English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : YBG

Xilisoft HD Video Converter 6 Full With serial

Wide range of formats support: Support HD videos like AVCHD (mts, m2ts), MKV, HD ASF, HD AVI, H.264/AVC, HD Quick Time, HD MPEG-4, and HD WMV, and general videos and audios like AVI, MPEG, WMV, MP4, 3GP, FLV, RM, MOV, MP3, WMA and AAC.

Trik dan SN Smadav Pro 8.4

Smadav 2011 Rev. 8.4 : Pendeteksian khusus untuk beberapa virus shortcut terbaru (MSO-sys, fanny-bmp),penambahan database 40 virus baru, penyempurnaan deteksi semua varian virus shortcut, penambahan teknik heuristik, dsb.

08 al-Khamr

Kartun Ahkamul Quran, merupakan kartun islamic yang memberikan tuntunan kepada kita tentang hukum-hukum dan adab-adab dalam agama islam. dan kali ini menceritakan tentang hukum meminum khamar (minuman keras)

NATURAL_HABBATUSSAUDA PLUS

HABBATUSAUDA adalah jinten hitam yang mampu membangkitkan sistem kekebalan tubuh (immunity system) yang mampu mempertahan tubuh dari serangan berbagai penyakit. Insya Alloh

Rabu, 22 Agustus 2012

PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL

KEUTAMAAN PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL
Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu 'anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).
Imam Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi shallallahu 'alaihi wasalllam bersabda:
"Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh." ( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Shahih" mereka.)
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun. " (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri berkata: "Salah satu sanad yang befiau miliki adalah shahih.")
Pahala puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal menyamai pahala puasa satu tahun penuh, karena setiap hasanah (tebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits Tsauban di muka. 

Mendahulukan Qadha Puasa Ramadhan atau Puasa Syawal?

Ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.
Pendapat pertama, dianjurkan untuk menjalankan puasa Syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarak. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.
Pendapat kedua, tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Pendapat ketiga, tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah Idul Fitri karena itu adalah hari makan dan minum. Namun, sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. Kata Ibnu Rajab, “Ini adalah pendapat yang aneh.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 384–385)
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bolehnya puasa Syawal tanpa berurutan. Keutamaannya sama dengan puasa Syawal secara terpisah. Syekh Abdul Aziz bin Baz ditanya tentang puasa Syawal, apakah harus berurutan?
Beliau menjelaskan, “Puasa 6 hari di bulan Syawal adalah sunah yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh dikerjakan secara berurutan atau terpisah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keterangan secara umum terkait pelaksanaan puasa Syawal, dan beliau tidak menjelaskan apakah berurutan ataukah terpisah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal ….‘ (Hadis riwayat Muslim, dalam Shahih-nya)
Wa billahit taufiiq ….” (Majmu’ Fatwa wa Maqalat Ibni Baz, jilid 15, hlm. 391)
Terkait dengan puasa enam hari di bulan Syawal setelah hari ‘id, apakah seorang wanita muslimah sebaiknya memulai puasa qadha sebanyak hari puasa yang ditinggalkannya karena haid, kemudian setelah itu barulah dia mengerjakan puasa enam hari (bulan Syawal, pen.) atau bagaimana seharusnya?
Jawaban:
Alhamdulillah.
Jika dia (wanita muslimah tersebut, pen.) ingin memperoleh pahala yang telah disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan (secara penuh, pen.) kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka itu senilai dengan puasa selama setahun.” (HR. Muslim, no. 1984)
Maka, seorang wanita muslimah seharusnya menyempurnakan puasa Ramadhan-nya terlebih dahulu, baru kemudian dia melanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, agar sejalan dengan hadits dan supaya dia bisa meraih pahala yang disebutkan dalam hadits tersebut.
Adapun dari segi boleh atau tidaknya, wanita muslimah tersebut boleh mengakhirkan qadha puasa Ramadhan, sesuai dengan kemampuannya, sebelum bulan Ramadhan berikutnya tiba.
Keterangan Syaikh Muhamad bin Shaleh al-Munajed
Sumber: http://islamqa.com/ar/ref/4082
Manfaat bagi kesehatan ?

Bagi umat Islam, puasa syawal selama 6 hari setelah lebaran bersifat sunah alias tidak wajib tetapi baik untuk dilakukan. Bukan cuma ahli agama yang mengakui manfaatnya, tetapi juga ahli gizi yang mengganggapnya sebagai masa transisi.

Selama bulan Ramadan, sistem pencernaan dikondisikan untuk bekerja lebih lambat dari biasanya karena ada perubahan pola makan. Selain tidak ada makan siang, jenis makanan yang dikonsumsi malam harinya cenderung lembut agar perut tidak bermasalah.

Begitu masuk hari raya, pola makan kembali normal karena puasa wajib sudah selesai. Agar perut tidak mengalami shock atau kekagetan, maka sistem pencernaan membutuhkan masa transisi yang biasanya memakan waktu antara 3 hari hingga 1 minggu.

"Sampai hari ketiga setelah lebaran, sebaiknya pilih makanan yang lembut-lembut. Tubuh perlu adaptasi di masa peralihan," kata Prof Dr Hardinsyah, ahli gizi dari Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) saat dihubungi detikHealth, seperti ditulis Senin (20/8/2012).

Selain harus memilih makanan dengan tekstur lembut, jumlah atau porsinya juga harus dibatasi. Karena selama puasa tidak makan siang, maka sebaiknya sarapannya cukup setengah dari porsi biasa dan setengahnya lagi dipenuhi saat makan siang atau dengan cemilan.

Akan lebih baik lagi menurut Prof Hardinysah, jika umat Islam menjalankan puasa sunah selama 6 hari setelah lebaran hari pertama. Ritual yang sering disebut puasa syawal ini memang tidak wajib, namun ada hikmah yang bisa diambil dari sisi kesehatan jika dilakukan.

"Masa transisi memang sebaiknya satu minggu. Karena itu puasa syawal selama 6 hari itu sangat bermanfaat untuk mengendalikan masa transisi. Pahala itu sudah Yang di Atas yang meghitung, tapi memang ada hikmah dari balik itu semua kalau dilihat dari sisi kesehatan," pesan Prof Hardinsyah. sumber (http://health.detik.com/read/2012/08/20/095816/1995195/766/index.php)

Ustadz, apakah puasa Syawal harus dilakukan berturut-turut enam hari atau boleh terputus-putus asalkan masih tetap di bulan Syawal? Jazakallahu khairan.

Jawaban:
Ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.
Pendapat pertama, dianjurkan untuk menjalankan puasa Syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarak. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.
Pendapat kedua, tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Pendapat ketiga, tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah Idul Fitri karena itu adalah hari makan dan minum. Namun, sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. Kata Ibnu Rajab, “Ini adalah pendapat yang aneh.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 384–385)
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bolehnya puasa Syawal tanpa berurutan. Keutamaannya sama dengan puasa Syawal secara terpisah. Syekh Abdul Aziz bin Baz ditanya tentang puasa Syawal, apakah harus berurutan?
Beliau menjelaskan, “Puasa 6 hari di bulan Syawal adalah sunah yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh dikerjakan secara berurutan atau terpisah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keterangan secara umum terkait pelaksanaan puasa Syawal, dan beliau tidak menjelaskan apakah berurutan ataukah terpisah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal ….‘ (Hadis riwayat Muslim, dalam Shahih-nya)
Wa billahit taufiiq ….” (Majmu’ Fatwa wa Maqalat Ibni Baz, jilid 15, hlm. 391)

Ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.
Pendapat pertama, dianjurkan untuk menjalankan puasa Syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarak. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.
Pendapat kedua, tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Pendapat ketiga, tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah Idul Fitri karena itu adalah hari makan dan minum. Namun, sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. Kata Ibnu Rajab, “Ini adalah pendapat yang aneh.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 384–385)
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bolehnya puasa Syawal tanpa berurutan. Keutamaannya sama dengan puasa Syawal secara terpisah. Syekh Abdul Aziz bin Baz ditanya tentang puasa Syawal, apakah harus berurutan?
Beliau menjelaskan, “Puasa 6 hari di bulan Syawal adalah sunah yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh dikerjakan secara berurutan atau terpisah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keterangan secara umum terkait pelaksanaan puasa Syawal, dan beliau tidak menjelaskan apakah berurutan ataukah terpisah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal ….‘ (Hadis riwayat Muslim, dalam Shahih-nya)
Wa billahit taufiiq ….” (Majmu’ Fatwa wa Maqalat Ibni Baz, jilid 15, hlm. 391)

Sabtu, 18 Agustus 2012

Hukum Takbiran Menurut Sunnah Shahi


Di Indonesia yang beragam ini, Kita tahu bahwa masyarakat Islam pada malam Idul Fitri dan Idul Adha selalu menyambutnya dengan melakukan takbir, takbir keliling (takbiran). Bagaimana pelaksanaan takbiran di masa Rasulullah?
[1] Dalil
Disyariatkan untuk bertakbir sebagaimana Allah berfirman :
Artinya : “..dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” [Qs. Al-Hajj : 28]
Artinya : “.. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,..” [Qs. Al-Baqarah :185]
Dan juga yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam yang diriwayatkkan melalui hadits berikut :
Artinya : Beliau keluar pada hari Idul fitri, maka beliau bertakbir hingga tiba di mushalla (tanah lapang), dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat, beliau menghentikan takbir”.[HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad Shahih]
Juga diriwayatkan oleh para sahabat, seperti :
Pada pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan takbir hingga ia tiba di mushalla, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang imam. [Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah dan selainnya dengan isnad yang shahih. Lihat "Irwaul Ghalil' 650]
“Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.” [HR. Bukhari]
[2] Waktu Takbir
Takbir di malam hari raya dimulai sejak kita telah melihat hilal bulan syawwal –jika memungkinkan—dan jika tidak maka dimulai sejak sampainya berita Id melaui cara yang benar atau dengan terbenamnya matahari pada hari ke 30 bulan Ramadhan. Sedangkan pada malam Idul Adha dimulai sejak terbenamnya matahai pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Takbir ini ditekankan untuk dikumandangkan ketika berangkat ke tanah lapang tempat sholat Id dan saat menunggu Sholat sebagai mana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah diatas. Berkata Al-Muhaddits Syaikh Al Albani :
Dalam hadits ini ada dalil disyari’atkannya melakukan takbir secara jahr (keras/bersuara) di jalanan menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, maka beliau rahimahullah menjawab :
Segala puji bagi Allah, pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah : Hendaklah takbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq ( tanggal 11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat Id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang empat”. [Majmu Al -Fatawa 24/220 dan lihat 'Subulus Salam' 2/71-72
[3] Bacaan Takbir
Tidak terdapat riwayat lafadz takbir tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafadz takbir. Diantara riwayat tersebut adalah:
...Pertama, Takbir Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:
أ‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُب‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
Keterangan:Lafadz: “Allahu Akbar” pada takbir Ibn Mas’ud boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.
Kedua, Takbir Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّاللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا
Keterangan:Takbir Ibn Abbas diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Syaikh Al Albani.
Ketiga, Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Keterangan: Ibn Hajar mengatakan: Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Al Mushanaf dengan sanad shahih dari Salman.
Catatan Penting
As Shan’ani mengatakan: “Penjelasan tentang lafadz takbir sangat banyak dari berberapa ulama. Ini menunjukkan bahwa perintah bentuk takbir cukup longgar. Disamping ayat yang memerintahkan takbir juga menuntut demikian.”
Maksud perkataan As Shan’ani adalah bahwa lafadz takbir itu longgar, tidak hanya satu atau dua lafadz. Orang boleh milih mana saja yang dia suka. Bahkan sebagian ulama mengucapkan lafadz takbir yang tidak ada keterangan dalam riwayat hadis.
[4] Tempat Bertakbir
Dari beberapa riwayat diatas maka disunnahkan mengeraskan suara takbir di pasar-pasar, rumah-rumah, jalanan, masjid-masjid dan tempat berkumpulnyaorang-orang untuk menampakkan syiar.
[5] Hal-hal yang terlarang dalam bertakbir
Dilarang bertakbir dengan berjamaah, yaitu sejumlah orang berkumpul dengan sengaja untuk bertakbir dengan satu suara seperti paduan suara, atau seseorang bertakbir kemudian sejumlah orang dibelakangnya mengikuti dan mengulanginya. Tidak ada dasar yang mendasari bertakbir secara berjamaah dengan satu suara atau dengan dipimpin oleh satu orang. Yang sesuai dengan sunnah adalah setiap orang bertakbir sendiri-sendiri.
Pada jaman kita sekarang juga terdapat bacaan-bacaan takbir yang ditambah-tambah dengan yang baru tanpa adanya dasar sehingga menyelisihi apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat.
Ada beberapa kebiasaan yang salah ketika melakukan takbiran di hari raya, diantaranya:
a. Takbir berjamaah di masjid atau di lapangan
Karena takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909)
Riwayat ini menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak seragam. Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.
b. Takbir dengan menggunakan pengeras suara
Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang. Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.
Oleh karena itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak sebagaimana adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.
c. Hanya bertakbir setiap selesai shalat berjamaah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa takbiran itu ada dua. Ada yang terikat waktu dan ada yang sifatnya mutlak (tidak terikat waktu). Untuk takbiran yang mutlak sebaiknya tidak dilaksanakan setiap selesai shalat fardlu saja. Tetapi yang sunnah dilakukan setiap saat, kapan saja dan di mana saja.
Ibnul Mulaqin mengatakan: “Takbiran setelah shalat wajib dan yang lainnya, untuk takbiran Idul Fitri maka tidak dianjurkan untuk dilakukan setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (Al I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)
Amal yang disyariatkan ketika selesai shalat jamaah adalah berdzikir sebagaimana dzikir setelah shalat. Bukan melantunkan takbir. Waktu melantunkan takbir cukup longgar, bisa dilakukan kapanpun selama hari raya. Oleh karena itu, tidak selayaknya menyita waktu yang digunakan untuk berdzikir setelah shalat.
d. Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju lapangan
Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahwa takbir yang sunnah itu dilakukan ketika di perjalanan menuju tempat shalat hari raya. Namun sayang sunnah ini hampir hilang, mengingat banyaknya orang yang meninggalkannya.
e. Bertakbir dengan lafadz yang terlalu panjang
Sebagian pemimpin takbir sesekali melantunkan takbir dengan bacaan yang sangat panjang. Berikut lafadznya:
الله أكبر كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ…
Takbiran dengan lafadz yang panjang di atas tidak ada dalilnya. Allahu a’lam.
sumber : id-id.facebook.com/note.php?note_id=140812905971632

Kamis, 16 Agustus 2012

Merenungi Kalimat Takbir

Allah Maha Besar dzat dan kerajaan-Nya. Kebesaran-Nya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, tidak pula dapat diliputi oleh pikiran kita. Cobalah kita renungkan bagaimana besarnya Allah Rabbul ‘Alamin, tentunya kita tidak mungkin memikirkan bagaimana hakikat dzat Allah. Akan tetapi dengan cara melihat bagaimana makhluk Allah yang amat besar, akan tampak kepada kita kebesaran Allah Yang Maha besar lagi Maha Mulia.
Tahukah anda, bagaimana besarnya ‘Arsy Allah Ta’ala? Disebutkan dalam hadits yang dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah1, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ فِي الْكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلَقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضِ فَلاَةٍ وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ تِلْكَ الْفَلاَةِ عَلَى تِلْكَ الْحَلَقَةِ .
Tidaklah tujuh langit dibandingkan kursi (Allah) kecuali seperti cincin yang dilemparkan di tanah lapang, dan besarnya ‘Arasy dibandingkan kursi adalah seperti tanah lapang dibandingkan dengan cincin“.
Subhanallah! Maha Besar Allah, langit yang tujuh saja bila kita perhatikan amat besar, ternyata dibandingkan kursi Allah tidak ada apa-apanya. Dan kursi Allah yang amat besar itu ternyata dibandingkan dengan ‘Arasy Allah hanya sebesar cincin dibandingkan tanah lapang. Akal kita tidak mungkin dapat menggambarkan kebesaran kursi dan ‘Arasy, bagaimana dengan penciptanya?! Subhanallah..
Dan ‘Arasy Allah dipikul oleh beberapa malaikat, dan tahukah antum bagaimana besarnya malaikat pemikul ‘Arasy? Disebutkan dalam hadits:
أُذِنَ لِىْ أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلاَئِكَةِ اللهِ مِنْ حمَلَةِ الْعَرْشِ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إلَى عَاتِقِهِ مَسِيْرَةُ سَبْعِمِائَةِ سَنَةٍ.
Aku diidzinkan untuk menceritakan tentang salah satu malaikat Allah pemikul ‘arasy, yaitu antara daging telinga (tempat anting. Pen) dengan pundaknya sejauh tujuh ratus tahun perjalanan“. (HR Abu Dawud no 4727, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam silsilah ash shahihah no 151).
Cobalah bayangkan, apabila jarak antara daging telinga dengan pundaknya sejauh tujuh ratus tahun perjalanan, bagaimana jaraknya antara ujung kepala sampai ke ujung kaki? Maha Besar Allah yang telah menciptakan makhuk-makhluk yang luar biasa besarnya.
Barangkali anda akan terkejut dengan hadits berikut ini yang menceritakan tentang ayam jago paling besar di dunia; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ أَذِنَ لِيْ أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ دِيْكٍ قَدْ مَرَقَتْ رِجْلاَهُ الْأَرْضَ وَعُنُقُهُ مُنْثَنٍ تَحْتَ الْعَرْشِ وَهُوَ يَقُوْلُ : سُبْحَانَكَ مَا أَعْظَمَكَ رَبَّنَا !
Sesungguhnya Allah mengidzinkan aku untuk menceritakan tentang seekor ayam jantan yang kedua kakinya menembus bumi, dan lehernya merunduk di bawah ‘Arasy seraya berkata: “Maha suci Engkau, betapa besarnya Engkau ya Rabb kami“. (HR Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Al Ausath no 7324, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah ash shahihah no 150).
Ayam yang sangat besar, namun kita tidak dapat melihatnya karena ia gaib. Dan yang lebih membuat kita tertegun adalah perkataan ayam itu: “..betapa besarnya Engkau ya Rabb kami“. Kalimat yang menunjukkan bahwa penciptanya amat besar dan sangat besar, sehingga ayam itu memandang dirinya amat kecil di hadapanNya, Maha besar Allah dan segala puji baginya.
Keutamaan Takbir
Syaikh Abdurrazzaq al Badr menjelaskan tentang keutamaan takbir dan maknanya, beliau berkata: “Sesungguhnya takbir mempunyai keutamaan yang agung, dan pahalanya di sisi Allah besar, banyak nash yang menganjurkan bertakbir diantaranya adalah firman Allah Ta’ala:
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا
Dan Katakanlah: “Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya”. (QS. Al Israa: 111).
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
..dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al Baqarah: 185).
Allah juga berfirman mengenai haji dan sembelihan untuk taqarrub :
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al Hajj: 37)
Dan firman Allah Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (1) قُمْ فَأَنْذِرْ (2) وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (3)
Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah!” (QS. Al Muddatsir: 1-3).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan keutamaan takbir dan keagungannya, beliau berkata: “Oleh karena itu, syi’ar-syi’ar shalat, adzan, hari raya, dan tempat-tempat tinggi adalah takbir. Ia adalah salah satu kalimat yang paling utama setelah al Qur’an, yaitu subhanallah, alhamdulillah, laa ilaaha illallah, dan Allahu Akbar, sebagaimana disebutkan dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan tidak ada satupun dalil yang membolehkan mengganti lafadz Allahu Akbar dengan lafadz Allahu A’zham, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat tidak sah kecuali dengan lafadz Allahu Akbar, bila ada orang yang berucap di awal shalatnya: Allahu A’zham, maka shalatnya tidak sah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Kunci shalat adalah Ath Thuhur (wudlu), pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah taslim”.2
Dan ini adalah pendapat Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Yusuf, Dawud dan lainnya, jika ada orang yang menucapkan selain takbir seperti subhanallah, atau alhamdulillah, maka shalatnya tidak sah.
Dan takbir itu khusus untuk dzikir ketika keadaan naik (tinggi), sebagaimana tasbih itu khusus untuk keadaan turun (rendah), sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab sunan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila naik tinggi kami bertakbir, dan apabila turun kami bertasbih”3…”.4
Sesungguhnya takbir itu selalu menyertai muslim dalam banyak ibadah dan ketaatan, ia bertakbir ketika menyelesaikan jumlah bulan puasa, ia bertakbir ketika haji, dan adapun dalam shalat maka takbir mempunyai kedudukan yang agung dan tempat yang mulia. Di dalam adzan disyari’atkan membaca takbir, demikian pula iqamah, dan pengharam shalat adalah takbir, bahkan takbiratul ihram adalah salah satu rukun shalat, dan takbir selalu menyertainya ketika turun dan bangkit dalam shalat.
Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila shalat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku’, kemudian berkata: “Sami’allahu liman hamidah”. Ketika mengangkat tulang punggungnya dari ruku’, kemudian berucap: “Rabbana lakal hamdu”. Kemudian bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian bertakbir ketika sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian beliau lakukan itu dalam seluruh shalatnya sampai selesai, dan bertakbir ketika bangkit dari dua raka’at setelah duduk”.5
Takbir selalu menyertai muslim dalam shalatnya berulang-ulang, dalam shalat empat raka’at terdapat 22 takbir, dan dalam dua raka’at terdapat 11 kali takbir, maka dalam shalat lima waktu sehari semalam saja ia mengucapkan 94 kali takbir, bagaimana bila ia senantiasa menjaga shalat-shalt sunnah, bagaimana juga bila ditambah dengan dzikir setelah shalat yang ada padanya membaca takbir 33 kali?? Seorang Muslim apabila menjaga shalat lima waktu, beserta shalat-shalat sunnah rawatib yang jumlahnya 12 raka’at, ditambah dengan witir tiga raka’at dan menjaga bacaan takbir setelah shalat 33 kali, maka jumlah takbirnya sehari semalam adalah 342 kali takbir, dan bila ditambah dengan takbir yang mutlak, maka jumlah takbirnya amat banyak hanya Allah yang mengetahuinya.
Takbir adalah salah satu rukun shalat, ini menunjukkan kedudukan takbir dalam shalat amat urgen, bahkan shalat itu sendiri adalah perincian takbir yang merupakan pengharamnya. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Takbir mengandung perincian-perincian perbuatan shalat, bacaan dan bentuknya, dan shalat dari awal sampai akhir adalah perincian kandungan takbir, maka pengharam manakah yang paling baik dari takbir yang mengandung ikhlas dan tauhid!”6
Dari sini kita dapat mengetahui kedudukan takbir dan keagungannya dalam agama. Takbir bukan sebuah kalimat yang tak bermakna, atau lafadz yang tidak mempunyai kandungan apa-apa, namun ia adalah lafadz yang agung dan tinggi kedudukannya, mengandung makna-makna yang dalam dan maksud yang mulia.
Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah menafsirkan firman Allah dalam surat Al Israa: 111 “Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya”. Beliau berkata: “Allah berfirman: agungkanlah Rabbmu wahai Muhammad dengan apa yang Allah perintahkan untuk mengagungkannya dari perkataan dan perbuatan, dan taatilah apa yang Dia perintahkan dan larang”.7
Syaikh Muhammad bin Al Amiin Asy Syanqithi rahimahullah berkata: “Artinya agungkanlah Dia dengan sebesar-besarnya pengagungan, dan pengagungan Allah tampak dalam kekuatan menjaga perintahNya dan menjauhi laranganNya, dan bersegera kepada apa yang mendatankan keridlaanNya”.8
Ini semua mengisyaratkan bahwa agama ini seluruhnya adalah perincian dari kalimat Allahu Akbar, maka seorang muslim yang melaksanakan ketaatan dan ibadah adalah sebagai perealisasian dari takbir dan pengagungan kepada Allah Ta’ala. Dan ini menjelaskan keagungan kalimat ini dan kedudukannya yang tinggi, oleh karena itu diriwayatkan dari Umar bin al Khathab bahwa ia berkata: “Perkataan seorang hamba: “Allahu Akbar” lebih baik dari dunia dan seisinya”.9 Maha besar Allah dan baginya pujian yang banyak.10
Makna takbir.
Syaikh Abdurrazzaq rahimahullah berkata: “Takbir adalah mengagungkan Rabb Tabaraka wa Ta’ala dan membesarkanNya, dan meyakini bahwa tidak ada yang lebih besar dan lebih agung dariNya, semua yang besar menjadi kecil di hadapanNya, para diktator menjadi hina, dan wajah-wajah akan tertunduk kepadaNya, dan segala sesuatu menjadi rendah di hadapanNya.
Al Imam Al Azhari dalam kitabnya Tahdzib al Lughah menyegutkan dua makna “Allahu Akbar”, makna yang pertama adalah Allah besar, dan makna kedua adalah Allah yang paling besar dari semua yang besar. Dan yang benar dari kedua pendapat tersebut adalah yang kedua, syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Takbir maknanya adalah Allah paling besar dari semua yang besar bagi seorang hamba, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Adiy bin Hatim: “Wahai Adiy, apa yang membuatmu lari? Apakah kamu lari dari ucapan Laa ilaaha illallah? Apakah kamu mengetahui ada ilah yang berhak disembah selain Allah? Apakah kamu lari dari ucapan Allah Akbar?? Adakah sesuatu yang lebih besar dari Allah? Hadits ini membatalkan pendapat orang yang mengatakan bahwa makna Akbar sama dengan makna kabiir.11
Hadits Adiy ini diriwayatkan oleh imam Ahmad, At Tirmidzi, ibnu Hibban dan lainnya dengan sanad jayyid.12
Seorang Muslim, apabila ia yakin dan beriman bahwa Allah paling besar dari segala sesuatu, dan bahwa sebesar apapun makhluk, ia menjadi kecil di depan kebesaran Allah dan keagunganNya, dari sana ia akan mengetahui dengan pengetahuan yang pasti, bahwa kebesaran Allah, keagungan, kemuliaan dan keindahanNya bahkan semua sifatNya adalah perkara yang tidak mungkin diliputi oleh akal, tidak pula dapat digambarkan oleh pikiran, dan mata siapapun tidak akan mampu meliputiNya, karena Allah sangat luar biasa besar, bahkan akal dan pikiran kita saja tidak mampu meliputi banyak makhluk-makhluk Allah yang besar, bagaimana dengan penciptanya??
Abu Dzarr berkata: “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ فِي الْكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلَقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضِ فَلاَةٍ وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ تِلْكَ الْفَلاَةِ عَلَى تِلْكَ الْحَلَقَةِ .
Tidaklah tujuh langit dibandingkan kursi (Allah) kecuali seperti cincin yang dilemparkan di tanah lapang, dan besarnya ‘Arasy dibandingkan kursi adalah seperti tanah lapang dibandingkan dengan cincin“.13
Perhatikanlah, bagaimana besarnya langit dibandingkan dengan bumi, bagaimana besarnya kursi dibandingkan dengan langit, dan bagaimana besarnya ‘Arasy dibandingkan dengan kursi, sesungguhnya akal manusia lemah untuk memikirkan dan meliputi kesempurnaan makhluk-makhluk ini, terlebih untuk membayangkan bentuk dan sifatnya, bagaimana dengan pencipta makhluk-makhluk tersebut ?? pastilah Dia lebih besar dan lebih agung dari itu semua, lebih agung dari pemikiran akal tentang hakikat sifat kebesaran dan keagungaNya, karena akal tidak mempu memikirkannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memikirkan dzat Allah Ta’ala, karena pikiran dan akal kita tidak akan mampu mengetahui hakikatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَفَكَّرُوا فِي آلَاءِ اللهِ وَلَا تتَفَكَّرُوا فِي اللهِ
Pikirkanlah ni’mat-ni’mat Allah, dan jangan memikirkan dzat Allah”.14
Berfikir yang diperintahkan oleh hadits ini adalah menghadirkan dua pengetahuan di dalam hati agar membuahkan yang ketiga, sebagaimana yang dijelaskan oleh ibnu Qayyim15. Penjelasannya dengan contoh berikut, yaitu bahwa seorang muslim apabila menghadirkan dalam hatinya keagungan makhluk-makhluk ini berupa langit, bumi, kursi, ‘Arasy dan sebagainya, kemudian ia menghadirkan di hatinya kelemahannya untuk untuk meliputi makhluk-makhluk ini, maka akan menghasilkan pengetahuan yang ketiga yaitu keagungan dan kebesaran pencipta segala sesuatu, Allah Ta’ala berfirman:
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا
Dan Katakanlah: “Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya”. (QS. Al Israa: 111).
Maha besar Allah, dan bagiNya pujian yang banyak, seraya bertasbih kepadaNya di waktu pagi dan petang.16
Footnote
1 Dalam silsilah shahihah no 109.
2 HR Abu Dawud dalam sunannya no 61, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam irwa-ul ghalil (2/8).
3 HR Muslim dalam shahihnya no 2734.
4 Majmu’ fatawa 16/112-113.
5 HR al Bukhari no 789, dan Muslim no 392.
6 Ibnu Qayyib, ash Shalat hal 106.
7 Jami’ ul Bayan 9/179.
8 Adl waa-ul Bayaan 3/635.
9 Disebutkan oleh al Qurthubi dalam tafsirnya 10/223.
10 Fiqhul ad’iyati wal adzkar hal 280-284.
11 Majmu’ al Fatawa 5/239.
12 Musnad Ahmad (4/378), Sunan At Tirmidzi (no 2935), Shahih ibnu Hibban (no 7206).
13 HR Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/166), Abu Syaikh dalam Al ‘Adzamah (2/648-649), Al Baihaqi dalan al Asmaa was Sifaat (2/300-301) dan lainnya, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Al Bani dalam silsilah shahihah no 109 dengan menggabungkan semua jalannya.
14 HR Al laalikaai dalam syarah i’tiqad (3/525), Abu Syaikh dalam Al ‘Adzamah (2/210) dari hadits umar bin Al Khathab, dan sanadnya sangat lemah, namun ia mempunyai syahid dari hadits Abu hurairah, Abdullah bin Salam, Abu Dzarr dan ibnu ‘Abbas, dan dihasankan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah shahihah no 1788 dengan menggabungkan semua jalannya.
15 Miftah Dar as Sa’adah hal 181.
16 Fiqul Ad’iyati wal Adzkaar hal 285-289 dengan sedikit tasharruf.

Sumber :  http://cintasunnah.com/merenungi-kalimat-takbir/

Kembali kepada Sunah Nabi dan Para Sahabatnya

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan munculnya perselisihan di akhir zaman dan memberikan solusinya yaitu dengan berpegang kepada sunahnya dan sunah khulafa Rasyidin yang tertunjuki setelahnya. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengabarkan bahwa umatnya akan berpecah belah menjadi 73 golongan dan yang selamat hanya satu, beliau mengabarkan bahwa kelompok yang selamat itu adalah apa yang yang dipegang oleh beliau dan para shahabatnya.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ath Thabrani[1] dari Abu Waqid bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ. فَلَمْ يَسْمَعْهُ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَقَالَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ: أَلاَ تَسْمَعُوْنَ مَا يَقُوْلُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ؟ فَقَالُوْا : مَا قَالَ ؟ قَالَ : إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ فَقَالُوْا : فَكَيْفَ لَنَا يَارَسُوْلَ اللهِ ؟ وَكَيْفَ نَصْنَعُ ؟ قَالَ : تَرْجِعُوْنَ إِلىَ أَمْرِكُمُ اْلأَوَّلِ.
“Sesungguhnya akan terjadi fitnah.” Akan tetapi kebanyakan shahabat tidak mendengarnya, Mu’adz berkata, “Apakah kalian mendengar apa yang disabdakan oleh Nabi?” Mereka berkata,  “Apa yang disabdakan oleh beliau?” Ia berkata, “Sesungguhnya akan terjadi fitnah.” Mereka berkata, “Lalu bagaimana dengan kami wahai Rasulullah, apa yang harus kami lakukan?” Nabi bersabda, “Kembalilah kepada urusan kamu yang pertama!”

Urusan kamu yang pertama yaitu yang dipegang oleh para shahabat sebelum mereka berselisih, itulah jalan yang telah diberikan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam agar kita menitinya. Dan perintah Nabi ini telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh generasi tabi’in, tabi’uttabi’in dan para ulama setelahnya, mereka menghormati para shahabat dan mengambil pendapatnya, di antara ulama yang amat kuat berpegang kepada atsar para shahabat adalah Imam Asy Syafi’i rahimahullah,

Imam Asy Syafi’i berkata, “Allah telah menyanjung para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam Alquran, At Taurat, dan Injil, dan mereka telah meraih keutamaan yang tidak diraih oleh generasi lainnya melalui lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah merahmati dan memberikan selamat kepada mereka, karena mereka telah mencapai kedudukan yang paling tinggi kedudukan para siddiq, para syuhada, dan shalihin.
Merekalah yang menyampaikan kepada kita sunah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sementara mereka menyaksikan wahyu yang turun kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengetahui apa yang diinginkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum, khusus, wajib, dan irsyad (bimbingan), mereka mengetahui sunahnya yang kita ketahui dan yang tidak kita ketahui.

Mereka berada di atas kita pada setiap amalan, ijtihad, wara’, akal, dan ilmu yang dibutuhkan padanya ilmu dan istinbath. Pendapat mereka paling terpuji untuk kita dan lebih baik dari pendapat kita sendiri. Dan ulama yang kita temui dari ulama yang diridhai bila tidak menemukan sunah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengambil pendapat para shahabat jika bersepakat atau pendapat sebagian mereka jika berselisih, demikianlah pendapat kami; tidak keluar dari pendapat para shahabat dan jika salah seorang dari mereka berpendapat dan tidak diselisihi oleh shahabat lain, kami pun tetap mengambil pendapatnya“.[2]

Bagaikan Bintang di Langit

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakan dirinya dan para shahabatnya seperti bintang di langit, beliau bersabda,
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَتْ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ
“Bintang adalah amanah untuk langit, apabila bintang pergi akan datang kepada langit apa yang dijanjikan untuknya, dan aku adalah amanah untuk para shahabatku, apabila aku pergi akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka, dan shahabatku adalah amanah untuk umatku, apabila shahabatku pergi akan datang kepada umatku apa yang dijanjikan untuknya”. (HR Muslim).[3]

Dan Allah menyebutkan dalam Alquran bahwa bintang mempunyai tiga fungsi, yang pertama dan kedua adalah sebagai penghias langit dan pelempar setan, Allah Ta’ala berfirman :
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَآءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
Dan sesungguhnya Kami telah menghiasi langit dunia dengan bintang-bintang dan menjadikannya sebagai pelempar setan, dan Kami telah mempersiapkan untuk mereka ‘adzab Neraka Sa’ir”. (QS. Al Mulk : 5)

Dan yang ketiga adalah sebagai penunjuk jalan, Allah berfirman:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
Dan Dialah (allah) yang telah menjadikan untuk kamu bintang-bintang agar kamu menjadikannya sebagai penunjuk jalan dalam kegelapan daratan dan lautan.” (QS. Al An’am : 97).
Dan para shahabat adalah hiasan untuk umat Islam karena mereka telah melaksanakan Islam dengan sempurna dan diberikan kemuliaan yang tidak diberikan kepada orang lain, mereka kita jadikan sebagai pelempar pemikiran-pemikiran yang menyimpang dan kita jadikan mereka sebagai penunjuk jalan dalam memahami Alquran dan hadis sehingga pemahaman kita tidak menyimpang dan manhaj kita tidak tersesat.

Adapun mereka yang tersesat maka disebabkan oleh penyimpangan mereka dari manhaj para shahabat dan menolak pemahamannya. Kita memohon agar Allah menunjukki kita ke jalan itu dan memberikan kekuatan agar senantiasa berpegang teguh dengannya, Amin.



[1] Shahih, diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam al Kabir, 3:249 no 3307 dari Muththalib bin Syu’aib Al Azdi, dari Abdullah bin Shalih dari Al Laits bin Sa’ad dari ‘Ayyasy bin ‘Abbas Al Qithbani dari Bukair bin Al Asyaj dari Busr bin Sa’ad dari Abu Waqid. Qultu: sanad hadis ini lemah, karena Abdullah bin Shalih yaitu katib Laits adalah perawi yang ada padanya kelemahan sebagaimana yang dinyatakan oleh Adz Dzahabi dalam Al Kasyif, namun ia tidak bersendirian, ia di mutaba’ah oleh Yahya bin Abdullah bin Bukair dari Al laits, dikeluarkan oleh Ath Thahawi dalam Musykil Al Atsar, 3:221 no 1184 dan ini adalah sanad yang sahih. Sehingga hadis ini menjadi shahih.
[2] I’lamul muwaqqi’in 2/150 Tahqiq syaikh Masyhur bin Hasan Salman.
[3] Muslim no 2531.

Sumber :  http://cintasunnah.com/kembali-kepada-sunah-nabi-dan-para-sahabatnya/

Antara Mujahid Dan Mu’tazil

Mujahid adalah orang berjihad menghadapi musuh-musuh Alloh. Mu’tazil adalah orang yang melakukan uzlah, pergi ke hutan atau tempat sepi lainnya untuk menyelamatkan dinnya setelah melihat banyak kerusakan di muka bumi. Dirinya bisa mengukur diri, bila terus tinggal menetap di negerinya niscaya akan terseret arus maksiat. Keduanya bernilai ibadah sebagaimana yang disabdakan oleh nabi shollallohu alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ قَالُوا ثُمَّ مَنْ قَالَ مُؤْمِنٌ فِي شِعْبٍ مِنْ الشِّعَابِ يَتَّقِي اللَّهَ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ
Dari Abu Sa'id Al Khudriy radliallahu 'anhu bercerita kepadanya, katanya : Ditanyakan kepada Rasulullah, siapakh manusia yang paling utama ? Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Seorang mu'min yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya. Mereka bertanya lagi : Kemudian siapa lagi ? Beliau menjawab : Seorang mu'min yang tinggal diantara bukit dari suatu pegunungan dengan bertaqwa kepada Allah dan meninggalkan manusia dari keburukannya  [HR Bukhori, Muslim, Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasa’i]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مِنْ خَيْرِ مَعَاشِ النَّاسِ لَهُمْ رَجُلٌ مُمْسِكٌ عِنَانَ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَطِيرُ عَلَى مَتْنِهِ كُلَّمَا سَمِعَ هَيْعَةً أَوْ فَزْعَةً طَارَ عَلَيْهِ يَبْتَغِي الْقَتْلَ وَالْمَوْتَ مَظَانَّهُ أَوْ رَجُلٌ فِي غُنَيْمَةٍ فِي رَأْسِ شَعَفَةٍ مِنْ هَذِهِ الشَّعَفِ أَوْ بَطْنِ وَادٍ مِنْ هَذِهِ الْأَوْدِيَةِ يُقِيمُ الصَّلَاةَ وَيُؤْتِي الزَّكَاةَ وَيَعْبُدُ رَبَّهُ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْيَقِينُ لَيْسَ مِنْ النَّاسِ إِلَّا فِي خَيْرٍ
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda : Sebaik-baik kehidupan manusia adalah seorang laki-laki yang memegang kendali kudanya dan bergegas untuk berjuang di jalan Allah, setiap kali mendengar suara musuh yang menakutkan atau sangat mengerikan, ia melompat ke atas punggung kudanya untuk mengharapkan kematian. Atau seorang laki-laki yang berada dalam kumpulan kambing yang berada di puncak gunung atau berada di pedalaman lembah ini, ia mendirikan shalat, menunaikan zakat dan beribadah kepada Rabbnya sampai menemui ajalnya, tidaklah ia menjadi manusia kecuali dalam kebaikan [HR Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah]
Keduanya memiliki keistimewaan masing-masing, diantaranya :
1.       Mujahid farro ilaa (lari menyongsong musuh), mu’tazil farro min (lari menjauhi musuh)
2.       Keluarnya mujahid dari kampung halamannya  untuk berjihad adalah sikap yang lebih baik, sementara keberadaan seseorang di lingkungan yang rusak akan tetapi dapat menjaga imannya bahkan bisa mewarnai masyarakat adalah pilihan yang terbaik daripada keluar untuk melakukan uzlah.
3.       Keberadaan mujahid akan mengusik kebatilan, adapun perginya seorang mu’tazil dari kampungnya membuat kebatilan semakin merajalela tanpa ada orang yang merusak ketenangan mereka.
4.       Apa yang dilakukan mujahid dibenci oleh orang kafir. Pilihan mu’tazil untuk jauh dari hiruk pikuk dunia disukai oleh musuh-musuh Alloh.
5.       Apa yang dilakukan mujahid akan merusak lingkungan. Gedung-gedung akan hancur, jalan dan jembatan terputus dan lainnya. Sungguh pemandangan itu tidak akan terlihat dari mereka yang melakukan uzlah. Dengan kata lain, secara dzohir dunia akan aman bila tidak ada aktifitas jihad.
6.       Jihad adalah sinyal kekuatan umat islam. Sedangkan uzlah adalah tanda lemahnya.
7.       Amal mujahid bermanfaat bagi dirinya dan umat islam. Kesalehan mu’tazil hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri.
8.       Orang yang berjihad memiliki sedikit waktu untuk beribadah. Mu’tazil akan memiliki banyak waktu untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Sunyinya pegunungan dan lembah membuat mereka berkesempatan untuk memperbanyak tilawah, sholat dan shoum sunnah dan ibadah lainnya yang tentu akan sulit ditiru mujahid karena sibuknya mereka menghadapi musuh yang terus mengancam. Kendati demikian mereka memiliki pahala ibadah yang sama yang dilakukan oleh mu’tazil sebagaimana sabda nabi shollallohu alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ لَا تَسْتَطِيعُونَهُ قَالَ فَأَعَادُوا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا تَسْتَطِيعُونَهُ وَقَالَ فِي الثَّالِثَةِ مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
Dari Abu Hurairah dia berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya, Amalan apakah yang (pahalanya) sebanding dengan jihad di jalan Allah ? beliau menjawab, Kamu tidak akan sanggup melakukannya. Orang itu bertanya lagi sampai dua atau tiga kali. Namun beliau tetap menjawab : Kamu tidak akan mampu melakukannya. Dan pada kali yang ketiga beliau bersabda : Perbandingan seorang mujahid fi sabilillah seperti orang yang berpuasa, mendirikan shalat dengan menjalankan ayat-ayat Allah dan ia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya, sehingga seorang Mujahid fi sabilillah Ta'ala tersebut pulang dari medan jihad [HR Bukhori, Muslim, Ahmad dan Nasa’i]
9.       Apa yang dialami mujahid penuh dengan rintangan dan resiko. Bagi mu’tazil apa yang dilakukannya praktis tidak mendapat kendala sedikitpun.
10.   Jihad dan uzlah membentuk pelakukanya menjadi pribadi zuhud. Jauh dari ambisi terhadap dunia.
11.   Kematian mujahid berarti syahid dan kematian mu’tazil berarti husnul khotimah.
12.   Jasad mujahid tidak perlu dimandikan, dikafani dan tidak juga disholatkan. Orang yang mati dalam kondisi uzlah, jasadnya bikin repot. Dari dimandikan, dikafani dan wajib disholatkan. Keistimewaan lainnya bahwa mujahid tidak akan mendapat fitnah kubur, tidak merasakan sakitnya saat dicabut nyawa dan kebaikan lainnya yang tentu tidak dimiliki oleh mu’tazil.
13.   Mujahid yang telah syahid memiliki cita-cita kembali hidup untuk berjihad yang cita-cita itu tidak dimiliki mu’tazil :
عَنْ سَعِيد بْن الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلَا أَنَّ رِجَالًا مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لَا تَطِيبُ أَنْفُسُهُمْ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنِّي وَلَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُهُمْ عَلَيْهِ مَا تَخَلَّفْتُ عَنْ سَرِيَّةٍ تَغْزُو فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوَدِدْتُ أَنِّي أُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ أُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ أُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ أُقْتَلُ
Dari Sa'id in Al Musayyab bahwa Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya ada sebagian orang-orang yang beriman tidak baik hati mereka dengan tidak mau menggikutiku untuk berperang dan aku tidak mampu lagi untuk membawa mereka. Sungguh aku tidak akan pernah mau ketinggalan dari pasukan perang (untuk berperang) di jalan Allah. Dan demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh aku menginginkan untuk berperang lalu aku terbunuh di jalan Allah kamudian aku dihidupkan kembali lalu aku terbunuh kemudian dihidupkan kembali lalu terbunuh lagi kemudian aku dihiidupkan kembali lalu terbunuh lagi  [HR Bukhori dan Nasa’i]
14.   Amal mujahid akan terus mengalir, sedang pahala amal mu’tazil berhenti seiring dengan kematiannya :
عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ الْمَيِّتِ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلَّا الْمُرَابِطَ فَإِنَّهُ يَنْمُو لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَيُؤَمَّنُ مِنْ فَتَّانِ الْقَبْرِ
Dari Fadhalah bin 'Ubaid, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Setiap orang yang meninggal ditutup amalannya kecuali mujahid atau orang yang berjaga-jaga dalam peperangan, sesungguhnya amalannya akan berkembang hingga Hari Kiamat, dan diberi keamanan dari para Malaikat yang memberikan ujian di Kubur [HR Abu Daud dan Tirmidzi]
15.   Seorang mujahid matanya akan senantaiasa terjaga untuk mengawasi gerak-gerik musuh demikian juga mata mu’tazil senantiasa terjaga saat bertaqorrub kepada Alloh dan ini akan menjadi perlindungan keduanya dari siksa neraka :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَيْنَانِ لَا تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dari Ibnu Abbas ia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda ; Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka; mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang bergadang untuk berjaga di jalan Allah [HR Tirmidzi]
16.   Mujahid mendapat pahala uzlah karena meninggalkan negerinya. Berbeda dengan mu’tazil yang hanya mendapat pahala uzlah tanpa pahala jihad.
17 Jul 2012
Sumber : http://omanes.blogspot.com/2012/07/antara-mujahid-dan-mutazil.html