya sehingga memaksa Ibrahim untuk mengasingkan Hajar dan putranya yang masih kecil.
Maka beliau membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang gersang dan tandus di sisi Baitul haram yang saat itu hanyalah tanah tinggi berupa gundukan-gundukan yang bilamana air bah datang, ia akan mengalir di sisi kanan dan sisi kirinya. Beliau menempatkan keduanya di dalam tenda ( diatas mata air zamzam bagian atas masjid haram sekarang). Pada saat itu tak ada seorang pun yang tinggal di Makkah dan tidak ada pulamata air. Beliau meletakan di dekat mereka berdua kantung kulit yang berisi kurma, dan wadah air. Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Berselang beberapa hari , bekal dan air pun habis, sementara di tempat itu tidak ada mata air yang mengalir. Ketika itu lah mata air zamzam memancar berkat karunia Alloh, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan mereka berdua hingga beberapa waktu tertentu. Kisah mengenai hal ini akan dan seterusnya akan di lanjutkan di post yang akan datang.

Jumat, 28 Januari 2011

QADHA’ & QADAR


PENGERTIAN TAUHID DAN MACAM – MACAMNYA

Walaupun masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisian di kalangan umat Islam, tetapi Allah Azza wa Jalla telah membuka hati para hambaNya yang beriman, yaitu para salaf shaleh yang mereka itu senantiasa menempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha’ dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah Azza wa Jalla atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk dalam salah satu diantara tiga macam tauhid menurut pembagian ulama:

Pertama : tauhid AL- Uluhiyah, ialah mengesakan Allah Azza wa Jalladalam beribadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata.

Kedua : tauhid Ar- Rububiyah, ialah mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam perbuatanNya , yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang mencipta , menguasai dan mengatur alam semesta ini.

Ketiga : tauhid Al- Asma’ was- Shifat, ialah mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam asma’ dan
sifatNya. artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Azza wa Jalla dalam dzat, asma’; maupun sifat.

Iman kepada qadar adalah termasuk tauhid Ar- Rububiyah. Oleh karena itu imam Ahmad rahimahullah berkata : “qadar adalah merupakan kekuasaan Allah Azza wa Jalla “.karena tak syak lagi, qadar ( takdir ) termasuk qudrat dan kekuasanNya yang menyeluruh, di samping itu, qadar adalah rahasia Allah Azza wa Jalla yang tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahuinya kecuali Dia, tertulis pada lauh mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat
melihatnya. Kita tidak tahu, takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar.

PENDAPAT – PENDAPAT TENTANG QADAR

Pembaca yang budiman. Umat Ialam dalam masalah qadar ini terpecah menjadi tiga golongan :

Pertama: mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar dan menolak adanya kehendak dan kemampuan makhluk. Mereka berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan keinginan, dia hanya disetir dan tidak mempunyai pilihan, laksana pohon yang tertiup angin. Mereka tidak membedakan antara perbuatan manusia yang terjadi dengan kemauannya dan perbuatan yang terjadi tanpa kemauannya, tentu saja mereka ini keliru dan sesat, kerena sudah jelas menurut agama, akal dan adat kebiasaan bahwa manusia dapat membedakan antara perbuatan yang di kehendaki dan perbuatan yang terpaksa.

Kedua: mereka yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk sehingga mereka menolak bahwa apa yang diperbuat manusia adalah karena kehendak dan keinginan Allah Azza wa Jalla serta diciptakan olehNya. Menurut mereka, manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya. Bahkan ada diantara mereka yang mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia kecuali setelah terjadi. Mereka inipun sangat ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk.

Ketiga : mereka yang beriman, sehingga diberi petunjuk eleh Allah Azza wa Jalla untuk menemukan kebenaran yang telah diperselisihkan. Mereka itu adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Dalam masalah ini mereka menempuh jalan tengah dengan berpijak di atas dalil syar’i dan dalil aqli. Mereka berpendapat bahwa perbuatan yang dijadikan Allah Azza wa Jalla di alam semesta ini terbagi atas dua macam :

1- perbuatan yang dilakukan oleh Allah Azza wa Jalla terhadap makhlukNya. Dalam hal ini tak ada kekuasaan dan pilihan bagi siapapun. Seperti turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, kehidupan, kematian, sakit, sehat dan banyak contoh lainnya yang dapat disaksikan pada makhluk Allah Azza wa Jalla. Hal seperi ini, tentu saja tak ada kekuasaan dan kehendak bagi siapapun kecuali bagi Allah Azza wa Jalla yang maha esa dan kuasa.

2- Perbutan yang dilakukan oleh semua makhluk yang mempunyai kehendak. Perbuatan ini
terjadi atas dasar keinginan dan kemauan pelakunya; karena Allah Azza wa Jalla menjadikannya untuk mereka. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
Artinya : “Bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus”. (At Takwir: 28).

Artinya : “Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat”.( Ali Imran : 152)

Artinya : “ Maka barang siapa yang ingin ( beriman ) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin ( kafir ) biarlah ia kafir “( Al Kahfi: 29)

Manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi kerena kehendaknya sendiri dan yang terjadi karena terpaksa. Sebagai contoh, orang yang dengan sadar turun dari atas rumah melalui tangga, ia tahu kalau perbuatannya atas dasar pilihan dan kehendaknya sendiri. Lain halnya kalau ia terjatuh dari atas rumah, ia tahu bahwa hal tersebut bukan karena kemauannya. Dia dapat membedakan antara kadua perbutan ini, yang pertama atas dasar kumauannya dan yang kedua tanpa kemauannya. Dan siapapun mengetahui perbedaan ini. Begitu juga orang yang menderita sakit beser umpamanya, ia tahu kalau air kencingnya keluar tanpa kemauanya. Tetapi apa bila ia sudah sembuh, ia sadar bahwa air kencingnya keluar dengan kemauannya. Dia mengetahui perbedaan antara kedua hal ini dan tak ada seorangpun yang mengingkari adanya perbedaan tersebut.

Demikian segala hal yang terjadi pada diri manusia, dia mengetahui, perbedaan antara mana yang terjadi dengan kumauannya dan mana yang tidak. Akan tetapi, karena kasih sayang Allah Azza wa Jalla , ada diantara perbuatan manusia yang terjadi atas kemauannya namun tidak dinyatakan sebagai perbuatannya. Seperti perbuatan orang yang kelupaan, dan orang yang sedang tidur. Firman Allah Azza wa Jalla dalam kisah Ashabul kahfi :

Artinya : “ ..Dan kami balik – balikkan mereka ke kanan dan ke kiri …” (Al- Kahfi: 18)

Padahal mereka sendiri yang sebenarnya berbalik ke kanan dan berbalik ke kiri, tetapi Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa Dialah yang membalik – balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sebab orang yang sedang tidur tidak mempunyai kemauan dan pilihan serta tidak mendapatkan hukuman atas perbuatannya. Maka perbuatan tersebut di nisbahkan kepada Allah Azza wa Jalla.

Dan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “ Barang siapa yang lupa ketika dalam keadaan berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, kerena Allah Azza wa Jalla yang memberinya makan dan minum “

Dinyatakan dalam hadits ini, bahwa yang memberi makan dan minum adalah Allah Azza wa Jalla , karena perbuatannya tersebut terjadi di luar kesadarannya, maka seakan – akan terjadi tanpa
kemauannya. Kita semua mengetahui perbedaan antara perasan sedih atau perasaan senang yang kadang kala dirasakan seseorang dalam dirinya tanpa kemauannya serta dia sendiri tidak mengetahui sebab dari kedua perasaan tersebut yang timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh dirinnya sendiri. Hal ini, alhamdulillah, sudah cukup jelas dan gamblang.

SANGGAHAN ATAS PENDAPAT PERTAMA

Pembaca yang budiman Seandainnya kita mengambil dan mengikuti pendapat golongan yang pertama, yaitu mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar, niscaya sia-sia lah syari’at ini dari tujuan semula. Sebab bila dikatakan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam perbuatannya, berarti tidak perlu dipuji atas perbuatannya yang terpuji dan tidak perlu dicela atas perbuatannya yang tercela. Karena pada hakekatnya perbuatan tersebut dilakukan tanpa kehendak dan keinginan darinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Allah Azza wa Jalla maha suci dari pendapat dan paham yang demikian ini. Adalah merupakan kezhaliman, jika Allah Azza wa Jalla menyiksa orang yang berbuat maksiat yang perbuatan maksiat tersebut terjadi bukan dengan kehendak dan keinginannya. Pendapat seperti ini sangat jelas bertentangan dengan firman Allah Azza wa Jalla :

Artinya : “ Dan ( malaikat ) yang menyertai dia berkata : ‘ inilah (catatan amalnya ) yang tersedia pada sisiku, Allah berfirman : “ lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala; yang sangat enggan melakukan kebaikan, melanggar batas lagi ragu-ragu; yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat (pedih ). Sedang ( syaitan ) yang menyertai dia berkata : “ ya Robb kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh’. Allah berfirman : “ Janganlah kamu bertengkar dihadapanku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu. Keputusan di sisiKu tidak dapat di ubah, dan aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hambaKu ( Qaaf : 23- 29)

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa siksaan dariNya itu adalah kerena keadilanNya, dan sama sekali Dia tidak zhalim terhadap hamba-hambaNya. Sebab Allah Azza wa Jalla telah memberikan peringatan dan ancaman kepada mereka, telah menjelaskan jalan kebenaran dan jalan kesesatan bagi mereka, akan tetapi mereka memilih jalan kesesatan, maka mereka tidak akan memiliki alasan di hadapan Allah Azza wa Jalla untuk membantah keputusanNya. Andaikata kita menganut pendapat yang batil ini, niscaya sia-sialah firman Allah Azza wa Jalla ini :

Artinya: “( kami utus mereka) sebagai rasulrasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah di utusnya Rasul-rasul itu. Dan Allah maha Perkasa lagi maha Bijaksana “. ( An- Nisaa’ : 165)

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa tidak ada alasan lagi bagi manusia setelah di utusnya para Rasul, karena sudah jelas hujjah Allah Azza wa Jalla atas mereka. Maka seandainya masalah qadar bisa dijadikan alasan bagi mereka, tentu alasan ini akan tetap berlaku sekalipun sesudah di utusnya para Rasul. Karena qadar ( takdir) Allah Azza wa Jalla sudah ada sejak dahulu sebelum diutusnya para Rasul dan tetap ada sesudah di utusnya mereka. Dengan demikian pendapat ini adalah batil karena tidak sesuai dengan nash ( dalil ) dan kenyataan, sebagaimana telah kami uraikan dengan contoh- contoh di atas.

SANGGAHAN ATAS PENDAPAT KEDUA

Adapun pendapat kedua, yaitu pendapat golongan yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan manusia, maka pendapat inipun bertentangan dangan nash dan kenyataan. Sebab banyak ayat yang menjelaskan bahwa kehendak manusia tidak lepas dari kehendak Allah Azza wa Jalla. Firman Allah :

Artinya : “ ( yaitu ) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki ( menempuh jalan itu) kecuali apabila di kehendaki oleh Allah, Tuhan semesta Alam “.(At Takwir : 28- 29)

Artinya : Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” ( Al Qashash: 68)

Artinya: “ Allah menyeru ( manusia ) ke Darussalam ( surga ), dan menunjuki orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus (Islam)” (Yunus: 25).

Mereka yang menganut pendapat ini sebenarnya telah mengingkari salah satu dari rububiyah Allah, dan berprasangka bahwa ada dalam kerajaan Allah ini apa yang tidak dikehendaki dan tidak di ciptakanNya. Padahal Allah lah yang menghendaki segala sesuatu, menciptakannya dan
menentukan qadar ( takdir) nya. Sekarang kalau semuanya kembali kepada kehendak Allah dan segalanya berada di Tangan Allah, lalu apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh seseorang apa bila dia telah di takdirkan Allah tersesat dan tidak dapat petunjuk ?
Jawabnya : bahwa Allah Azza wa Jalla menunjuki orang-orang yang patut mendapat petunjuk dan menyesatkan orang-orang yang patut menjadi sesat. Firman Allah :

Artinya: “ Maka tatkala mereka berpaling ( dari kebenaran ) Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”.( Ash Shaf : 5)

Artinya : “( tetapi ) kerena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mareka dan Kami jadikan hati mereka keras mambatu, mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang mereka yang telah di beri peringatan dengannya” . (Al Ma’idah : 13)
Di sini Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa Dia tidak menyesatkan orang yang sesat kecuali disebabkan oleh dirinya sendiri. Dan sebagaimana telah kami terangkan tadi bahwa manusia tidak dapat mengetahui apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk dirinya. Karena dia tidak mengetahui takdirnya kecuali apabila sudah terjadi, maka dia tidak tahu apakah dia ditakdirkan Allah menjadi orang yang tersesat atau menjadi orang yang mendapat petunjuk.
Kalau begitu, mengapa jika seseorang menempuh jalan kesesatan lalu berdalih bahwa Allah Azza wa Jalla telah menghendakinya demikian ? Apa tidak lebih patut baginya menempuh jalan kebenaran kemudian mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menunjukkan kepadaku jalan kebenaran. Pantaskah dia menjadi orang yang jabri kalau tersesat dan qadari (1) kalau berbuat
kebaikan? Sungguh tak pantas seseorang menjadi jabri ketika berada dalam kesesatan dan kemaksiatan, kalau ia tersesat atau berbuat maksiat kepada Allah Azza wa Jalla ia mengatakan : “ ini sudah takdirku, dan tak mungkin aku dapat keluar dari ketentuan dan takdir Allah”; tetapi ketika berada dalam ketaatan dan memperoleh taufiq dari Allah untuk berbuat ketaatan dan kebaikan ia mengatakan : “ ini kuperoleh dari diriku sendiri”. Dengan demikian ia menjadi qadari dalam segi ketaatan dan menjadi jabri dalam segi kemaksiatan. Ini tidak dibenarkan sama sekali, sebab sebenarnya manusia mempunyai kehendak dan kemampuan. Masalah hidayah persis seperti masalah rizki dan menuntut ilmu. Sebagaimana kita semua tahu bahwa manusia telah ditentukan untuknya rizki yang menjadi bagiannya. Namun demikian dia tetap berusaha untuk mencari rizki ke sana dan kemari baik di daerahnya sendiri atau di luar daerahnya. Tidak duduk di rumah saja saraya berkata : “ kalau sudah ditakdirkan untukku rizkiku tentu ia akan (1 ) Jabri ialah orang yang berpendapat bahwa manusia itu terpaksa dalam perbuatannya, tidak mempunyai kehendak dan keinginan. Qadari ialah orang yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya dan mengingkari adanya takdir. datang dengan sendirinya”. bahkan dia akan berusaha untuk mencari rizki tersebut. Padahal rizki ini disebutkan bersamaan dengan amal perbuatan, sebagaimana di sebutkan dalam hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA:
“Sesungguhnya kalian ini dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibu selama empat puluh hari berupa air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama empat puluh hari pula, kemudian berubah menjadi segumpal daging selama empat puluh hari pula, lalu Allah mengutus
seorang malaikat yang diberi tugas untuk mencatat empat perkara, yaitu rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya dan apakah ia termasuk orang celaka atau bahagia”.

Jadi rizki inipun telah tercatat seperti halnya amal perbuatan, baik ataupun buruk, juga telah
tercatat. Kalau begitu, mengapa anda pergi kesana ndan kemari untuk mencari rizki dunia tetapi tidak berbuat kebaikan untuk mencari rizki akherat dan mendapatkan kebahagiaan surga ? padahal keduaduanya adalah sama, tidak ada perbedaannya. Jika anda mau berusaha untuk mencari rizki dan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan anda, sehingga kalau anda sakit, pergi kemanapun untuk mencari dokter ahli untuk mengobati penyakit anda, padahal anda tuhu kalau ajal telah ditentukan, tidak akan dapat bertambah dan tidak maupun berkurang. Anda tidak bersikap pasrah sambil berkata : “ sudahlah aku tetap tinggal di rumah saja meski menderita sakit , kerena kalaupun aku di takdirkan panjang umur aku akan tetap hidup”. Bahkan anda berusaha sekuat tenaga untuk mencari dokter yang ahli, yang sekiranya dapat menyembuhkan penyakit anda dengan takdir Allah . jika demikian, mengapa usaha anda di jalan akherat dan dalam amal shaleh tidak seperti usaha anda untuk kepentingan duniawi?
Sebagaiman telah aku kemukakan bahwa masalah qadar adalah rahasia Allah Azza wa Jalla
yang tersembunyi, tak mungkin anda dapat mengetahuinya. Sekarang anda di antara dua jalan : jalan yang membawa anda kepada keselamatan, kebahagiaan, kedamaian dan kemuliaan ; dan jalan yang dapat membawa anda kepada kehancuran, penyesalan, dan kehinaan. Sekarang anda sedang berdiri di antara ujung kedua jalan tersebut dan bebas untuk memilih tak ada seorangpun yang akan merintangi anda untuk melalui jalan yang kanan atau jalan yang kiri. Anda dapat pergi kemanapun sesuka hati anda. Lalu mengapa anda memilih jalan kiri (sesat) kemudian berdalih bahwa” itu sudah takdirku”? apa tidak lebih patut jika anda memilih jalan kanan dan mengatakan bahwa “ itu takdirku” ?

Untuk lebih jelasnya, apa bila anda mau bepergian ke suatu tempat dan di hadapan anda ada dua jalan. Yang satu mulus, lebih pendek dan lebih aman ; sedang yang kedua rusak, lebih panjang dan mengerikan. Tentu saja anda akan memilih jalan yang mulus, yang lebih pendek dan lebih aman, tidak memilih jalan yang tidak mulus, tidak pendek dan tidak aman. Ini berkenaan dengan jalan yang visual, begitu juga dengan yang non visual, sama saja dan tidak ada bedanya. Namun kadang kala hawa nafsulah yang memegang peran dan menguasai akal. Padahal, sebagai seorang mu’min seyogyanya akalnyalah yang harus lebih berperan dan menguasai hawa nafsunya. Jika orang menggunakan akalnya, maka akal itu menurut pengertian yang sebenarnya akan melindungi pemiliknya dari yang membahayakan dan membawanya kepada yang bermanfaat dan membahagiakan. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa manusia mempunyai kehendak dan pilihan dalam perbuatan yang di lakukannya secara sadar, bukan terpaksa. Kalau manusia berbuat dengan kehendak dan pilihannya untuk kepentingan dunia, maka iapun seharusnya begitu pula dalam usahanya menuju akherat. Bahkan jalan menuju akherat lebih jelas. Karena Allah Azza wa Jalla telah menjelaskannya dalam Al-Qur’an dan melalui sabda RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa Salam , maka jalan menuju akherat tentu saja lebih jelas dan lebih terang daripada jalan untuk kepentingan dunia. Namun kenyataannya, manusia mau berusaha untuk kepentingan dunia yang tidak terjamin hasilnya dan meninggalkan jalan menuju akhirat yang telah terjamin hasilnya dan diketahui balasannya berdasarkan janji Allah Azza wa Jalla , dan Allah Azza wa Jalla tidak akan menyalahi janjiNya. Pembaca yang budiman Inilah yang menjadi ketetapan Ahlussunnah Wal Jamaah dan inilah yang menjadi aqidah serta madzhab mereka, yaitu bahwa manusia berbuat atas dasar kemauannya dan berkata menurut keinginannya, tetapi keinginan dan kemauannya itu tidak lepas dari kemauan dan kehendak Allah Azza wa Jalla. Dan Ahlussunnah Wal Jamaah mengimani bahwa kehendak Allah Azza wa Jalla tidak lepas dari hikmah kebijaksanaanNya, bukan kehendak yang mutlak da absolut, tetapi kehendak yang senantiasa sesuai dengan hikmah kebijaksanaanNya. Karena di antara asma Allah Azza wa Jalla adalah AL- HAKIM yang artinya Maha Bijaksana yang memutuskan segala sesuatu dan bijaksana dalam keputusanNya. Allah Azza wa Jalla dengan sifat hikmahNya, menentukan hidayah bagi siapa yang di kehendakiNya yang menurut pengetahuanNya benar-benar menginginkan al-haq dan hatinya dalam istiqamah. Dan dengan sifat hikmahNya pula, dia menentukan kesesatan bagi siapa yang suka akan kesesatan dan hatinya tidak senang dengan Islam. Sifat hikmah Allah Azza wa Jalla tidak dapat menerima bila orang yang suka akan kesesatan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk, kecuali jika Allah Azza wa Jalla memperbaiki hatinya dan merubah kehendaknya, dan Allah Azza wa Jalla maha kuasa atas segala sesuatu. Namun, sifat hikmahNya menetapkan bahwa setiap sebab berkait erat dengan dengan akibatNya.

TINGKATAN QADHA’ DAN QADAR

Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha’ dan qadar mempunyai empat tingkatan :
Pertama : Al-‘Ilm (pengetahuan) Artinya mengimani dan meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla maha tahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci, baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagiNya.
Kedua : Al-kitabah (penulisan) Artinya mengimani bahwa Allah Azza wa Jalla telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam lauh mahfuzh. Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya:

Artinya : “ Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja
yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (lauh mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”.(Al- Hajj:70)

Dalam ayat ini disebutkan lebih dahulu bahwa Allah Azza wa Jalla mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, kemudian dikatakan bahwa yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab lauh mahfuzh. Sebagaimana dijelaskan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam sabdanya:
“ Pertama kali tatkala Allah Azza wa Jalla menciptakan qalam (pena), Dia firmankan kepadanya : tulislah!. Qalam itu berkata : ya Tuhanku, apakah yang hendak kutulis? Allah Azza wa Jalla berfirman : Tulislah apa saja yang akan terjadi ! maka seketika itu bergeraklah qalam itu menulis segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat”. Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam ditanya tentang apa yang hendak kita perbuat, apakah sudah ditetapkan atau tidak ? beliau menjawab : “ sudah ditetapkan”. Dan ketika beliau ditanya: “ mengapa kita mesti berusaha dan tidak pasrah saja dengan takdir yang sudah tertulis ? beliapun menjawab : “ berusahalah kalian, masing-masing akan dimudahkan menurut takdir yang telah ditentukan baginya”. Kemudian beliau membaca firman Alah :

Artinya : “ Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya( jalan) yang mudah. Sedangkan orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya (jalan) yang sukar”.( Al Lail: 5 – 10)
Oleh karena itu hendaklah anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam kepada para sahabat. Anda akan di mudahkan menurut takdir yang telah ditentukan Allah Azza wa Jalla.
Ketiga : Al- Masyiah ( kehendak ). Artinya: bahwa segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah Azza wa Jalla . hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an Al –Karim. Dan Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya, serta apa yang diperbuat para hambaNya juga dengan kehendakNya. Firman Allah :

Artinya : “ ( yaitu ) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki ( menempuh jalan itu ) kecuali apa bila dikehendaki Allah,Tuhan semesta alam”. ( At Takwir : 28 -29)

Artinya: “ jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya”. ( Al – An’am : 112)

Artinya: “ Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehandakinya”. ( Al – Baqarah : 253)

Dalam ayat – ayat tersebut Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa apa yang diperbuat oleh manusia itu terjadi dengan kehendakNya. Dan banyak pula ayat– ayat yang
menunjukkan bahwa apa yang diperbuat Allah adalah dengan kehendakNya. Seperti firman Allah :

Artinya : “ Dan kalau kami menghendaki niscaya akan kami berikan kepada tiap – tiap jiwa petunjuk ( bagi ) nya”.( As Sajdah: 13)

Artinya : “ jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu”. ( Huud : 118)

Dan banyak lagi ayat – ayat yang menetapkan kehendak Allah dalam apa yang diperbuatNya. Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar ( takdir) kecuali dengan
mengimani bahwa kehendak Allah Azza wa Jalla meliputi segala sesuatu. Tak ada yang terjadi atau tidak terjadi kecuali dengan kehendakNya. Tak mungkin ada sesuatu yang terjadi di langit ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah Azza wa Jalla.
Keempat : Al – Khalq ( penciptaan ) Artinya mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah Azza wa Jalla. Sampai “ kematian” lawan dari kehidupan itupun diciptakan . Allah. Firman Allah :

Artinya: “ Yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”.( Al Mulk : 2) Jadi segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah Azza wa Jalla. Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil perbuatan Allah adalah ciptaanNya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari, bulan, bintang, angin, manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluk ini , seperti : sifat, perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah Azza wa Jalla. Akan tetapi mungkin saja ada orang yang merasa sulit memahami, bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang kita lakukan dengan kehendak kita ini adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla?
Jawabnya : ya, memang demikian, sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena
adanya dua faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Apa bila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan kemampuan manusia adalah Allah Azza wa Jalla. Dan siapa yang menciptakan sebab dialah yang
menciptakan akibatnya. Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena dua faktor, yaitu : kehendak dan kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak akan berbuat, karena andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan dia berbuat, begitu pula andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak akan terjadi suatu perbuatan. Jika perbuatan manusia terjadi karena adanya kehendak yang
mantap dan kemampuan yang sempurna, sedangkan yang menciptakan kehendak dan kemampuan tadi pada diri manusia adalah Allah Azza wa Jalla, maka dengan ini dapat dikatakan bahwa yang menciptakan perbuatan manusia adalah Allah Azza wa Jalla.

Akan tetapi, pada hakekatnya manusialah yang berbuat, manusialah yang bersuci, yang melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa, yang melaksanakan ibadah haji dan
umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang berbuat ketaatan; hanya saja perbuatan ini ada dan terjadi dengan kehendak dan kemampuan yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla. Dan alhamdulillah hal ini sudah cukup jelas.

Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah Azza wa Jalla. Dan hal ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai pelaku perbuatan. Seperti halnya kita katakan : “api membakar” padahal yang menjadikan api dapat membakar adalah Allah Azza wa Jalla. Api tidak dapat membakar dengan sendirinya, sebab seandainya api dapat membakar dengan sendirinya, tentu ketika nabi Ibrahim AS dilemparkan ke dalam api, akan terbakar hangus. Akan tetapi, ternyata beliau tidak mengalami cidera sedikitpun, karena Allah Azza wa Jalla berfirman pada api itu :

Artinya : “ hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim”.(Al Anbiya’: 69)

Sehingga Nabi Ibrahim tidak terbakar, bahkan tetap dalam keadaan sehat walafiat. Jadi api tidak dapat membakar dengan sendirinya, tetapi Allah-lah yang menjadikan api tersebut mempunyai kekuatan untuk membakar. Kekuatan api untuk membakar adalah sama dengan kehendak dan kemampuan pada diri manusia untuk berbuat, tidak ada perbedaanya. Hanya saja, Karena manusia mempunyai kehendak, perasaan, pilihan dan tindakan, maka secara hukum yang dinyatakan sebagai pelaku tindakan adalah manusia. Dia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diperbuatnya, karena dia berbuat menurut kehendak dan kemauannya sendiri.

Oleh Syaikh Muhammad Shaleh Al`Utsaimin
Penerjemah Mayskur Mz
Copyleft 2007 – 1428 @ Maktabah Ummu Salma al-Atsari


Download Book Di sini !





Button Image Background by FreeButtons.org v2.0

Smadav 2011 Rev. 8.4

smadav antivirus indonesia
Smadav 2011 Rev. 8.4 : Pendeteksian khusus untuk beberapa virus shortcut terbaru (MSO-sys, fanny-bmp),penambahan database 40 virus baru, penyempurnaan deteksi semua varian virus shortcut, penambahan teknik heuristik, dsb.

Smadav dibuat dengan tujuan untuk membersihkan dan melindungi komputer Anda dari virus-virus lokal yang banyak menyebar di Indonesia.. Kalau Anda sering berinternet atau sering meng-install program-program baru, Anda tetap sangat disarankan untuk menggabungkan Smadav dengan Antivirus Impor (misalnya yang gratis adalah Avira, AVG, atau Avast, dan yang berbayar adalah Kasperksy, Norton, atau NOD32). Smadav bisa bekerjasama dengan hampir semua antivirus impor sehingga komputer Anda benar-benar terlindungi dari infeksi virus lokal maupun virus asing (global). Saat ini Smadav 2011 sudah mengenali sebagian besar virus lokal yang menyebarluas di Indonesia. Inilah alasan-alasan kenapa menggunakan Smadav :

  • Teknologi SmaRTP, SmaRT-Protection
  • Teknologi Smad-Behavior
  • Teknologi Smad-Lock
  • Scanner pintar (Intelligence)
  • Cleaner Dokumen Terinfeksi
  • Pembersihan & perbaikan (1500 value) Registry
  • Update terbaru di setiap Revisi
  • Senjata Manual sangat mudah digunakan
  • Gratis
  • Portable dan support OS Windows 2000/XP/Vista/7

1. Teknologi SmaRTP, SmaRT-Protection

  • Proteksi paling ringan di dunia, tercepat dan paling sedikit memakai resource komputer.
  • tidak hanya bergantung pada banyaknya database/signature, tapi juga mempunyai kepintaran (algoritma cerdas) yang bisa memproteksi komputer dari virus baru sekalipun.
  • deteksi otomatis flashdisk seketika setelah dicolok di komputer.
  • deteksi otomatis ketika ada virus saat Anda sedang meng-explore folder
  • dapat digabungkan sempurna dengan proteksi semua produk antivirus manapun.
  • mendukung semua OS Windows XP & Vista

2. Scanner pintar

  • teknologi scanner antivirus tercepat didunia hanya ada di Smadav, paling sedikit memakai resource komputer.
  • banyak metode heuristik untuk pendeteksian virus baru dan belum ada di database
  • database virus terlengkap di Indonesia karena mempunyai database yang digabungkan metode pintar pendeteksian virus
  • ada fitur “1 virus by user” dan pendeteksian tingkat keamanan sistem komputer “risk value”
  • mendukung semua OS Windows XP & Vista

3. Cleaner

  • hanya menghapus file virus dan tidak pernah menghapus dokumen
  • dokumen terinfeksi akan di-clean dan dikembalikan seperti semula
  • otomatis mengkarantina dokumen yang belum bisa di-clean, dan tidak menghapusnya
  • mendukung semua OS Windows XP & Vista

4. Pembersihan & perbaikan Registry

  • lebih dari 1000 value registry akan di-scan dan dibersihkan oleh Smadav
  • dapat berfungsi sebagai perbaikan registry, performa komputer akan jadi lebih bagus dan cepat
  • mendukung semua OS Windows XP & Vista

5. Update

  • Smadav terus mengikuti perkembangan virus yang menyebarluas di Indonesia
  • Smadav akan terus direvisi secara berkelanjutan dalam periode berubah-ubah tergantung pada perkembangan virus
  • revisi Smadav akan selalu dirilis setiap 1,2,3, atau 4 minggu sekali.
  • Tanpa di-update pun Smadav sudah sangat pintar untuk mandiri mengenali virus
  • Anda dapat memantau Update Smadav di www.smadav.net

6. Senjata Manual sangat mudah digunakan

  • 1 Virus by User, selidiki file mana yang membuat komputer Anda aneh, kemudian basmi dengan smadav.
  • Process Manager, memonitor dan dapat memanipulasi semua proses di memori
  • System Editor, ubah setting-setting rahasia dan penting di windows

7. Gratis

  • Anda tidak perlu membayar sedikit pun untuk menggunakan Smadav sepenuhnya
  • hanya ada iklan/ads/banner di situs dan program Smadav untuk menutupi biaya pengembangan Smadav & hosting situs
  • Anda dapat menjadi donatur untuk mendukung pengembangan teknologi antivirus di Indonesia

8. Team Smadav adalah team professional

  • Founder/Programmer adalah seorang Mahasiswa di salah satu Universitas unggulan di Indonesia dan Freelancer (pekerja jarak jauh) berpengalaman di perusahaan Freelance & Programming terbaik di US, dengan rating 9.75/10 dan telah menyelesaikan lebih dari 50 proyek pemrograman.
  • Team Smadav adalah team antivirus terhandal dan kumpulan sukarelawan Indonesia
  • mempunyai 3 divisi supro (support programmer), viser (virus researcher), dan forweb (forum & web)
  • dengan serius, hanya bertujuan mempraktekkan ilmu dan memajukan teknologi, sama sekali tidak bertujuan mencari keuntungan

9. Portable dan support semua OS Windows

  • tidak perlu diinstall
  • hanya satu file .exe dengan ukuran sangat kecil
  • tidak selalu di harddisk, dapat ditaruh di flashdisk, CD/DVD, atau removable media lainnya.
  • mendukung semua OS Windows XP & Vista untuk semua fitur yang ada di Smadav (Scanner, SmaRTP, Registry-Cleaner, dll.)

10. Situs antivirus terbaik dan terlengkap

  • Situs yang ringan, cepat, dan indah di www.smadav.net
  • Upload virus sangat mudah dan cepat di viri.4shared.com
  • Ada Forum antivirus untuk diskusi dan minta bantuan
  • Ada tempat chatting di Smad-Chat www.smadav.net
  • Situs Nafarin.com sebagai informasi virus dan antivirus di Indonesia terkini

11. Fitur Rahasia?

  • Untuk revisi berikutnya, Team Smadav sudah menyiapkan banyak fitur rahasia yang luar biasa
  • Fitur-fitur rahasia ini sangat luar biasa, baru, dan akan mengejutkan Indonesia khususnya Smadavers (User Smadav)
  • Programmer sedang mengembangkan fitur ini, dan jika sudah sempurna akan segera dirilis
  • Apa fitur-fitur rahasia tersebut? karena rahasia jadi tunggu saja saatnya nanti …

antivirus

Sabtu, 22 Januari 2011

KAIDAH EMAS DI DALAM MENGETAHUI RIWAYAT HADITS SHAHIH DAN DHA’IF

Kaidah di dalam Menghukumi Suatu Hadits

الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، أما بعد:

Segala puji hanyalah milik Alloh Pemelihara Alam Semesta, Sholawat dan Salam semoga senantiasa terlimpahkan atas Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Adapun setelah itu :

Berikut ini merupakan kaidah-kaidah yang mesti dilalui oleh seorang peneliti hadits atau pengkritik (nuqad) ketika menghukumi suatu hadits akan keshahihan atau kedha’ifannya.

Ketahuilah –semoga Alloh merohmatiku dan anda- bahwa menghukumi suatu hadits, baik itu keshahihan atau kedha’ifannya, melalui dua cara :

Cara Pertama : menghukumi sanad zhahirnya saja tanpa menilai matannya.

Cara kedua : menghukumi sanadnya secara bathin[1], dimana di sini matannya juga dihukumi (atau dengan kata lain, menghukumi hadits secara keseluruhan).

الخطوة الأولى: الحكم على السند ظاهراً

Cara Pertama : Menghukumi Sanad Secara Zhahir

Ada 5 hal di dalam menghukumi sanad secara zhahir :

Pertama : Membedakan seorang perawi dengan perawi lainnya.[2]

Untuk mengetahui seorang perawi ada beberapa jalan, diantaranya :

a. Murid perawi tersebut yang menjelaskannya yang tidaklah terancukan (karena keserupaan) dengan perawi lainnya, seperti Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain yang berkata : Menceritakan kepada kami Sufyan bin ’Uyainah,....

b. Dari jalan riwayat murid-murid seorang perawi dan guru-gurunya di dalam sanad yang dapat diketahui secara galibnya.[3]

c. Seorang perawi yang diketahui dengan mulazamah (menekuni) gurunya, maka apabila perawi itu memubhamkan (menyamarkan sebagian identitas) gurunya, dapat diketahui bahwa ia adalah guru perawi yang terbedakan (dengan lainnya), dan apabila tidak maka ia adalah orang lain.

Misalnya, Abu Nu’aim apabila meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri tidaklah menasabkannya (kepada ats-Tsauri,pent) namun apabila meriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah, beliau menyebutkannya.[4]

Contoh berikutnya, Sulaiman bin Harb, apabila meriwayatkan dari Hammad bin Zaid tidak menasabkannya, namun apabila meriwayatkan dari Hammad bin Salamah beliau menasabkannya.[5]

d. Dari jalan thobaqot[6] seorang perawi dan thobaqot guru-guru dan murid-muridnya.[7]

e. Adanya seorang imam mu’tabar (terkenal) yang menegaskan bahwa perawi ini adalah Fulan, dari segi tidak ada orang lain yang serupa dengannya. Contohnya : apabila didapatkan di dalam isnad Abu Dawud –misalnya- ada perawi yang mirip dengan selainnya, imam ini[8] akan menunjukkan bahwa perawi yang mirip dengannya tidaklah dikeluarkan oleh Abu Dawud.

f. Merujuk kepada kitab-kitab al-Muttafaq wal Muftariq[9], kitab-kitab al-Mu’talaf wal Mukhtalaf[10] dan kitab-kitab al-Musytabih[11].

g. Apabila perawi itu adalah seorang sahabat atau diduga sebagai seorang sahabat, maka merujuk kepada kitab-kitab Shahabah[12] dan kitab-kitab al-Maroosil[13]

h. Apabila perawi tersebut berkunyah maka merujuk kepada kitab-kitab al-Kuna[14] dan apabila berlaqob maka merujuk kepada kitab-kitab al-Alqoob.[15]

i. Apabila tidak memungkinkan untuk membedakan seorang perawi dengan selainnya, maka apabila para perawi ini –atau dua perawi yang serupa- adalah perawi tsiqoot maka sanadnya shahih dengan mempertimbangkan syarat-syarat lainnya di dalam penshahihan hadits dan apabila perawi ini dho’if maka sanadnya juga dha’if. Namun apabila sebagian perawi ini dha’if (dan sebagiannya tsiqot, pent) maka bertawaqquf (mendiamkan)[16] di dalam penshahihan sanad sampai diteliti apakah riwayat ini memiliki mutabi’ (penyerta) atau Syaahid? Akan datang perinciannya di dalam Cara Kedua –insya Allohu Ta’ala-.

Kedua : Mengetahui keadilan (’adalah) seorang perawi : yang demikian ini bisa dengan kemasyhuran perawi atas sifat ’adalah-nya atau bisa juga dengan penegasan seorang imam ”mu’tabar” atas sifat ’adalah-nya, dan yang demikian ini dengan syarat seorang perawi tidak memiliki sesuatupun yang dapat menghilangkan sifat ’adalah-nya.

Apabila seorang perawi tidak masyhur akan keadilannya dan tidak satupun dari ulama mu’tabar mentsiqohkannya, maka ada beberapa keadaan :

a. Sejumlah perawi tsiqot meriwayatkan darinya dan tidak ada riwayat yang datang darinya diingkari maka ia tsiqoh, dan hal ini semakin diperkuat apabila ia termasuk thobaqot tabi’in senior atau pertengahan.

b. Riwayat al-Bukhari dan Muslim pada seorang perawi (otomatis) adalah ta’dil atasnya.

c. Terangkatnya status majhul ’ain-nya dengan riwayat seorang tsiqoh atau dua orang perawi darinya.[17]

d. Apabila seorang majhul meriwayatkan hadits yang maudhu’ (palsu) atau munkar dan tidaklah ditemukan di dalam sanadnya adanya penyerta yang mengkonfrontasikannya, maka perawi ini dituduh al-Majhul biuhdatihi (tidak diketahui status kelemahannya). [Lihat Miizanul I’tidaal (II/103), (III/91) dan (IV/21).

e. Apabila seorang imam –diketahui bahwa imam ini tidaklah meriwayatkan melainkah hanya dari tsiqoh- meriwayatkan dari seorang perawi, maka ini merupakan tautsiq (pentsiqohan)-nya terhadap perawi itu dan penghukuman akan ke-’adalah-annya menurut imam tersebut.

f. Penshahihan seorang imam mu’tabar terhadap suatu sanad hadits dihitung sebagai pentsiqohan terhadap seluruh perawinya.

Ketiga : Mengetahui ke-dhabit-an seorang perawi.

Untuk mengetahui sifat dhabit seorang perawi ada dua cara, yaitu :

à Cara Pertama : Adanya tautsiq para imam terhadap seorang perawi.

à Cara kedua : Menelusuri riwayatnya dan menelitinya, lalu membandingkannya dengan riwayat para tsiqot huffazh. Apabila yang dominan adalah istiqomah (kesesuaian) dan muwafaqoh (keselarasan) maka perawi tersebut adalah tsiqoh dan apabila yang dominan adalah mukholafah (penyelisihan) dan munkaraat maka perawi tersebut adalah dha’if dan matruk (ditinggalkan). Namun apabila didapatkan bahwa riwayatnya ada yang mukholafah namun yang dominan adalah keselarasannya, maka ia adalah perawi yang shoduq dan husnul hadits (haditsnya hasan).[18]

Di sini ada 9 hal di dalam menghukumi seorang perawi, yaitu :

1. Mengumpulkan pendapat-pendapat ulama yang membicarakan perawi tersebut.

2. Menguatkan (Ta’akkud) keshahihan penisbatannya kepada mereka.[19]

3. Mengetahui imam hadits yang dipandang pendapatnya (mu’tamad) dan yang tidak dipandang.[20]

4. Mengetahui imam yang berbicara tentang seorang perawi, apakah ia seorang murid perawi, ataukah sesama penduduk negeri yang sama, atau seorang yang hidup semasanya (sahabat) ataukah orang yang belakangan darinya.

5. Mengetahui derajat imam (yang membicarakan perawi), apakah termasuk mu’tadil (pertengahan di dalam menilai perawi), mutasaahil (terlalu lunak di dalam menilai perawi) atau mutasyaddid (terlalu ketat di dalam menilai perawi).

6. Mengetahui sebab-sebab Jarh dan Ta’dil apabila ada.

7. Perincian jarh atau naqdh-nya (bantahan yang menggugurkan penilaian) seorang mu’addil (ulama yang menta’dil).

8. Mengetahui maksud-maksud para imam dari lafazh-lafazh, ungkapan-ungkapan dan harokaat mereka yang berkaitan dengan jarh wa ta’dil.[21]

9. Menjama’ (mengkompromikan) dan mentarjih (menguatkan salah satunya) apabila pendapat para imam saling kontradiksi di dalam menilai seorang perawi (Kesimpulan pendapat terhadap perawi).

Keempat : Mengetahui hubungan seorang perawi dengan syaikhnya, hal ini memiliki beberapa gambaran :

a. Apabila syaikhnya termasuk perawi yang mukhtalith (tercampur-baur hafalannya) atau taghoyar (berubah) dengan perubahan yang mempengaruhi riwayatnya, maka dilihat apakah perawi tersebut mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya ataukah setelahnya?

Apabila perawi ini mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya, dan syaikh ini asalnya maqbul (diterima) riwayatnya maka diterima riwayatnya.

Apabila perawi ini mendengar darinya setelah ikhtilath atau taghoyar-nya maka ditolak riwayatkan dan dihukumi sanadnya dha’if.

Apabila tidak diketahui apakah mendengarnya perawi dari syaikhnya ini sebelum ikhtilath ataukah setelahnya, atau mendengar darinya sebelum ikhtilath dan setelahnya dan tidaklah dapat dibedakan sima’ (mendengar)-nya dari syaikhnya, maka ditolak riwayatnya dan dihukumi sanadnya dha’if.[22]

Contohnya : ’Atho` bin as-Saa`ib perawi yang tsiqoh namun mukhtalith, meriwayatkan darinya Syu’bah, Sufyan ats-Tsauri dan Hammad bin Zaid sebelum ikhtilath-nya, dan meriwayatkan darinya Jarir, Khalid bin ‘Abdillah dan Ibnu ‘Aliyah setelah ikhtilath-nya, serta meriwayatkan darinya Hammad bin Salamah sebelum dan setelah ikhtilath-nya.

b. Mengetahui perihal perawi beserta syaikhnya, apakah dia dha’if di dalam (periwayatan) gurunya ataukah tidak? Apabila ia dha’if maka sanadnya otomatis dha’if, seperti riwayat Sufyan bin Husain al-Wasithi dari az-Zuhri.[23]

c. Mengetahui perihal perawi terhadap suatu penduduk negeri, apakah dia dha’if di dalam (periwayatan) mereka ataukah tidak?

Apabila ia dha’if di dalam periwayatan mereka sedangkan dia meriwayatkan dari mereka maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat Isma’il bin ‘Iyasy dari penduduk Hijaz, maka riwayatnya dha’if.[24]

d. Mengetahui periwayatan perawi terhadap suatu penduduk negeri apabila mereka mengambil periwayatan darinya, apakah mereka (penduduk negeri) adalah dhu’afa` di dalam (periwayatan) darinya ataukah tidak?[25]

Apabila mereka (penduduk suatu negeri) lemah di dalam (periwayatan) darinya sedangkan mereka meriwayatkan darinya maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat penduduk Syam dari Zuhair bin Muhammad al-Khurosani, maka riwayatnya dha’if.

Kelima : Mengetahui ittishol (bersambungnya) sanad dari inqitho’ (keterputusan)-nya, dalam hal ini ada 7 keadaan :

1. Apabila rijaal (para perawi) sanad adalah tsiqoot dan mereka menegaskan secara tegas akan sima’ (mendengar)-nya, atau dengan yang dihukumi dengannya maka sanadnya muttashil (bersambung).[26]

2. Apabila sanadnya dengan ‘an’anah atau semisalnya, maka diperiksa apakah perawi itu sezaman dengan syaikhnya ataukah tidak, apabila tidak sezaman dengan syaikhnya maka sanadnya munqothi’ (terputus).

3. Apabila seorang perawi sezaman dengan syaikhnya maka diperiksa, apakah ia bertemu dengannya ataukah tidak diketahui pernah bertemu? Apabila ia tidak bertemu syaikhnya maka sanadnya munqothi’.

Dan apabila tidak diketahui bertemunya, maka hukum asal dua perawi yang sezaman adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’ seperti ditegaskan oleh imam mu’tabar, atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan, atau perbedaan negeri yang jauh dan tidak adanya rihlah (bepergian untuk mencari hadits).

4. Apabila seorang perawi bertemu dengan syaikhnya, maka diperiksa apakah ia mendengar darinya ataukah tidak mendengar ataukah tidak diketahui akan sima’ (mendengarnya)? Apabila perawi itu belum pernah mendengar dari gurunya maka sanadnya munqothi’.

Apabila tidak diketahui maka hukum asalnya adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan mendengar.

5. Apabila seorang perawi mendengar dari gurunya, maka diperiksa apakah perawi itu termasuk mudallis ataukah tidak? Apabila bukan seorang mudallis maka sanadnya muttashil.

6. Apabila perawi itu adalah mudallis dan meriwayatkan dengan ‘an’anah atau semisalnya dari syaikh yang ia mendengar darinya atau yang dihukumi perawi itu mendengar darinya, (diperiksa) :

Apabila perawi itu jarang melakukan tadlis seperti Abu Qilabah ‘Abdullah bin Zaid al-Jarmi atau tidak banyak (sedikit) melakukan tadlis seperti Qotadah, A’masy dan Abu Ishaq al-Subai’i maka dihukumi sanadnya muttashil selama tidak jelas adanya khilaf (pendapat yang menyelisihi)-nya.

Apabila perawi itu termasuk yang sering melakukan tadlis seperti Ibnu Juraij terhadap periwayatan selain ‘Atho`, atau seperti Baqiyah bin Walid, maka bertawaqquf (mendiamkan) atas status ittishal-nya sanad dan dihukumi dengan dha’if sampai menjadi jelas keadaan sanad dengan adanya jalan-jalan riwayat lainnya.

7. Apabila perawi sezaman dengan syaikhnya dan memungkinkan bertemu dan mendengar darinya namun tidak diketahui ia mendengar darinya, namun ia mayshur (terkenal) dengan melakukan irsal maka sanadnya dihukumi dengan munqothi’. Namun apabila ia tidak masyhur melakukan irsal maka sanadnya muttashil lagi shahih selama tidak datang indikasi yang menjelaskan ketiadaan mendengarnya.

Hasil (Kesimpulan) Cara Pertama :

Apabila suatu sanad selamat dari keseluruhan ‘ilal (cacat/penyakit) yang zhahir (tampak), telah tsabat (tetap) akan sifat ’adalah dan dhabit para perawinya, dan telah shahih akan sima’ (mendengar)-nya perawi antara satu dengan lainnya, maka sanadnya shahih secara zhahir.

Apabila didapatkan sebuah ’illah (cacat) dari cacat-cacat zhahir (di atas) maka sanadnya ditolak tidak diterima.

Apabila kedha’ifan di dalam sanad lebih dekat dan memiliki kemungkinan (shahih) maka akan menjadi sholih (baik) dengan mutaba’at (penyerta) dan syawahid.


الخطوة الثانية: : الحكم على السند باطناً

Cara Kedua : Menghukumi Sanad secara bathin

Pertama : Cara pertama diaplikasikan terhadap sanad hadits yang dikehendaki penghukuman atasnya secara cermat.

Kedua : Dihimpun jalan-jalan hadits yang satu dari Mazhoonni (sumber perkiraan)-nya.

1. Dari sahabat itu sendiri, akan diketahui al-Mutaba’ah dan al-Mukholafah, diketahui yang syadz dan illat.

2. Dari sahabat yang meriwayatkan hadits itu sendiri –apabila ada pada mereka atau salah seorangnya- maka termasuk syawahid, dan dapat dihubungkan dengannya hadits-hadits mursal, mu’dhol, mauquf dan maqthu’ yang dihukumi marfu’ atasnya.

Untuk hadits yang dapat menjadi shalih karena syawahid memiliki syarat, yang penting diantaranya adalah : hendaknya hadits itu tidak terlalu dha’if (syadid), tidak syadz dan tidak munkar.

Dan diterapkan cara pertama untuk setiap sanad mutaba’aat dan syawaahid serta mukholafaat.

Peringatan : Takhrij itu memiliki jalan-jalan yang diketahui perinciannya dari sumber perkiraannya.[27]

Ketiga : Menghimpun pendapat-pendapat para imam ahli hadits dan illat hadits[28] seperti Imam Ahmad, Ibnul Madini, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Abu Dawud, al-Bukhari, at-Turmudzi, an-Nasa`i, ad-Daaruquthni, al-Khothib al-Baghdadi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Rojab, al-Hafizh al-Iroqi, Ibnu Hajar, Ibnu Mulaqqin, Ahmad Syakir, al-Albani, dan selain mereka terhadap thuruq (metode-metode) yang dihimpun hingga menjadi mudah bagi anda untuk memahami metode para imam ahli hadits di dalam naqd (mengkritik hadits) dan kaifiyat (cara) di dalam menghukumi sanad-sanad hadits, dan hingga anda dapat memetik faidah dari pendapat-pendapat mereka mengenai masalah yang sulit atas anda, dan juga supaya anda dapat mengetahui kapasitas kelemahan diri anda di hadapan para imam yang ahli lagi mendalam ilmunya.

Keempat : Ini merupakan cara kedua yang global dan memerlukan tafshil (perincian) dan tahrir (penegasan istilah), mudah-mudahan masalah ini dapat dibahas dalam waktu dekat –insya Alloh Ta’ala-.

Kelima : Ketahuilah, bahwa menghukumi suatu hadits adalah perkara yang paling sulit dan rumit, tidak ada yang mampu melakukannya kecuali hanya ulama ahli hadits senior. Maka berhati-hatilah di dalam penghukuman hadits dan janganlah tergesa-gesa. Jadikanlah apa yang saya tulis ini adalah suatu pelatihan dan pembelajaran saja bagi anda sampai anda menjadi mantap di dalam ilmu hadits.

Perbanyaklah membaca buku-buku mushtholahul hadits, ilalul hadits, biografi para perawi dan biografi para imam, semoga Alloh memberikan taufiq-Nya atasku dan atas anda kepada apa yang Ia cintai dan Ridhai.

والله أعلم وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

Hanya Allohlah yang lebih tahu. Semoga Sholawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan sahabat beliau semuanya.



[1] Diantara yang dilontarkan oleh adz-Dzahabi dari hadits-hadits Mustadrak karya al-Hakim : ”Sesungguhnya di dalam kebanyakan hadits-hadits di dalam zhahirnya baik atas syarat salah satu atau kedua-duanya [Bukhari – Muslim, pent.], dan di dalam bathin-nya memiliki suatu illat (penyakit) yang khofiyah (samar/tersembunyi) yang mu’atstsaroh (dapat mempengaruhi)” Siyaru A’lamin Nubalaa’ (XVII/174)

[2] Buku-buku Tarojim (biografi perawi) sangatlah banyak dan bermacam-macam :

a. Diantaranya adalah biografi yang khusus membahas perawi tsiqoot (kredibel/terpercaya) seperti kitab ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban, dan ada pula yang khusus membahas perawi dhu’afaa` (plural dari dha’if/lemah) seperti kitab adh-Dhu’afaa` ash-Shoghir karya Imam Bukhari. Diantaranya pula ada yang mencakup dan menghimpun perawi tsiqot dan selainnya seperti at-Taarikh al-Kabir karya Imam al-Bukhari.

b. Diantaranya adalah biografi yang umum tidak khusus hanya untuk rijal (perawi) suatu kitab atau kitab-kitab yang tertentu, seperti at-Taarikh al-Kabir karya Bukhari, Al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim, dan adapula yang khusus membahas perawi suatu kitab tertentu seperti Tahdzibul Kamal karya al-Mizzi.

c. Diantaranya adalah biografi yang khusus disusun menurut negeri tertentu seperti kitab Taarikh Jurjaan karya al-Jurjaani, dan adapula yang tidak dikhususkan seperti ini sebagaimana kitab-kitab lainnya yang banyak.

d. Diantaranya adalah biografi yang disusun menurut tingkatan thobaqoot seperti Thobaqootul Kubroo karya Ibnu Sa’d, ada pula yang disusun berdasarkan nama-nama perawi sebagaimana mayoritas buku biografi, sebagian lagi ada yang disusun berdasarkan al-Wafiyaat seperti kitab al-Wafiyaat karya ash-Shofadi.

e. Diantaranya adalah biografi yang disusun khusus untuk syuyukh (guru-guru) sebagian imam (disebut Ma’aajim asy-Syuyukh), ada yang disusun berdasarkan keterangan perawi yang tidak meriwayatkan darinya kecuali hanya seorang perawi saja, seperti kitab al-Munfaridaat dan al-Wihdaan, ada pula yang disusun berdasarkan riwayat al-Akabir (perawi senior) dari al-Ashoghir (perawi junior), As-Sabiq wal Lahiq, ada juga buku-buku al-Ansaab (nasab-nasab perawi), buku-buku riwayat seorang anak dari bapaknya (al-Abnaa` minal Aaba`) atau sebaliknya, dan perawi yang meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, serta buku-buku as-Su`alaat dan al-’Ilal.

Penyebutan contoh-contohnya akan sangat panjang

[3] Yang demikian ini dengan merujuk kepada buku-buku khusus yang membahas tentangnya, seperti Tahdzibul Kamal karya al-Mizzi, Tahdzibut Tahdzib karya al-Hafizh Ibnu Hajar, Taarikh ad-Dimasyqi karya Ibnu ’Asaakir, Taarikh Baghdad karya al-Khathib, at-Taqyid karya Ibnu Nuqthoh dan Dzailut Taqyid karya at-Taqi al-Faasi...

[4] Lihat pembahasan anggun yang ditulis oleh adz-Dzahabi di dalam mengangkat keserupaan antara dua Sufyan dan dua Hammad, di Siyari A’laamin Nubalaa` (VII/44-466)

[5] Lihat Fathul Baari (XIII/285) kitab al-I’tisham, bab Ma Yakrohu min Katsrotis Su`aal no. 7293

[6] Diantara buku bermanfaat tentang pengenalan Thobaqot adalah : Thobaqot Khalifah bin Khayath, Thobaqot Ibnu Sa’d, ats-Tsiqqot karya Ibnu Hibban, al-Mu’ayyan fi Thobaqoot al-Muhadditsin karya adz-Dzahabi, Tadzkirotul Huffazh karya adz-Dzahabi, Taqriibut Tahdziib karya al-Hafizh Ibnu Hajar,...

[7] Misalnya : Tholq bin Mu’awiyah dari Sufyan ats-Tsauri... terdapat nama seperti ini pada dua orang, yaitu : Tholq bin Mu’awiyah an-Nakho’i seorang tabi’in senior Mukhodhrom*, dan Tholq bin Mu’awiyah bin Yazid dari thobaqoh ke-7. Maka perawi dari Sufyan tidaklah mungkin seorang tabi’in mukhodrom, maka perawi dari Sufyan bisa dipastikan adalah Ibnu Yazid. Lihat Taqribut Tahdzib (hal. 22 - ar-Risalah)

Keterangan : * Mukhodhrom memiliki 3 makna :

a. Man Lam Yakhtatan (orang yang tidak berkhitan). Namun bukan ini yang dimaksud.

b. Man Lam Yu’rof Abawaahu (orang yang tidak diketahui kedua orang tuanya), pengertian ini juga kurang tepat.

c. Man Adrokal Jaahiliyah wal Islam (orang yang menemui zaman jahiliyah dan Islam), dan makna ini yang dituju. Wallohu a’lam. Pent

[8] Diantara buku bermanfaat mengenai hal ini adalah Tahdzibul Kamal dan Furu’-nya serta Ta’jiilul Manfa’ah karya al-Hafizh Ibnu Hajar

[9] Seperti : al-Muttafaq wal Muftariq karya al-Khathib al-Baghdadi, dan Muwadhdhoh Awhaam al-Jam’i wat Tafriiq karya al-Khathib juga,...

[10] Seperti : al-Mu’talaf wal Mukhtalaf karya ’Abdul Ghoni bin Sa’id al-Azdi, al-Mu’talaf wal Mukhtalaf karya ad-Daaruquthni, al-Mu’talaf wal Mukhtalaf karya Ibnu Thohir al-Qoisarooni, dan yang paling lengkap dan luas adalah kitab al-Ikmaal karya al-Amiir Ibnu Makuulaa.

[11] Seperti : Talkhishul Mutasyaabih karya al-Khathib, Taaliy Talkhish al-Mutasyaabih karya beliau juga, Musytabihun Nisbah karya al-Hafizh ’Abdul Ghoni al-Azdi, Kitab al-Musytabih karya al-Hafizh adz-Dzahabi, kitab Tabshiirul Mutanabbi bi Tahriiril Musytabih karya al-Hafizh Ibnu Hajar dan kitab Taudhihul Musytabih karya Ibnu Nashiruddin

[12] Buku yang terkenal diantaranya adalah Ma’rifatu ash-Shohabah karya Ibu Nu’aim, Mu’jam ash-Shohabah karya Ibnu Qoni’, al-Istii’aab karya Ibnu ’Abdil Barr, Usudul Ghoobah karya Ibnu Katsir dan al-Ishobah karya Ibnu Hajar.

[13] Seperti kitab al-Maroosiil karya Abu Dawud, al-Maroosiil karya Ibnu Abi Hatim dan Tuhfatut Tahshil karya al-Allaa`i.

[14] Misalnya : kitab al-Kunaa karya Imam al-Bukhari, al-Kunaa karya Imam Muslim, al-Kunaa wal Asmaa` karya ad-Daulaabi, kitab al-Kunaa karya Abu Ahmad al-Haakim dan al-Muntaqo fi Sardil Kunaa karya adz-Dzahabi.

[15] Seperti : kitab Fathul Baab fil Kunaa wal Alqoob karya Ibnu Mandah, kitab Nuzhatul Albaab fil Alqoob karya al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mizzi telah mengkhususkannya di dalam kitabnya Tahdzibul Kamal sebuah pasal di akhir bukunya tentang alqoob, demikian pula dengan al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Tahdzib dan Taqrib-nya

[16] at-Tawaqquf itu bermakna : tidak menerima sanad, yaitu menghukumi kedhaifannya.

[17] Demikian pula terangkat majhul ’ain-nya dengan pentsiqohan seorang ulama mu’tabar atau ta’dil dari imam mu’tabar.

[18] Lihat : at-Tankil karya al-‘Allamah al-Mu’allimi (I/66-67), Siyaru A’laamin Nubalaa` (IX/429,95), Mizanul I’tidal (I/521,405), (II/415-41) dan (IV/188,103).

[19] Menguatkan keshahihan nisbat Jarh dan Ta’dil oleh seorang imam yang berbicara tentangya baik secara sanad maupun matannya. Adapun secara matan, jatuhnya kesalahan di dalam menukil dari para imam, atau menukil secara makna yang diperhitungkan sebagai kekacauan makna, inilah yang dimaksudkan oleh imam yang membicarakannya.

[20] Lihat kitab : ”Dzikru man Yu’tamadu qouluhu fil Jarhi wat Ta’dil karya al-Hafizh adz-Dzahabi dan risalah al-Hafizh as-Sakohwi yang berjudul al-Mutakallamuna fir Rijaal.

[21] Lihatlah di dalam masalah ini pasal-pasal yang berkaitan dengannya pada buku-buku mushtholah seperti Fathul Mughits karya as-Sakhowi, Syarh Alfaazhu Jarh an-Naadiroh dan Syarh Alfaazhut Ta’diil an-Naadiroh karya DR. Sa’di al-Hasyimi serta Dhowabith al-Jarh wat Ta’dil karya Syaikh ’Abdul ’Aziz al-’Abdul Lathif

[22] Lihat macam semisal ini : al-Ightibath bi Ma’rifati man Ruwiya bil Ikhtilath karya Sabth Ibnu al-’Ajami, al-Kawaakibu an-Niiroot fi Ma’rifati man Ikhtalatho minar Ruwaat karya Ibnu al-Kiyaal dan Syarh al-’Ilal kara Ibnu Rojab (II/555-598 : DR. ’Itr).

[23] Lihat macam semisal ini : ats-Tsiqoot alladziina Dho’afuu fii Ba’dhi Syaikhihim karya guru kami, DR. Shalih ar-Rifa’i dan Syarh ‘Ilalit Turmudzi karya Ibnu Rojab (II/621-672).

[24] Isma’il bin ‘Iyasy dha’if di dalam periwayatan selain dari penduduk negerinya, seperti riwayat penduduk Hijaz, Mesir maupun Iraq.

[25] Lihat macam semisal ini : Syarh al-‘Ilal karya Ibnu Rojab (II/614-612).

[26] Inilah yang asal selama tidak jelas ada khilafnya, dan yang demikian ini dengan meneliti jalan-jalan hadits sebagaimana akan datang penjelasannya –insya Alloh- dalam cara kedua.

[27] Diantara sumbernya adalah : Kitabut Takhriij karya DR. Bakr ’Abdush Shomad ’Aabid, at-Takhirj wa Diroosatul Asaaniid karya Mahmud ath-Thohhan dan Kitabu at-Ta`shil karya DR. Bakr Abu Zaid.

[28] Diantara buku tersebut adalah : Kitab al-’Ilal karya Ibnul Madini, al-’Ilal wa Ma’rifatur Rijaal karya Imam Ahmad, al-’Ilal karya Ibnu Abi Hatim dan al-’Ilal karya ad-Daaruquthni. Sebagai tambahan juga buku-buku ar-Rijaal (perawi hadits) saja yang mencakup naqd (kritik) para imam terhadap riwayat-riwayat yang jumlahnya banyak sekali.

القَوَاعِـدُ الذَّهَبِيَّـةُ

لِمَعْرِفَـةِ الصَّـحِيـحِ والضَّـعِيـفِ مِنَ الـمَرْوِيَّاتِ الـحَدِيثِـيَّـةِ

تأليف

أبي عمر أسامة بن عطايا بن عثمان العتيبي


قَوَاعِدٌ فِي كَيْفِيَّةِ الـحُكْمِ عَلَى الـحَدِيثِ

الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، أما بعد:

فهذه جملة من القواعد التي يتبعها الباحث أو الناقد عند الحكم على الحديث بالصحة أو الضعف. اعلم رحمني الله وإياك ؛ أن الحكم على حديث "ما" بالصحة أو الضعف تتبع فيه خطوتان:

الخطوة الأولى: الحكم على السند ظاهراً دون الحكم على المتن .

الخطوة الثانية: الحكم على السند باطناً([1]) ، وهنا يكون الحكم على المتن أيضاً [الحكم على الحديث جملة].


الخطوة الأولى: الحكم على السند ظاهراً .

يتبع في ذلك خمسة أمور :

1- تمييز الراوي عن غيره([2]):

ولمعرفة الراوي طرق منها:

أ) أن يبينه تلميذه بحيث لا يشتبه مع غيره ،كأن يقول أبو نعيم الفضل بن دكين : حدثنا سفيان بن عيينة،..

ب) عن طريق تلامذة الراوي وشيوخه في السند يتعرف عليه غالباً ([3]).

ت) أن يُعرف الراوي بملازمته لشيخه ؛ فإذا أبهمه عُرف أنه شيخه المميز ، وإلا فآخر.

مثل أبي نعيم إذا روى عن سفيان الثوري لم ينسبه ، أما إذا روى عن سفيان بن عيينة فينص عليه([4]).

ومثل سليمان بن حرب إذا روى عن حماد بن زيد لم ينسبه ، أما إذا روى عن حماد بن سلمة نسبه([5]).

ث) عن طريق طبقة([6]) الراوي وطبقة شيوخه وتلامذته([7]).

ج) أن ينص إمام معتبر على أن الراوي هو فلان بحيث لا يشتبه مع غيره.

ومثله إذا وجد في إسناد لأبي داود –مثلاً- فيشتبه مع غيره فينص إمام([8]) على أن المشتبه معه لم يخرج له أبو داود .

حَ) يرجع إلى كتب المتفق والمفترق([9]) ، وكتب المؤتلف والمختلف([10]) ، وكتب المشتبه([11]).

خ) إذا كان الراوي صحابياً أو يظن أنه صحابي يرجع إلى كتب الصحابة([12]) ، وإلى كتب المراسيل ([13]) .

د) إذا كان الراوي بالكنية فيرجع إلى كتب الكنى([14]) ، وإذا كان باللقب يرجع إلى كتب الألقاب([15]).

ذ) إذا لم يمكن تمييز الراوي عن غيره ؛ فإذا كانوا –أو كانا- ثقات فالسند صحيح مع اعتبار الشروط الأخرى للتصحيح ، وإذا كانوا –أو كانا- ضعفاء فالسند ضعيف ، وإن كان بعضهم ضعيفاً فيتوقف في تصحيح السند ([16])حتى ينظر هل له متابع أو شاهد ؟ وسيأتي تفصيله في الخطوة الثانية -إن شاء الله تعالى- .

2- معرفة عدالة الراوي : وذلك إما باشتهاره بالعدالة ، وإما بنص إمام (معتبر) على عدالته ، وذلك بشرط خلو الراوي مما يخل بعدالته .

إذا لم يشتهر الراوي بعدالة ولم يوثق من معتبر فله حالات:

أ) أن يروي عنه جمع من الثقات ولم يأت بما ينكر عليه فهو ثقة ، ويتأكد ذلك إذا كان من طبقة كبار التابعين وأواسطهم.

ب) رواية البخاري ومسلم للراوي تعديل له .

ت) ترتفع جهالة العين برواية ثقة أو راويين عنه([17]).

ث) إذا روى المجهول حديثاً موضوعاً أو منكراً ولا يوجد في سنده من تحمل عليه التبعة فيتهم هذا الراوي المجهول بعهدته([18]).

ج) إذا روى إمام –عرف أنه لا يروي إلا عن ثقة- عن راو فهو توثيق للراوي وحكم بعدالته عند ذلك الإمام .

حَ) تصحيح إمام معتبر لإسناد حديث يعد توثيقاً لجميع رواته .


3- معرفة ضبط الراوي :

ولمعرفة ضبط الراوي طريقتان:

الطريقة الأولى: توثيق الأئمة للراوي .

الطريقة الثاني: بسبر مروياته وتتبعها ، وعرضها على رواية الثقات الحفاظ ؛ فإن كان الغالب عليه الاستقامة والموافقة فهو الثقة ، وإن كان الغالب عليه المخالفة والمنكرات فهو الضعيف أو المتروك ، وإن كانت وجدت عنده المخالفة مع أن الغالب عليه الاستقامة فهو الصدوق وحسن الحديث([19]).

وهنا تسعة أمور للحكم على الراوي:

أولاً: جمع أقوال من تكلم في الراوي.

ثانياً: التأكد من صحة نسبتها إليهم([20]).

ثالثاً: معرفةُ من يعتمدُ قوله ممن لا يعتمدُ([21]).

رابعاً: معرفةُ الإمامِ المتَكَلِّمِ في الراوي ؛ هل هو تلميذُ الراوي أم بلديُّهُ أم معاصرٌ له أم متأخرٌ عنه؟ .

خامساً: معرفةُ درجةِ الإمامِ هل هو معتدلٌ أم متساهلٌ أم متشددٌ؟ .

سادساً: معرفةُ سبَبِ الجَرْحِ أو التَّعدِيلِ إنْ وُجِدَ.

سابعاً : تفسيرُ الجرحِ أو نقضِهِ منَ الْمُعَدِّلِ.

ثامناً: معرفةُ مقاصِدِ الأئمةِ منْ ألفاظِهِمْ ، وعباراتِهِمْ ، وحَرَكاتِهِمُ المتَعَلِّقَةِ بالجَرْحِ والتَّعْدِيلِ([22]).

تاسعاً: الجمعُ والترجيحُ إذا تعارَضتِ أقوالُ الأئمةِ في الراوي. [خلاصةُ القولِ في الراوي].

4-معرفةُ علاقةِ الراوي معَ شيخِهِ ولَهَا صُورٌ:

[أ]- إذا كان الشيخُ ممن اختلطَ ، أو تغيَّرَ تَغَيُّراً مُؤَثِّراً على روايتِهِ ؛ فينظرُ هل سمعَ منه الراوي قبلَ اختلاطِهِ أو تغيُّرِهِ أمْ بعدَ ذلك ؟

فإنْ كان سماعُه منه قبلَ الاختلاطِ أو التَّغَيُّرِ ، والشيخُ في أصلِهِ مقبُولَ الروايةِ قُبِلَتْ روايتُهُ .

وإنْ كانَ سماعُهُ منهُ بعدَ الاخْتِلاطِ أو التَّغَيُّرِ ؛ رُدَّتْ روايتُه ، وحُكِمَ على السَّنَدِ بالضَّعْفِ .

وإن كان لا يعرف هل سمع منه قبل الاختلاط أو بعده ، أو سمع منه قبل الاختلاط وبعده ولم يتميز سماعه منه ؛ ردت روايته وحكم على السند بالضعف ([23]).

مثاله: عطاء بن السائب ثقة اختلط فروى عنه شعبة وسفيان الثوري وحماد بن زيد قبل اختلاطه ، وروى عنه جرير وخالد بن عبد الله وابن علية بعد اختلاطه ، وروى عنه حماد بن سلمة قبل الاختلاط وبعده.

[ب]- معرفة حال الراوي مع شيخه ؛ هل هو مضعف في شيخه أم لا ؟ فإن كان مضعفاً فالسند ضعيف كرواية سفيان بن حسين الواسطي عن الزهري ([24]).

[ت]- معرفة حال الراوي في أهل بلد ما هل هو مضعف فيهم أم لا؟ ([25])

فإذا كان مضعفاً فيهم وروى عنهم فالسند ضعيف وذلك كرواية إسماعيل بن عياش عن الحجازيين فإنها ضعيفة ([26]).

[ث]- معرفة حال الراوي في أهل بلد ما إذا رووا عنه ؛ هل هم ضعفاء فيه أم لا؟([27])

فإن كانوا ضعفاء فيه ورووا عنه فالسند ضعيف . وذلك كرواية الشاميين عن زهير بن محمد الخراساني فإنها ضعيفة.


5- معرفة اتصال السند من انقطاعه وفيه سبعة أمور :

الأول: إن كان رجال السند ثقات ، وصرحوا بالسماع ، أو بما يقتضيه فهو متصل([28]).

الثاني: إن كان السند بالعنعنة أو نحوها ؛ فينظر : هل الراوي عاصر شيخه أم لا؟

فإن كان لم يعاصره فالسند منقطع .

الثالث: إن كان الراوي عاصر شيخه ؛ فينظر : هل لقيه أم لم يلقه أم لا يعرف ذلك ؟

فإن لم يلقه فالسند منقطع .

وإن لم يعرف فالأصل في الراويين المتعاصرين اللقيا والسماع ما لم توجد قرينة على عدم السماع كنص إمام معتبر ، أو عدم إمكان اللقِيّ لصغر سن راو لا يمكنه التحمل فيه ، أو اختلاف بلد مع التباعد وعدم الرحلة.

الرابع: إن كان الراوي لقي شيخه ؛ فينظر : هل سمع منه أم لم يسمع منه أم لا يعرف ذلك ؟

فإن لم يسمع منه فالسند منقطع .

وإن لم يعرف فالأصل في اللقيا السماع ما لم توجد قرينة على عدم السماع.

الخامس: إن كان الراوي سمع من شيخه ؛ فينظر : هل هو مدلس أم لا ؟

فإن كان غير مدلس فالسند متصل.

السادس: إن كان الراوي مدلساً وروى بالعنعنة أو نحوها عن شيخ سمع منه أو في حكم من سمع منه :

فإن كان نادر التدليس كأبي قلابة عبد الله بن زيد الجرمي أو غير مكثر منه كقتادة والأعمش وأبي إسحاق السبيعي حكم على السند بالاتصال ما لم يتبين خلافه.

وإن كان من المكثرين من التدليس كابن جريج في غير عطاء ، وكبقية بن الوليد توقف في اتصال السند وحكم بضعفه حتى يتبين حال السند من الطرق الأخرى.

السابع: إن كان الراوي عاصر شيخه وأمكن اللقاء والسماع ولم يعرف له منه سماع ولكنه مشهور بالإرسال فيحكم على السند بالانقطاع ،فإن كان غير مشهور بالإرسال فالسند متصل على الصحيح ما لم تأت قرينة تبين سماعه من عدمه .

نتيجة الخطوة الأولى:

إذا سلم السند من جميع العلل الظاهرة ، وثبتت عدالة الرواة وضبطهم ، وصح سماع بعضهم من بعض صحح السند ظاهراً.

وإذا وجدت علة من تلك العلل الظاهرة فالسند يرد ولا يقبل .

فإن كان الضعف الذي في السند قريباً محتملاً صلح للمتابعات والشواهد .


الخطوة الثانية:

1- تُطبَّق الخطوة الأولى على إسناد الحديث الذي يراد الحكم عليه بِدِقَّةٍ.

2- تُجمع طرق الحديث الواحد من مظانِّها .

أولاً: عن الصحابيِّ نفسه ؛ فتعرفُ المتابعة ،والمخالفة ، ويعرف الشذوذُ ، وتعرفُ العلَّةُ.

ثانياً: عن الصحابة الذين رووا الحديث نفسه –إن وجدوا أو أحدهم- وهي الشواهد ، ويُلْحق بذلك المراسيل ، والمعضلات ، والموقوفات والمقطوعات التي لها حكم الرفع .

ولصلاحية الحديث للشهادة شروط ؛ أهَمُّها : أن لا يكون شديد الضعف ، وأن لا يكون شاذاً ولا منكراً .

وتُطَبَّقُ الخطوة الأولى على جميع أسانيد المتابعات والشواهد والمخالفات .

تنبيه: للتخريج طرقٌ تعرف تفاصيلها من مظانِّها([29]) .

3- جمع أقوال أئمة الحديث والعلل([30]) كالإمام أحمد ، وابن المديني ، وابن معين ، وأبي حاتم ، وأبي زرعة ، وأبي داود ، والبخاري ، والترمذي ، والنسائي ، والدارقطني ، والخطيب البغدادي ، وشيخ الإسلام ابن تيمية ، وابن القيم ، وابن رجب ، والحافظ العراقي ، وابن حجر ، وابن الملقِّن ، وأحمد شاكر ، والألباني وغيرهم في الطرق التي تجمعها حتى يتيسر لك فهم طريقة الأئمة في النقد ، وكيفية الحكم على الأسانيد ، وحتى تستفيد من أقوالهم فيما أشكل عليك ، وحتى تعرف مقدار ضعفك أمام هؤلاء الأئمة الجهابذة .

4- هذا إجمال الخطوة الثانية وتحتاج إلى تفصيل وتحرير ، ولعل ذلك يكون في وقت قريب -إن شاء الله تعالى- .

5- اعلم أن الحكم على الحديث من أصعب الأمور وأشقِّها ، ولا يستطيعه إلا كبار المحدثين ، فتأنَّ في الحكم ولا تتسرَّعْ ، واجعل ما كتبته لك للتدريب والتَّمرُّس فقط حتى تتقن علم الحديث .

وأكثر القراءة في كتب مصطلح الحديث ، وعلله ، وتراجم رواته ، وتراجم الأئمة وفقني الله وإياك لِمَا يحبُّه ويرضاه .

والله أعلم وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين .

كتبه :

أبو زيد وأبو عمر أسامة بن عطايا العتيبي



([1]) مما قاله الذهبي عن أحاديث المستدرك للحاكم: [فإن في كثير من ذلك أحاديث في الظاهر على شرط أحدهما أو كليهما وفي الباطن لها علل خفية مؤثرة] سير أعلام النبلاء(17/175) .

([2]) كتب التراجم كثيرة ومتنوعة:

أ-فمنها ما هو مختص بالثقات ككتاب الثقات لابن حبان ، ومنها ما هو مختص بالضعفاء ككتاب الضعفاء الصغير للإمام البخاري ، ومنها ما هو جامع شامل للثقات وغيرهم كالتاريخ الكبير للإمام البخاري.

ب-ومنها ما هو عام لا يختص برجال كتاب أو كتب مخصوصة كالتاريخ الكبير للبخاري، والجرح والتعديل لابن أبي حاتم، ومنها ما هو متخصص بكتب معينة كتهذيب الكمال للمزي .

ت- ومنها ما هو خاص ببلد معين ككتاب تاريخ جرجان للجرجاني ، ومنها ملا يختص كأكثرها .

ث- ومنها ما هو مرتب على الطبقات كالطبقات الكبرى لابن سعد ، ومنها ما هو مرتب على الأسماء كأغلبها ، ومنها ما هو مرتب على الوفيات ككتاب الوافي بالوفيات للصفدي.

ج- ومنها ما هو مختص بشيوخ بعض الأئمة (معاجم الشيوخ) ، ومنها ما هو مختص ببيان من لم يرو عنه إلا راو واحد وهي كتب المنفردات والوحدان ، ومنها ما هو مختص برواية الأكابر عن الأصاغر ، والسابق واللاحق ، ومنها كتب الأنساب ، وكتب رواية الأبناء عن الآباء ، وعكسه ، ومن روى عن أبيه عن جده ، وكتب السؤالات والعلل..

وذِكْرُ أمثلتها يطول.

([3]) وذلك بالرجوع إلى الكتب المتخصصة في ذلك مثل: تهذيب الكمال للمزي، تهذيب التهذيب للحافظ ابن حجر، تاريخ دمشق لابن عساكر، تاريخ بغداد للخطيب ، التقييد لابن نقطة ، وذيل التقييد للتقي الفاسي...

([4]) انظر البحث النفيس الذي كتبه الذهبي في رفع الاشتراك بين السفيانين والحمادين. سير أعلام النبلاء(7/464-466).

([5]) انظر : فتح الباري(13/285) كتاب الاعتصام . باب ما يكره من كثرة السؤال رقم/7293 .

([6]) ومن الكتب المفيدة في معرفة الطبقات: طبقات خليفة بن خياط ، طبقات ابن سعد ، الثقات لابن حبان ، المعين في طبقات المحدثين للذهبي ، تذكرة الحفاظ للذهبي ، تقريب التهذيب للحافظ ابن حجر ، ..

([7]) مثاله: طلق بن معاوية عن سفيان الثوري .. فيوجد بهذا الاسم شخصان: طلق بن معاوية النخعي تابعي كبير مخضرم ، وطلق بن معاوية بن يزيد من الطبقة السابعة.

فالراوي عن سفيان لا يمكن أن يكون تابعياً مخضرماً فيكون الراوي عن سفيان هو ابن يزيد . انظر: تقريب التهذيب(ص/226-الرسالة) .

([8]) ومن الكتب المفيدة في ذلك : تهذيب الكمال وفروعه ، وتعجيل المنفعة للحافظ ابن حجر.

([9]) مثل كتاب: "المتفق والمفترق" للخطيب البغدادي ، "موضح أوهام الجمع والتفريق" للخطيب أيضاً..

([10]) مثل كتاب: "المؤتلف والمختلف" لعبد الغني بن سعيد الأزدي ، و"المؤتلق والمختلف" للدارقطني ، و"المؤتلف والمختلف" لابن طاهر القيسراني ، ومن أجمعها وأبدعها كتاب "الإكمال" للأمير ابن ماكولا.

([11]) مثل: "تلخيص المتشابه" للخطيب ، "تالي تلخيص المتشابه" له ، ، "مشتبه النسبة" للحافظ عبد الغني الأزدي ، كتاب "المشتبه" للحافظ الذهبي ، وكتاب "تبصير المنتبه بتحرير المشتبه" للحافظ ابن حجر ، وكتاب "توضيح المشتبه" لابن ناصر الدين.

([12]) من أشهرها : "معرفة الصحابة" لأبي نعيم ، "معجم الصحابة" لابن قانع ، "الاستيعاب" لابن عبد البر ، "أسد الغابة" لابن الأثير ، "الإصابة" للحافظ ابن حجر.

([13])ككتاب "المراسيل" لأبي داود ، "المراسيل" لابن أبي حاتم ، "تحفة التحصيل" للعلائي.

([14]) مثل: كتاب "الكنى" للإمام البخاري ، و"الكنى" للإمام مسلم ، و"الكنى والأسماء" للدولابي ، كتاب "الكنى" لأبي أحمد الحاكم ، "المقتنى في سرد الكنى" للذهبي.

([15]) مثل كتاب"فتح الباب في الكنى والألقاب" لابن منده ، وكتاب"نزهة الألباب في الألقاب" للحافظ ابن حجر وقد خصص المزي في كتابه "تهذيب الكمال" فصلاً في آخره عن الألقاب وكذلك الحافظ ابن حجر في تهذيبه وتقريبه.

([16]) والتوقف بمعنى : عدم قبول السند ؛ أي : الحكم بضعفه.

([17])وكذلك ترتفع جهالة عينه بتوثيق معتبر أو بتعديل إمام (معتبر) .

([18]) انظر ميزان الاعتدال(2/103) ، (3/91) ، (4/216) .

([19]) انظر : التنكيل للعلامة المعلمي(1/66-67) ، سير أعلام النبلاء(9/95،429) ، ميزان الاعتدال(1/405،521) ، (2/415-416) ، (4/188، 103)

([20])التأكد من صحة نسبة الجرح والتعديل للإمام المتكلم بذلك سنداً ومتناً ؛ أما سنداً فظاهر ، وأما متناً فلوقوع أخطاء في النقل عن الأئمة أو النقل بالمعنى المؤدي لاختلال المعنى الذي أراده المتكلم.

([21])انظر كتاب: [ذكر من يعتمد قوله في الجرح والتعديل] للحافظ الذهبي ورسالة الحافظ السخاوي:[المتكلمون في الرجال].

([22])وانظر في ذلك: الفصول المتعلقة بذلك في كتب المصطلح كفتح المغيث للسخاوي ، "شرح ألفاظ الجرح النادرة" ، "شرح ألفاظ التعديل النادرة" كلاهما للدكتور سعدي الهاشمي ، "ضوابط الجرح والتعديل" للشيخ عبد العزيز العبد اللطيف.

([23]) وانظر لهذا النوع : "الاغتباط بمعرفة من روي بالاختلاط" لسبط ابن العجمي ، وكتاب "الكواكب النيرات في معرفة من اختلط من الرواة" لابن الكيال وشرح العلل للإمام ابن رجب(2/555-598-تحقيق : د. عتر) .

([24]) وانظر لهذا النوع: [الثقات الذين ضعفوا في بعض شيوخهم] لشيخنا : الدكتور صالح الرفاعي ، وشرح علل الترمذي للإمام ابن رجب(2/621-672) .

([25]) انظر لهذا النوع: شرح العلل للإمام ابن رجب(2/609-614) .

([26]) إسماعيل بن عياش مضعف في غير أهل بلده كالحجازيين والمصريين والعراقيين.

([27])انظر لهذا النوع: شرح العلل للإمام ابن رجب(2/614-620) .

([28]) هذا هو الأصل ما لم يتبين خلافه ، وذلك بتتبع طرق الحديث كما سيأتي -إن شاء الله تعالى- في الخطوة الثانية.

([29]) ومن مظانِّها : كتاب التخريج للدكتور بكر عبد الصمد عابد ، والتخريج ودراسة الأسانيد لمحمود الطحان، وكتاب التأصيل للدكتور بكر أبو زيد.

([30]) من تلك الكتب : كتب العلل : ككتاب العلل لابن المديني ، والعلل ومعرفة الرجال للإمام أحمد ، والعلل لابن أبي حاتم ، والعلل للدارقطني . ويلحق بها كتب الرجال فقد اشتملت على نقد الأئمة لمرويَّات كثيرة جداً.

وكتب التخريج مثل: (نصب الراية) للزيلعي ، (التلخيص الحبير) لابن حجر ، (البدر المنير) لابن الملقن ، تخريج المسند للشيخ أحمد شاكر ، (إرواء الغليل) للشيخ الألباني .



Download Book Di sini !





Button Image Background by FreeButtons.org v2.0