English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : YBG

Sabtu, 22 Januari 2011

Perisai penuntut ilmu dari syubhat ath-Thalibi


الحمد لله رب العاليين، والعاقبة للمتقين، ولا عدوان إلا على الظالمين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، إله الأولين والآخرين، وقيوم السماوات والأرضين، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وخليله وأمينه على وحيه، أرسله إلى الناس كافة بشيرا ونذيرا، وداعيا إلى الله بإذنه وسراجا منيرا، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه الذين ساروا على طريقته في الدعوة إلى سبيله، وصبروا على ذلك، وجاهدوا فيه حتى أظهر الله بهم دينه، وأعلى كلمته ولو كره المشركون، وسلم تسليما كثيرا أما بعد:

Segala puji hanyalah milik Alloh Robb pemelihara alam semesta, dan tidak ada permusuhan melainkan hanya kepada orang-orang yang zhalim. Aku bersaksi bahwa tidak sesembahan yang haq untuk disembah kecuali hanya Alloh semata yang tiada sekutu bagi-Nya, Dialah sesembahan yang awal dan yang akhir, penegak langit-langit dan bumi-bumi. Dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kesayangan dan kepercayaan-Nya atas wahyu-Nya, yang diutus kepada seluruh manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan, yang menyeru kepada Alloh dengan izin-Nya dan pemberi pelita yang terang benderang. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada beliau, keluarga beliau dan para sahabat beliau yang meniti jalan beliau di dalam dakwah, yang sabar dan senantiasa berjihad di dalam dakwah hingga Alloh memenangkan bagi mereka agama-Nya, dan Alloh tinggikan kalimat-Nya walaupun orang-orang musyrik benci. Amma Ba’du :

Alloh Azza wa Jalla berfirman :

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (an-Nahl : 125)[1]

Alloh Azza wa Jalla berfirman :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ َتَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(Al-Ma’idah : 2)[2]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :

الدين النصيحة, قيل: لمن يا رسولله؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولإئمة المسلمين وعامتهم

Agama itu nasehat”, beliau ditanya : “bagi siapa wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab : “Bagi Alloh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan masyarakat umum.” (HR Muslim dari Tamim ad-Dari).

Imam Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullahu berkata :

كيف ينجيني عملي وأنا بين حسنة وسيئة فسيئاتي لاحسنة فيها وحسناتي مخلوطة بالسيئات وأنت لا تقبل إلا الإخلاص من العمل فما بقي بعد هذا إلا جودك.

Bagaimana mungkin aku diselamatkan oleh amal perbuatanku sedangkan aku berada di antara kebaikan dan kejelekan? Perbuatan jelekku tiada kebaikan padanya sedangkan perbuatan baikku tercemar oleh kejelekan dan Engkau (Ya Alloh) tidaklah menerima kecuali amal yang murni yang hanya dipersembahkan untuk-Mu. Tiada harapan setelah ini melainkan hanyalah kemurahan-Mu.”[3]

Sungguh indah apa yang diucapkan oleh seorang penyair :

كم من كتاب قد تـصفحته وقلت في نفسي لقد صححته

ثم إذا طـالعته ثــانيــا رأيت تـصحيـفا فأصلحته

“Betapa banyak buku yang telah kubaca

Kukatakan di dalam hati, semuanya kubenarkan

Kemudian tatkala kutelaah untuk kali kedua

Kutemui kesalahan maka kubenahi (agar benar)[4]

Seorang al-Akh telah mengirimi saya sebuah sms dan memberitahukan bahwa saudara Abu Abdirrahman ath-Thalibi, penulis buku “Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak” telah menulis tanggapan (bantahan) terhadap risalah saya yang berjudul “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman” dan disebarkan di forum MyQuran. Qodarullah, akhir-akhir ini saya sangat sibuk dan sangat sulit sekali meluangkan waktu untuk bisa online di internet, sehingga baru kemarin (Sabtu, 9 Desember 2006) saya bisa mengkopi dan membaca tulisan Ath-Thalibi ini.

Dengan mengharap ridha Alloh Subhanahu wa Ta’ala, saya goreskan catatan kecil terhadap risalah saudara ath-Thalibi. Akhirnya saya putuskan untuk menulis risalah ini di tengah-tengah kesibukan saya padat, sehingga muthola’ah (penelaahan) kepada sumber referensi sangatlah minim oleh karena itu haraplah dimaklumi. Berangkat dari kewajiban dan sebagai hak sesama muslim untuk saling menasehati dan mengingatkan, maka saya luangkan waktu yang sempit ini untuk sedikit memberikan catatan kepada tulisan al-Akh Abu Abdirrahman ath-Thalibi.

Sebelumnya saya ucapkan syukron wa Jazzakallohu Khoyrol Jazaa’ kepada al-Akh ath-Thalibi yang mau meluangkan waktunya untuk menggoreskan tinta sebagai nasehat kepada saya, al-Faqir ila ‘Afwa Robbihi. Ath-Thalibi telah memberikan 14 catatan kepada tulisan saya, dan telah saya baca seluruhnya. Semula saya mengira bahwa akan ada suatu ilmu baru bagi saya dari al-Akh ath-Thalibi, namun setelah membacanya, ternyata diri ini sedikit kecewa, karena apa yang digoreskan oleh ath-Thalibi ternyata kurang memiliki daya bobot ilmiah –menurut saya- dan terkesan falsafi dengan membawa zhahir ucapan saya kepada pemahaman yang tidak benar serta memiliki syubhat-syubhat yang harus diluruskan.

Setelah berfikir cukup lama, akhirnya saya tuliskan bantahan ini dengan judul Shiyanatu ath-Thullab min Syubahi ath-Thalibi (Perisai penuntut ilmu dari syubhat ath-Thalibi) yang saya persembahkan kepada para penuntut ilmu yang obyektif, yang mau menelaah dalil dan argumentasi dengan kaca mata ilmiah. Mungkin, sebagian orang akan berkata bahwa judul risalah saya ini sangat menyeramkan dan kejam, namun apabila melihat balik dari judul yang diberikan oleh ath-Thalibi di dalam forum MyQuran, yaitu “Penyimpangan Pemikiran Abu Salma”, maka saya rasa judul yang saya berikan ini adalah sepadan. Lagian, judul yang saya berikan ini tidak ada kata vonis bahwa ath-Thalibi telah menyimpang dan sesat, namun beliau hanyalah menyebarkan syubhat dikarenakan ketidakfahaman ataupun kesalahfahaman beliau. Adapun judul tulisan ath-Thalibi di atas telah mengandung vonis bahwa pemikiran saya menyimpang.

Tapi, tidaklah mengapa… saya tidak merasa marah ataupun emosi dengan tulisan saudara ath-Thalibi, bahkan saya tersenyum geli dan lapang dada. Karena saya tidak begitu memperdulikan apabila ada orang menghujat ataupun mencerca diri saya, karena itu adalah hak mereka, namun kemarahan saya akan terbakar apabila sunnah Rasulullah dan para ulamanya dicela.

Patut diingat, sesungguhnya semua hal yang kita lakukan adalah ada pertanggungjawabannya. Dan insya Alloh kita semua harus mempersiapkan diri di dalam pertanggungjawaban ini. Semoga apa yang saya goreskan di sini dapat bermanfaat bagi diri saya sendiri, bagi saudara ath-Thalibi dan seluruh kaum muslimin.

Berikut adalah beberapa tanggapan saya :

Ath-Thalibi : Tulisan Ustadz Abu Salma berjudul “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman”. Secara umum, tulisan ini sudah bisa disebut sebagai bantahan (radd) terhadap acara bedah buku STSK. Sebagai bantahan bedah buku, sudah ada wujud-nya, tetapi apakah ia memadai untuk menjawab seluruh isu yang dibahas dalam bedah buku tersebut, itu perkara lain. Tiga acara bedah buku ini kalau ditotal mungkin bisa mencapai 10 jam pembicaraan. Berarti sangat banyak isu-isu yang harus dibahas disana, jika ingin hasil yang memuaskan. Namun, di kalangan Salafi, hal seperti ini sering diklaim sebagai bantahan yang sempurna. Dalam pembicaraan, mereka biasa mengatakan, “Tenang saja! Buku Abduh itu sudah dibantah oleh ustadz kita dengan dalil yang kokoh!” Jika ada bantahan, seharusnya ikhwan Salafi jangan cepat puas, tapi cobalah melakukan tarjih. Hal ini penting agar yang kita cari itu murni kebenaran, bukan hujjah-hujjah semu sekedar untuk memuaskan kebanggaan kelompok.

Tanggapan : Apabila saudara ath-Thalibi jeli membaca tulisan saya di atas yang berjudul “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman”, maka seharusnya saudara ath-Thalibi faham, bahwa tulisan saya di atas adalah tanggapan atas email saudara Hafizh Abdurrahman yang menukil ucapan-ucapan tokoh-tokoh pergerakan pada acara bedah buku “STSK”, yang belakangan saya ketahui bahwa nukilan-nukilan ini termuat di dalam website Pustaka Al-Kautsar.

Dikarenakan nukilan inilah yang terhighlight dan terblow-up di media internet, maka tantu saja hanya nukilan itu saja yang saya komentari. Memang benar saya tidak mengomentari seluruh kegiatan acara bedah buku tersebut dan risalah saya tersebut tidak untuk membantah seluruh rangkaian bedah buku tersebut, terlebih saya tidak mengetahui dan tidak hadir di dalam acara bedah buku tersebut. Jadi yang saya komentari adalah ucapan-ucapan mereka yang dihighlight dan dimuat di website Al-Kautsar dan dikirimkan oleh saudara Hafizh Abdurrahman kepada saya via email.

Apabila ada yang bertanya, kenapa saya berani menjawab ucapan mereka padahal saya tidak mendengar perincian ucapan mereka seluruhnya, maka saya jawab : bahwa yang terblow up dan tersebar di dunia maya adalah nukilan ucapan mereka yang mendiskreditkan dakwah salafiyah, sehingga hanya penggalan nukilan tersebutlah yang menyebar. Apabila ada perincian dari penggalan nukilan tersebut, maka tidak seharusnya hanya mempublikasikan penggalan nukilan itu saja, yang mana dapat diasumsikan sebagai kesimpulan ucapan para tokoh tersebut. Apabila ada perincian, maka perincian tersebut haruslah dijelaskan, karena apabila tidak, maka sama saja dengan menunjukkan bahwa esensi seluruh ucapan para tokoh tersebut adalah pada penggalan penukilan tesebut.

Dan sungguh amat disayangkan, saudara ath-Thalibi membuat opini yang sangat subyektif sekali, dimana ia mengatakan “Dalam pembicaraan, mereka (salafi) biasa mengatakan, “Tenang saja! Buku Abduh itu sudah dibantah oleh ustadz kita dengan dalil yang kokoh!”, padahal saya belum pernah mendengarkan ucapan seperti ini. Taruhlah apabila benar, maka saudara ath-Thalibi sesungguhnya telah menukilnya dari awwamus salafiy, maka tidaklah seharusnya ia jadikan sebagai standar penilaian. Karena ucapan para awwam bukan merupakan hujjah, sebagaimana pula banyak awwamul harokiy mengutarakan ucapan-ucapan yang lebih dahsyat dan lebih nyeleneh dari ucapan di atas. Namun bukanlah ini inti pembahasan kita.

Ath-Thalibi : Abu Salma sangat sering menampilkan syair-syair Arab dalam tulisannya. Hal ini sebenarnya bagus, syair-syair itu akan semakin memperindah kualitas tulisan. Hanya saja yang patut dicatat, Abu Salma sering menempatkan syair-syair itu di awal-awal tulisan, sehingga dengan cara itu beliau berusaha mengokohkan posisi dirinya, dan secara halus mulai memojokkan pihak-pihak yang akan dibantahnya. Contoh dalam tulisan di atas ialah syair berikut: “Seandainya bukan penghinaan terhadap singa maka saya serupakan mereka dengannya. Akan tetapi singa jarang di dapat diantara binatang ternak.” Syair ini saja sudah mengandung tiga serangan, yaitu: Satu, kata ‘penghinaan’ yang menunjukkan maksud penulis. Dua, penyerupaan dengan singa. Tiga, sifat singa lebih tinggi dari binatang ternak. Ini serangan bertingkat tiga yang intinya memojokkan semua. Disarankan, kalau memuat syair Arab, letakkan ia di tengah-tengah atau di akhir tulisan, jangan di awal tulisan. Jadi, kemukakan dulu kekuatan hujjah-hujjah Anda, setelah itu baru perkokoh dengan syair yang tepat. Hal ini lebih fair daripada merasa “menang sebelum bertanding” karena dibantu oleh syair-syair.

Tanggapan : Sungguh sangat mengherankan, seorang penulis yang cukup terkenal seperti ath-Thalibi mengkritisi metode penulisan hanya pada penempatan syair yang mana hal ini adalah suatu hal yang fleksibel dan tidak ada aturan bakunya. Dan anehnya lagi, beliau berani melakukan penakwilan-penakwilan sendiri –dan penakwilan seperti ini sangat sering dilakukan oleh ath-Thalibi pada tulisannya mendatang-.

Hanya karena ushlub penulisan yang saya gunakan, Ath-Thalibi telah berani menvonis diri saya dan mengatakan bahwa saya telah berusaha mengokohkan posisi saya dan merasa menang sebelum bertanding. Ini sungguh adalah suatu tuduhan dan vonis yang keji. Apabila saudara ath-Thalibi mau obyektif dan tenang –tidak emosi- membaca tulisan saya niscaya dia tidak akan mengutarakan kata-kata tuduhan keji seperti ini. Saya sarankan agar saudara ath-Thalibi lebih menfokuskan kepada esensi penyimpangan pemikiran saya, bukan kepada ushlub penulisan yang sebenarnya fleksibel dan mencari-cari kesalahan dengan penakwilan-penakwilan yang batil.

Apabila kita menggunakan falsafah dan logika berfikir ath-Thalibi, maka bagaimana kita mensikapi ucapan Imam asy-Syafi’i berikut ini :

قل بما شئت في مسبة عرضي فسكوتي عند اللئيم جواب

ما أنا عادم الجواب ولكن ما من الأسد أن تجيب الكلاب

Berkatalah sekehendakmu untuk menghina kehormatanku

Toh, diamku dari orang hina adalah suatu jawaban

Bukanlah artinya aku tidak punya jawaban, tetapi

Tidak pantas bagi seekor singa meladeni anjing-anjing[5]

Apakah akan kita katakan bahwa Imam Syafi’i memuji dirinya bagaikan singa dan lawan-lawannya disifatkan sebagai anjing??? Haihata haihata…

Ath-Thalibi : CATATAN: Syaikhul Islam memulai perkataannya dengan kata laa ‘aiba, artinya tidak aib, tidak tercela, tidak hina, dsb. Kata seperti ini maksudnya tentu bukan: Hendaklah kalian, wajib bagi kalian, sunnah hukumnya, lebih afdhal, dsb. La ‘aiba itu tidak tercela, artinya boleh. Jika memang boleh, berarti sah-sah saja seseorang bernisbat ke istilah itu. Atau, boleh juga dia tidak memakai penamaan itu. Lalu bagaimana dengan Syaikhul Islam sendiri? Apakah beliau memakai nisbat As Salafi Al Atsari? Ternyata tidak. Hampir-hampir kita tidak pernah mendengar Syaikhul Islam menuliskan namanya, misalnya Taqiyuddin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah As Salafi. Jika beliau mengatakan boleh, tetapi beliau tidak pernah memakai nisbat seperti itu, berarti perkara ini bukan termasuk penting menurut Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Wallahu a’lam.

Bahkan pada nukilan di atas, cara menerjemahkannya perlu diperbaiki. Kalau melihat teks aslinya, mungkin yang lebih tepat seperti ini: “Tidak tercela bagi siapa yang menampakkan madzhab Salaf dan berintisab kepadanya, dan berbangga kepadanya, akan tetapi wajib baginya menerima hal itu (madzhab Salaf) dengan cara menyepakatinya, sebab madzhab Salaf itu tidak ada padanya, selain kebenaran.” Dalam soal intisab (memakai penamaan), Syaikhul Islam menghukuminya laa ‘aiba (tidak tercela), tetapi dalam menyepakati kebenaran madzhab Salaf, beliau menghukuminya wajib. Intinya, mengimani kebenaran manhaj Salafus Shalih lebih utama dari sekedar memakai nama Salafi.

Tanggapan : Di sinilah letak talbis dan syubhat utama dan pertama saudara ath-Thalibi, oleh karena itu kepada para pembaca agar jeli melihat pembahasan ini. Supaya lebih jelas, ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu akan saya nukilkan :

لا عيب على من أظهر مذهب السلف و انتسب إليه أو اعتزى إليه ، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقاً

“Tidak tercela orang yang menampakkan madzhab salaf dan dia menisbatkan diri kepadanya serta berbangga dengan madzhab salaf, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan karena tidaklah madzhab salaf kecuali benar”. (Majmu’ Fatawa IV:149).

Di dalam mengomentari kata laa ‘aiba, ath-Thalibi mengatakan : “Syaikhul Islam memulai perkataannya dengan kata laa ‘aiba, artinya tidak aib, tidak tercela, tidak hina, dsb. Kata seperti ini maksudnya tentu bukan: Hendaklah kalian, wajib bagi kalian, sunnah hukumnya, lebih afdhal, dsb. La ‘aiba itu tidak tercela, artinya boleh. Jika memang boleh, berarti sah-sah saja seseorang bernisbat ke istilah itu. Atau, boleh juga dia tidak memakai penamaan itu.

Saya katakan : Sungguh saudara ath-Thalibi telah menunjukkan hakikat dirinya bahwa dirinya tidak faham Bahasa Arab –akan datang penjelasannya lagi- dan mentakwil dengan pemahamannya sendiri. Ath-Thalibi dengan falsafahnya mengatakan bahwa kata laa ‘aiba artinya adalah hanya berimplikasi pada boleh, bukan wajib, sunnah ataupun lebih afdhal.

Apabila kita telaah, kata ‘aib itu sendiri adalah bermakna an-Nuqshoh atau al-Washmah, atau apabila kita translasikan artinya adalah kekurangan, cela atau cacat. Kata laa di sini adalah laa naafiyah (negasi, peniadaan). Jadi maksudnya adalah “tidaklah merupakan suatu cacat, cela, atau kekurangan”. Arti dari tidak cacat, tidak cela dan tidak kekurangan sama dengan lawan dari cacat, cela atau kekurangan, yaitu terpuji, mulia dan baik. Semua orang pasti mengatakan bahwa terpuji bukanlah hanya berimplikasi pada kebolehan belaka, namun merupakan keutamaan dan afdhaliyah. Oleh karena itu, kata laa ‘aiba itu tidak hanya membuahkan kepada kebolehan, namun kepada keutamaan, dan suatu hal yang diutamakan tentu adalah suatu hal yang dicintai (mustahab). Ini yang pertama.

Yang kedua, apabila kita menelaah balaghoh ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu di atas, menunjukkan bahwa ucapan beliau di atas adalah bahasa pengingkaran dan jawaban. Maksudnya, ushlub gaya bahasa beliau adalah gaya pengingkaran, yaitu seakan-akan beliau mengingkari orang-orang yang menolak penisbatan kepada salafi dan menuduhnya sebagai suatu bid’ah atau merendahkan penisbatan ini. Oleh karena itu beliau menjawab : “Tidaklah tercela orang yang menampakkan madzhab salaf dan dia menisbatkan diri kepadanya serta merasa bangga dengannya…”. Jadi ini bukanlah ushlub khobar/berita belaka.

Bahkan, kalimat Syaikhul Islam berikutnya menunjukkan akan wajibnya menerima penisbatan ini dengan kesepakatan. Perhatikan ucapan Syaikhul Islam berikut ini :

بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق

…bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan…

Kata dzalika di atas kembalinya kepada azhhar, intasaba dan I’tazaa bukan kepada madzhab salaf, karena diikuti oleh kata minhu dan hu di sinilah yang berarti madzhab salaf. Jadi taqdirnya adalah “bahkan wajib menerima menampakkan, menisbatkan diri dan berbangga dengan madzhab salaf menurut kesepakatan…”

Di sinilah ath-Thalibi keliru besar di dalam menterjemahkannya. Dia menterjemahkannya dengan : “akan tetapi wajib baginya menerima hal itu (madzhab Salaf) dengan cara menyepakatinya”. Subhanalloh, ath-Thalibi bermaksud memperbaiki penterjemahan namun malah merusaknya, rusak dari sisi pemahaman dan sisi bahasa. Saya tidak tahu, apakah ath-Thalibi tidak bisa berbahasa Arab ataukah dirinya sengaja melakukan talbis dan tadlis dengan penterjemahan yang menyimpang.

Dzalika diterjemahkan oleh ath-Thalibi dengan “hal itu” kemudian ditafsirkannya dengan madzhab salaf, lantas dimana letak fungsi kata minhu wahai Aba Abdirrahman? Padahal dzalika kembalinya adalah kepada pernyataan kalimat sebelumnya, bukan kepada madzhab salaf. Haihata haihata…

Lebih lucu lagi, ath-Thalibi menterjemahkan kata bil ittifaq adalah dengan “dengan cara menyepakatinya”, tentu saja maksudnya adalah “dengan cara menyepakati madzhab salaf”, sehingga implikasinya adalah sebagaimana ucapannya “Dalam soal intisab (memakai penamaan), Syaikhul Islam menghukuminya laa ‘aiba (tidak tercela), tetapi dalam menyepakati kebenaran madzhab Salaf, beliau menghukuminya wajib.

Di sini ath-Thalibi jatuh kepada dua kesalahan fatal :

  1. Salah dalam penterjemahan dari sisi struktur gramatikal Bahasa Arab.
  2. Salah dalam pemahaman, dan ini adalah lebih fatal ketimbang yang pertama dan ini merupakan buah dari kesalahan yang pertama.

Yang benar, kata bil ittifaq maknanya adalah “menurut kesepakatan, ijma’ atau konsensus”. Bukan “dengan menyepakati madzhab salaf”. Jadi maksud Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah :

لا عيب على من أظهر مذهب السلف و انتسب إليه أو اعتزى إليه ، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقاً

“tidak tercela menampakkan madzhab salaf, menyandarkan diri padanya dan berbangga dengannya, bahkan wajib menerima hal ini (pernyataan ini) kepadanya dengan kesepakatan (para ulama). Karena tidaklah madzhab salaf itu melainkan hanya kebenaran padanya.”

Semua dhamir hu (kata ganti –nya) pada kalimat di atas kembalinya adalah ke madzhab salaf, dan kata dzalika kembalinya kepada pernyataan sebelumnya yaitu “menampakkan, menyandarkan diri dan berbangga kepadanya (madzhab salaf)”.

Sebagai tambahan silakan baca terjemahan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini pada buku-buku berikut :

1. “Mengapa Memilih Manhaj Salaf”, pent : Ust. Khalid Syamhudi, Pustaka Imam Bukhari, cet. I, hal. 39, paragraf ke-4.

2. “Studi Dasar-Dasar Manhaj Salaf”, pent : Fuad Riady, Pustaka Barokah, cet. I, hal. 25, paragraf terakhir.

3. “Jama’ah-Jama’ah Islamiyah” jilid 2, Pent : Ust. Abu Ihsan, Pustaka Imam Bukhari, cet. I, hal. 367, paragraf 3.

4. dll.

Coba baca dan bandingkan terjemahan ath-Thalibi dengan para penterjemah di atas. Niscaya anda akan mengetahui hakikatnya…

Ketiga, ath-Thalibi mengatakan “Dalam soal intisab (memakai penamaan), Syaikhul Islam menghukuminya laa ‘aiba (tidak tercela), tetapi dalam menyepakati kebenaran madzhab Salaf, beliau menghukuminya wajib”. Di sini ath-Thalibi membatasi bahwa intisab hanyalah sekedar memakai penamaan belaka. Padahal intisab lebih daripada itu. Berikutnya, ath-Thalibi menakwilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas dengan penakwilan yang jauh. Apabila kita kembali membaca ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas, komentar ath-Thalibi ini akan batal dengan sendirinya.

Saya setuju, penamaan as-Salafy, al-Atsari dan semisalnya bukanlah suatu hal yang wajib. Namun menisbatkan diri kepada madzhab salaf adalah wajib. Karena menisbatkan diri ke madzhab salaf adalah menisbatkan cara beribadah, berakhlaq, beraqidah dan beragama kita dengan cara beragama para salaf. Ath-Thalibi salah faham dengan pernyataan bahwa penisbatan itu sama dengan penamaan. Padahal penisbatan itu bisa dengan nasab, tanah kelahiran, madzhab, cara beragama dan selainnya. Penisbatan dalam artian cara beragama maka wajiblah disandarkan kepada para salaf…

Kepada ath-Thalibi saya katakan :

إذا ما الأصل ألفي غير زاك فما تزكو مدى الدهر الفروع

Apabila Pondasinya tidak kuat

Maka cabangnya pun akan demikian sepanjang masa

Ath-Thalibi : Setelah menyimpulkan tentang istilah Salafi (kesimpulan tuduhan pertama), Ustadz Abu Salma menukil perkataan Ustadz Abduh ZA, lalu mengomentarinya: “Apabila al-Ustadz (Abduh ZA. –pen) menafikan sebagai nisbat kepada madzhab salaf, maka berarti al-Ustadz telah jatuh kepada celaan terhadap mereka –para ulama sebelum Ibnu Taimiyah-. Karena apabila mereka tidak bernisbat kepada madzhab Salaf maka kepada apakah mereka bernisbat??”

CATATAN: Ustadz Abu Salma, Antum kan sering menasehati ikhwan Salafi tertentu dengan perkataan: “Ittaqillah ya Akhi!” Maka, saya pun mengharapkan Antum juga berhati-hati ketika mengomentari pernyataan orang lain. Perkataan Antum di atas jelas merupakan tuduhan kepada Abduh ZA. Antum menuduhnya TELAH MENCELA ulama-ulama sebelum Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Sebenarnya apa yang disampaikan oleh Abduh ZA, hanyalah soal PENAMAAN (nisbat), bukan ruju’-nya seseorang kepada madzhab Salaf. Ulama-ulama sejak dulu ruju’ kepada madzhab Salaf, tetapi dalam soal nama, mereka kebanyakan tidak memakai nama As Salafi atau Al Atsari. Bahkan sampai saat ini banyak ulama-ulama Salafi yang tidak memakai nama itu. Contoh, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah, Syaikh Yahya An Najmi, Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Aljazairi, dsb. Antum pernah melihat mereka menyebut namanya dengan nisbat As Salafi Al Atsari?

Antum berkata, “Karena apabila mereka tidak bernisbat kepada madzhab Salaf maka kepada apakah mereka bernisbat??” Akhi rahimakallah, Antum harus bedakan benar antara NISBAT dengan ITTIBA’. Nisbat itu memakai nama yang dikaitkan dengan perkara-perkara tertentu, sedangkan ittiba’ berarti mengikuti suatu ajaran tertentu. Kewajiban Syar’i yang kita terima ialah mengikuti (ittiba’) Salafus Shalih (Surat An Nisaa’: 115), adapun soal nama terserah masing-masing orang, asalkan baik dan terpuji.

Tanggapan : Wahai Aba Abdirrahman wafaqokallahu, fahamkah anda dengan bahasa? Pasti anda lebih faham daripada saya. Namun mengapa anda palingkan perkataan saya kepada makna yang tidak benar?

و كم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم

Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar ?

Sebabnya karena pemahaman yang salah/buruk

Tahukah anda kalimat syarth?? apabila anda tidak tahu maka perhatikan ucapan saya berikut ini. Misal dikatakan : “Apabila fulan mencuri niscaya dia saya sebut sebagai pencuri”. Bisakah dikatakan (baca : disimpulkan) bahwa saya telah menuduh fulan sebagai pencuri? Orang yang berakal tentu akan mengatakan, tidak bisa. Karena saya memberikan persyaratan pada awal kalimat, yaitu apabila si fulan mencuri. Lantas bagaimana bisa anda tuduh dan vonis saya bahwa saya telah menuduh Ustadz Abduh ZA TELAH MENCELA para ulama sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu??? Oleh karena itu saya kembalikan ucapan anda, saya pun mengharapkan Antum juga berhati-hati ketika mengomentari pernyataan orang lain.

Di sini, anda juga tidak faham beda antara nisbat dengan tasammi (penamaan). nisbat bermakna at-Tanasub (perimbangan), at-Ta’aluq (pertalian) dan at-Tanaasub (persesuaian). Nisbatpun juga bermacam-macam, bisa dengan nasab (keturunan), bisa dengan tanah air, wilayah, daerah, madzhab, karakteristik dan lain sebagainya. Dan menisbatkan diri kepada madzhab salaf adalah suatu keniscyaan, karena penisbatan ini adalah penyandaran kepada madzhab dan cara beragama kepada as-Salaf ash-Shalih. Adapun at-Tasammi itu hukumnya boleh-boleh saja dan sah-sah saja, baik berbentuk nisbat maupun bukan. Baik nisbat kepada daerah, madzhab ataupun selainnya.

Apabila kita tidak menolak istilah Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah dan lain sebagainya, padahal penisbatan ini adalah penyandaran kepada individu-individu yang tidak ma’shum maka tentunya kita tidak akan menolak istilah salafiyah, karena ini adalah penisbatan kepada madzhab salaf seluruhnya, bukan kepada indivdiu tertentu. Bahkan, bukankah antum juga menggunakan nisbat ath-Tholibi??? Kepada apakah antum bernisbat? Apakah nisbat antum bukan bagian dari tazkiyah linafsi? Apabila bukan, tentu penisbatan ke salaf adalah lebih mulia dan utama.

Saudara ath-Thalibi, sesungguhnya apabila anda melihat adanya praktek yang salah dari para muntasibin kepada manhaj salaf, maka salahkanlah oknum-oknumnya, bukan nisbat itu sendiri. Karena siapa saja berhak untuk menisbatkan diri kepada manhaj salaf. Namun penilaian itu bukanlah dari penamaan belaka, namun dari hakikatnya. Apabila ada orang yang menggembargemborkan dirinya sebagai salafi sejati tetapi ia menyelisihi manhaj salaf dalam banyak hal, maka dakwaannya atau klaimnya tidak selamat begitu saja. Karena klaim (dengan penisbatan misalnya) haruslah dibuktikan dengan realita, sebagaimana perkataan seorang penyair :

وإذا الدعاوى لم تقم بدليلها بــ النص فهي على السفاه دليل

Jika para pendakwa tidak menopang dalilnya dengan argumentasi

Maka dia berada di atas selemah-lemahnya dalil

Oleh karena itu saya sarankan kepada saudara ath-Thalibi agar membaca kembali ulasan saya tentang nisbat kepada salafiyah ini pada risalah “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman” jawaban terhadap tuduhan pertama.

Ath-Thalibi : Setelah menyebutkan pendapat Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan tentang esensi mengikuti manhaj Salaf, Abu Salma mengatakan: “Adapun jika maksudnya adalah sebagai penisbatan kepada madzhab salaf, sebagai pengakuan bahwa madzhab salaf adalah madzhab yang paling haq, bukan dalam rangka tazkiyatun lin nafsi apalagi hizbiyah. Untuk membedakan diri dari firqoh-firqoh yang sedang berkembang pesat di zaman ini, untuk membedakan diri dari hizbiyah yang membinasakan dimana tiap hizb bangga dengan apa yang ada pada mereka masing-masing, maka penisbatan dan penyebutan kata as-Salafiy, al-Atsariy, as-Sunniy atau yang semisalnya adalah suatu penisbatan terpuji.”

CATATAN: Ini adalah kalimat-kalimat yang membatalkan dirinya sendiri. Abu Salma mengatakan bahwa istilah Salafi bukan untuk mentazkiyah diri sendiri (menganggap diri suci, atau memiliki kemuliaan tertentu). Tetapi penjelasan selanjutnya menjelaskan bahwa kaum Salafi merasa lebih benar dari firqoh-firqoh, dari hizbi-hizbi yang ada, sehingga perlu identitas PEMBEDA. Kalau tidak bermaksud mensucikan diri di tengah Ummat Islam, buat apa harus diadakan identitas (penamaan) tertentu? Bahkan perhatikan kalimat berikut, “Untuk membedakan diri dari firqoh-firqoh yang sedang berkembang pesat di zaman ini, untuk membedakan diri dari hizbiyah yang membinasakan.” Firqah-firqah yang dimaksud tentu bukan Firqatun Najiyyah (kelompok yang selamat), sebab firqah terakhir ini jumlahnya satu (wahida), sedangkan Abu Salma menulis ‘firqah-firqah’. Lebih menarik lagi, Abu Salma mengatakan bahwa setiap hizb (partai) bangga dengan apa yang ada pada dirinya. Lalu bagaimana dengan Abu Salma sendiri yang sampai “jungkir-balik” membela istilah Salafi itu? Apakah itu juga bukan bagian dari membanggakan kelompok? Tanpa harus diberitahu pun, perbuatan itu akan mencerminkan isi hati.

Tanggapan : Sekali lagi ath-Thalibi terjebak di dalam pemahamannya sendiri yang kontradiktif. Apakah ath-Thalibi menolak akan terpecahbelahnya umat Islam menjadi firqoh-firqoh? Tentu saja tidak. Namun, ath-Thalibi dalam uraiannya menunjukkan bagaimana dirinya menolak adanya tafaruq yang membinasakan di tengah-tengah umat Islam. Saya ingin bertanya kepada ath-Thalibi? Apakah syi’ah, khowarij, murji’ah, jahmiyah, mu’tazilah, shufi dan sebagainya itu kelompok sesat atau bukan? Insya Alloh ath-Thalibi akan bersepakat dengan saya bahwa mereka sesat. Apakah mereka telah punah? Jika ath-Thalibi bersepakat dengan saya dia akan mengatakan tidak, kelompok-kelompok tersebut masih eksis/ada dan bertransformasi ke dalam bentuk-bentuk lainnya.

Mungkin bedanya saya dengan ath-Thalibi adalah di dalam mengidentifikasi jelmaan kelompok-kelompok sesat ini di dalam formasi yang baru. Pembahasan ini adalah pembahasan yang panjang dan butuh pembahasan tersendiri. Namun yang pasti, bukankah setiap kelompok itu memiliki ciri khas tersendiri yang mereka akan terbedakan antara satu dengan lainnya.

Adapun harokah-harokah kontemporer, misalnya simpatisan IM, maukah mereka disebut sebagai syabab HT? atau sebaliknya? Saya yakin mereka tidak mau. Kalau seandainya mau, maka itu hanyalah retorika belaka yang kosong dari kebenaran. Maukah orang PKS mencoblos PKB saat pemilu? Saya yakin tidak mau? Kenapa? Bukankah sama-sama islam? Sama-sama partai Islam? Berbasis massa Islam? Kenapa koq tidak mau? Karena manhaj mereka berbeda.

Mungkin akan ada yang berkata, “saya Islam, saya bukan HT, bukan IM atau kelompok-kelompok lainnya”. Maka saya katakan kepadanya, “khowarij –menurut pendapat yang rajih- Islam atau bukan? Syiah –sebagiannya- Islam atau bukan? Shufi Islam atau bukan?” Maka mau tidak mau haruslah ia menjawab Islam. Lantas saya tanyakan kepadanya, “Islam yang manakah anda? Padahal kelompok-kelompok tersebut juga Islam!” walau mungkin ia akan bersikukuh dengan ucapannya bahwa ia hanyalah Islam saja, namun pastilah ia akan memaksudnya dengan Islam sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Baik, al-Qur’an dan as-Sunnah adalah hujjah tak terbantahkan bagi ummat islam. Namun bukankah kelompok-kelompok Islam yang menyimpang juga menggunakan keduanya sebagai hujjah? Walaupun dengan pemahaman mereka masing-masing. Lantas dengan pemahaman apakah anda memahami keduanya? Seorang muslim sejati pasti akan mengatakan menurut pemahaman as-Salaf ash-Shalih.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah IM, HT, JT dan sebagainya adalah Islam? Tentu, mereka adalah islam? Apakah mereka berhujjah dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah? Tentu. Apakah mereka memahami keduanya dengan pemahaman salaf? Sebagian besar mungkin mengklaim demikian, namun klaim belaka tidaklah menunjukkan hakikat sebenarnya. Walau begitu, mereka memiliki pemahaman aqidah, manhaj dan pemikiran yang berbeda-beda. Hal ini merupakan suatu sunnatullah. Namun apakah semua perbedaan ini adalah benar?

Tentu saja tidak! Karena kebenaran itu tidak berbilang. Perselisihan dan perpecahan itu adalah adzab dan kesesengsaraan. Ini adalah realita nubuwah. Jadi, bertahazzub, masuk ke dalam golongan yang ada pendiri, tahun diberdirikan, ketua, anggota dan lain sebagainya, tiap golongan memiliki manhaj tersendiri, dan menjadikannya sebagai dasar wala’ dan baro’, maka ini semua adalah bentuk tafarruq. Orang IM mau tidak mau maka ia adalah ikhwani, orang HT adalah tahriri, orang JT adalah tablighi dan seterusnya. Ini adalah konsekuensi yang tidak bisa tidak.

Oleh karena itu, tidak ada celanya menampakkan diri kepada madzhab dan manhaj salaf, berintisab kepadanya dan berbangga-bangga dengannya, bahkan wajib menerimanya dengan kesepakatan para ulama, karena tiadalah pada manhaj salaf melainkah hanyalah kebenaran. Apabila ini dikatakan sebagai bentuk hizbiyah juga, maka tidaklah mengapa, karena hizbi-nya disandarkan kepada as-Salaf, apabila dikatakan sebagai bentuk ashobiyah maka tidaklah mengapa, karena ashobiyahnya kepada madzhab yang ma’shum yaitu madzhab salaf. Kebenaran pastilah memiliki lawan, yaitu kebatilan, dan keduanya akan terus bergumul dan bertikai hingga hari kiamat. Imam Ibnul Qoyyim di dalam al-Kafiyah asy-Syafiyah (217) berkata

والحق منصور وممتحن فلا تعجب فهذي سنة الرحمن

Kebenaran itu akan menang dan mendapat ujian, maka janganlah

Heran, sebab ini adalah sunnah ar-Rahman (sunnatullah).

Ath-Thalibi : Abu Salma mengatakan: “Karena Salafiy sejati tidaklah menvonis sesat, bid’ah, fasik bahkan kafir melainkan dengan ilmu dan kehati-hatian. Mereka tidaklah akan menerapkan hukum sebelum menegakkan syarat-syaratnya dan menghilangkan penghalang-penghalangnya. Mereka senantiasa berpijak atas dasar ilmu dan bashiroh. Apabila ada sekelompok kaum yang menyelisihi hal ini, maka ketahuilah, ia bukanlah salafiyah sedikitpun.

CATATAN: Mohon perhatikan kalimat terakhir, “Apabila ada sekelompok kaum yang menyelisihi hal ini, maka ketahuilah, ia bukanlah Salafiyah sedikit pun.” Jadi, disini ada Salafi sejati dan ada Salafi yang cuma ngaku-ngaku. Pertanyaannya, siapakah Salafi sejati? Apakah Abu Salma, guru-gurunya, dan teman-temannya masuk di dalamnya? Jika membaca kegigihan Abu Salma dalam membela istilah Salafi dan menyebutkan sifat-sifatnya, mudah disimpulkan bahwa Salafi sejati adalah diri mereka. Selanjutnya, bagaimana dengan Salafi palsu? Abu Salma menegaskan dengan kalimat, “IA BUKANLAH SALAFIYAH SEDIKIT PUN.” Sejak semula Abu Salma menegaskan bahwa Salafiyah adalah manhaj para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in radhiyallahu 'anhum. Dengan kata lain ia adalah ajaran Islam itu sendiri. Bahkan ajaran Islam yang masih murni, ketika belum tercampur ajaran-ajaran lain. Jika seseorang atau sekelompok orang dikatakan BUKAN SALAFIYAH SEDIKIT PUN, berarti tidak ada kebaikan Islam dalam dirinya. Salafiyah adalah Islam, atau ia adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Maaf Akhi, kalimat Antum itu sangat berat, karena disana ada kata SEDIKIT PUN. Padahal di kalangan ahlul bid’ah, di antara mereka masih ada yang menjalankan shalat lima waktu. Paling tidak kebaikan Salafiyah itu masih ada padanya, meskipun mungkin hanya sekian bagian. Ustadz Abu Salma harus berhati-hati ketika menulis, jangan tergoda oleh kalimat-kalimat hiperbola, tetapi tidak mengukur konsekuensi hukum di baliknya.

Tanggapan : Saya tidak habis fikir, apakah ini manhaj ilmiah seorang penulis buku yang konon laris bak kacang goreng, yang katanya berupaya berpegang kepada amanat ilmiah, tanpa tendensi pribadi dan buruk sangka, dengan analisa dan kacamata ilmiah yang tajam??? Namun, melihat bantahan ath-Thalibi di atas, saya benar-benar sangsi dan ragu, akan keilmiahan buku “DSDB”.

Apabila ath-Thalibi mau tenang, ilmiah dan tidak emosional, tentunya dia tidak akan berkata-kata sebagaimana ucapannya di atas. Wahai saudaraku Aba Abdirrahman ath-Thalibi hadaakallohu, tenanglah dan simaklah penjelasan saudaramu ini dengan baik.

Pertama, ucapan saya di atas adalah intisari dengan ucapan al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu. Beliau rahimahullahu berkata :

السلفية هي اتباء منهج النبي صلى الله عليه و سلم وأصحبه لأنه مَن سلفنا تقدموا علينا, فاتباعهم هو السلفية. وأما اتخاذ السلفية كمنهج خاص ينفرد به الإنسان ويضلّل من خالفه من المسلمين ولو كانوا على حقّ فلا شك أن هذا خلاف السلفية.

“Salafiyyah adalah ittiba’(penauladanan) terhadap manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya, dikarenakan mereka adalah salaf kita yang telah mendahului kita. Maka, ittiba’ terhadap mereka adalah salafiyyah. Adapun menjadikan salafiyyah sebagai manhaj khusus yang tersendiri dengan menvonis sesat orang-orang yang menyelisihinya walaupun mereka berada di atas kebenaran, maka tidak diragukan lagi bahwa hal ini menyelisihi salafiyyah!!!”

Beliau rahimahullahu melanjutkan :

لكن بعض من انتهج السلفية في عصرنا هذا صار يضلل كل من خالفه ولو كان الحق معه واتخاذها بعضهم منهجا حزبيا كمنهج الأحزاب الأخرى التي تنتسب إلى الإسلام وهذا هو الذي ينكر ولا يمكن إقراره.

“Akan tetapi, sebagian orang yang meniti manhaj salaf pada zaman ini, menjadikan (manhajnya) dengan menvonis sesat setiap orang yang menyelisihinya walaupun kebenaran besertanya. Dan sebagian mereka menjadikan manhajnya seperti manhaj hizbiyah atau sebagaimana manhaj-manhaj hizbi lainnya yang memecah belah Islam. Hal ini adalah perkara yang harus ditolak dan tidak boleh ditetapkan.”

Syaikh melanjutkan lagi :

فالسلفية بمعنى أن تكون حزبا خاصا له مميزاته و يضلل أفراده سواهم فهؤلاء ليسوا من السلفية شيء. وأما السلفية التي هي اتباع منهج السلف عقيدة وقولا وعملا واختلافا واتفاقا وتراحما وتوادا كما قال النبي صلى الله عليه و سلم ((مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر)). فهذه هي السلفية الحقة.

“Jadi, salafiyah yang bermakna sebagai suatu kelompok khusus, yang mana di dalamnya mereka membedakan diri (selalu ingin tampil beda) dan menvonis sesat selain mereka, maka mereka bukanlah termasuk salafiyah sedikitpun!!!.[6]

Apakah anda akan mengatakan hal yang sama dengan ucapan ini wahai ath-Thalibi???

Kedua, Tidaklah tersamar bahwa orang yang mengklaim tidak dengan serta merta selamat dari klaimnya, ia harus menunjukkan bukti. Dengan demikian tidak semua orang yang menyandarkan diri sebagai salafiyun maka dengan serta merta mereka adalah salafi! Saya katakan, benar perkataan anda, bahwa memang ada dalafi sejati dengan salafi palsu yang hanya ngaku-ngaku. Namun, apakah saya berani mengklaim bahwa saya adalah salafi sejati dan selain saya adalah palsu? Ma’adzallohu. Ini adalah tuduhan buruk, jelek dan fitnah kepada saya. Ini adalah tuduhan yang berangkat dari prasangka belaka dan kesimpulan yang gegabah.

Wahai ath-Thalibi, anda senantiasa menyeru untuk tidak mudah menvonis, menuduh dan semisalnya, namun anda amat seringkali melakukan hal yang berlawanan dengan ucapan anda. Wahai ath-Thalibi, apakah anda pernah membelah dada saya dan melihat bahwa maksud ucapan saya adalah saya mentazkiyah diri saya sebagaimana yang anda maksudkan???

Bahkan, apabila anda membaca risalah-risalah di dalam blog saya, niscaya anda akan faham, bahwa saya sedang menasehati saudara-saudara saya yang memiliki penyelewengan dalam sebagian manhaj mereka. Dan ucapan saya di atas adalah untuk siapa saja, muthlaq dan tidak boleh dita’yin kepada individu-individu tertentu.

Ketiga, anda tampaknya juga perlu belajar masalah hukmul mu’ayan dan hukmul muthlaq. Karena bukanlah artinya Laisu minas Salafiyyah sya’iun atau “ia bukanlah salafiyah sedikitpun” menyimpan masalah takfir di dalamnya. Memang benar bahwa salafiyah itu adalah ajaran Islam itu sendiri yang masih murni. Namun bukan artinya, orang yang tidak memiliki ‘alamat (tanda-tanda) salafiyah sedikitpun maka ia adalah non muslim alias kafir. Tidak demikian. Karena taqdir dari ucapan di atas adalah dalam masalah manhaj, yaitu manhaj salaf. Karena manhaj salaf memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh kelompok lainnya. Adapun amalan, maka siapapun dapat beramal walaupun ia pembesar dan pembela kesyirikan, baik ia sholat, zakat, shodaqoh maupun lainnya. Namun yang dimaksud bukanlah hal ini. Maka perhatikanlah wahai saudaraku.

Ath-Thalibi : Abu Salma berkata: “Adapun tuduhan salafiyin fanatik terhadap guru-guru, tokoh-tokoh dan ulama-ulamanya, ini juga tuduhan yang tidak benar. Karena salafiy tidak pernah fanatik kepada seorang pun kecuali kepada Rasulullah saw. Adapun fenomena yang ditangkap, tentang adanya sebagian oknum yang mengatasnamakan diri sebagai salafiy, lalu mereka menerapkan al-Wala’ (loyalitas) dan al-Baro’ (disloyalitas) kepada individu tertentu atas dasar fanatisme, maka ini bukanlah manhaj salaf.”

CATATAN: Akhi rahimakallah, secara teori, perkataan Antum ini benar. Tetapi dalam praktek, ia sangat sulit dicari buktinya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ikhwan Salafi mencukupkan pengajian hanya dari ustadz-ustadznya sendiri, hadir di majlis-majlisnya sendiri, membaca majalah-majalahnya, membaca buku-buku dari penerbitnya, dan lebih sering menyebut nama-nama ulama tertentu saja. Ini sudah rahasia umum. Biarpun Antum mengingkari dengan 1000 alasan, tetapi kenyataan tidak mudah diubah. Sudah banyak diketahui, sebagian kalangan Salafi dekat dengan ulama-ulama Salafi dari Markaz Imam Al Albani. Salafi ini mengakui bahwa Syaikh Rabi’ Salafi, Syaikh Muqbil Salafi, Syaikh Aman Jami Salafi, Syaikh Yahya Najmi Salafi, tetapi mereka lebih condong ke ulama-ulama dari Markaz Imam Al Albani di Yordan. Bahkan Ustadz Abdurrahman At Tamimi (guru Abu Salma) dipercaya oleh murid-murid Al Albani untuk mengawasi peredaran buku-buku dari ulama-ulama di Markaz Al Albani yang beredar di Indonesia. Jika memang mereka hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tentunya tidak mencukupkan diri dengan majlis-majlis itu, tetapi juga mau melihat majlis-majlis lain. Toh, ukurannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sedangkan Ummat beliau di Indonesia ini banyak, bukan hanya Salafi. Tetapi langkah seperti ini jika dibicarakan akan segera ‘ditebas’ oleh tahdzir keras yang melarang mereka duduk-duduk dengan ahli bid’ah atau menimba ilmu darinya.

Tanggapan : Di sini sangat tampak sekali bahwa saudara ath-Thalibi tidak memahami manhaj salaf di dalam mengambil ilmu –walaupun beliau menulis buku “Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak” dan menggunakan nisbat “ath-Thalibi”-. Untuk itu sebagai nasehat dan penjelasan, ada baiknya saya berikan sedikit gambaran tentang masalah ini -menuntut ilmu-.

Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullahu di dalam Hilyatu Tholibil ‘Ilmi (Perhiasan Penuntut Ilmu) bab Adabu ath-Tholib ma’a Syaikhihi (Etika Penuntut Ilmu dengan gurunya), pada poin no. 22 sub judul at-Talaqqi ‘anil Mubtadi’ (Belajar kepada ahli bid’ah), beliau nafa’allohu bihi berkata :

احذر (أبا الجهل) المبتدع الذي مسه زيغ العقيدة و غشيته سحب الخرافة يحكم الهوى ويسميه العقل ويعدل عن النص وهل العقل إلا في النص؟! ويستمسك بالضعيف ويعبد عن الصحيح ويقال لهم أيضا ((أهل الشبهات)) و((أهل الأهواء)) ولذا كان ابن المبارك وحمه الله تعالى يسمي المبتدعة: ((الأصاغر)).

“Waspadalah belajar dari biang kebodohan yang ahli bid’ah, yang aqidahnya menyeleweng tertutupi oleh mendung khurofat, yang memperturutkan hawa nafsu, namun ia menamakannya dengan mengikuti logika akal dengan berpaling dari nash. Ahli bid’ah ini berpegang dengan hadits yang dha’if dan menjauhi hadits yang shahih. Mereka juga dinamakan dengan ahli syubhat dan ahli ahwa’, oleh karena itulah ‘Abdullah bin Mubarak menamakan ahli bid’ah dengan Asaghir (orang-orang rendahan).”[7]

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengomentari : “Hindari belajar dari biang kebodohan yang ahli bid’ah, yang aqidahnya menyeleweng tertutupi oleh mendung khurofat. Alasan yang dikemukakan oleh Syaikh Bakr Abu Zaed ini wajib kita ikuti, yaitu wajib bagi kita untuk menghindari ahli bid’ah dan perancang kebid’ahan yang memolesnya dengan sesuatu yang menarik dan mempesona. Merekalah orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dalam masalah aqidah, namun menamakannya dengan dalil akal, memang itu adalah akal namun akal mereka yang menghalangi mereka dari mendapatkan petunjuk dan kebenaran serta menyeret mereka kepada kesesatan. Mereka itu disebut oleh Imam Ibnul Qoyyim, mereka lari dari penghambaan yang mereka diciptakan untuk menghambakan diri kepada-Nya namun mereka terjatuh kepada penghambaan diri kepada hawa nafsu dan syaithan.”[8]

Syaikh Bakr Abu Zaed hafizhahullahu berkata :

و قال أيضا –الذهبي- رحمه الله تعالى: وقرأت بخط الشيخ الموفق قال: سمعنا درسه -أي ابن أبي عصرون- مع أخي أبي عمر وانقطعنا فسمعت أخي يقول: دخلت عليه بعد, فقال: لما انقطعتم عني؟ قلت: إن الناس يقولون إنك أشعري, فقال: والله ما أنا أشعري. هذا معني الحكاية.

“Imam adz-Dzahabi rahimahullahu juga berkata : Saya membaca tulisan Syaikh al-Muwafiq (Muwafiqudin Ibnu Qudamah), beliau berkata, ‘Saya dan saudaraku Abu ‘Umar mengikuti kajian yang diajarkan oleh Ibnu Abi Ashrun, namun akhirnya kami tidak mengikuti pelajarannya lagi’. Lalu saya mendengar saudaraku berkata: ‘Setalah itu saya menemuinya dan dia berkata, ‘kenapa kalian tidak lagi mengikuti pelajaranku?’ Saya jawab: ‘Sesungguhnya saya dengar orang-orang berkata bahwa anda adalah seorang Asy’ariy’, maka dia berkata: ‘Demi Alloh saya bukan Asy’ariy’. Demikianlah ceritanya.”

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkomentar :

يستفاد أنك لا ينبغي أن تجلس لمبتدع وإن كانت بدعته حقيقية كبدعة الأشعري

“Dapat dipetik faidah (dari kisah ini) bahwasanya tidak sepatutnya bagi anda duduk bermajlis (belajar) kepada ahli bid’ah apabila kebid’ahannya itu bid’ah haqiqiyah (nyata) semacam bid’ah Asy’ariyah.”[9]

Saya berkata : Semoga Alloh merahmati Imam Ibnu Utsaimin dan membalas Syaikh Bakr Abu Zaed dengan kebaikan, karena apa yang mereka utarakan adalah benar adanya. Apabila Imam Ibnu Qudamah dan saudaranya saja tidak mau bermajlis dengan orang yang tertuduh Asy’ariy padahal kenyataannya orang tersebut menolak tuduhan tersebut. Hal ini menunjukkan kehati-hatian para imam tersebut di dalam menimba ilmu. Lantas bagaimanakah dengan zaman ini dimana ahli bid’ah adalah mayoritas dan kebid’ahan mereka seringkali lebih dahsyat dan lebih beraneka ragam?!!

Ath-Thalibi berkata : “Jika memang mereka hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tentunya tidak mencukupkan diri dengan majlis-majlis itu, tetapi juga mau melihat majlis-majlis lain. Toh, ukurannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sedangkan Ummat beliau di Indonesia ini banyak, bukan hanya Salafi.” Wahai ath-Thalibi, umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memang banyak, namun pengikut sejati yang benar-benar meniti jalan beliau dan menghidupkan sunnah beliau, apakah banyak?? Wahai ath-Thalibi, lebih banyak manakah di zaman ini, ahli bid’ah yang bergelimpangan di dalam kebid’ahan ataukah ahli sunnah yang terasing dikarenakan berpegang teguhnya mereka dengan sunnah nabinya???

Sungguh indah apa yang dipaparkan oleh Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullahu di dalam Madarijus Salikin (III/200) :

“Apabila seorang mukmin menghendaki supaya Alloh menganugerahinya bashiroh (ilmu yang mendalam) di dalam agama, pengetahuan akan sunnah Rasul-Nya dan pemahaman akan kitab-Nya dan diperlihatkan hawa nafsu, bid’ah, kesesatan dan jauhnya manusia dari shirothol mustaqim, jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya. Apabila ia menghendaki untuk menempuh jalan ini, maka hendaklah ia persiapkan dirinya untuk dicemooh oleh orang-orang bodoh dan ahlul bid’ah, dicela, dihina dan ditahdzir oleh mereka. Sebagaimana pendahulu mereka melakukannya kepada panutan dan imam kita Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Adapun apabila ia menyeru kepada hal ini dan mencemooh apa-apa yang ada pada mereka, maka mereka akan murka dan membuat makar kepadanya..Sehingga dirinya menjadi orang yang :

Asing di dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka

Asing di dalam berpegangteguhnya ia kepada sunnah dikarenakan berpegangnya mereka dengan kebid’ahan

Asing di dalam aqidahnya dikarenakan rusaknya aqidah mereka

Asing di dalam sholatnya dikarenakan rusaknya sholat mereka

Asing di dalam manhajnya dikarenakan sesat dan rusaknya manhaj mereka

Asing di dalam penisbatannya dikarenakan berbedanya penisbatan mereka dengannya

Asing di dalam pergaulannya terhadap mereka dikarenakan ia mempergauli mereka di atas apa yang tidak disenangi hawa nafsu mereka

Kesimpulannya: ia adalah orang yang asing di dalam urusan dunia dan akhiratnya, yang masyarakat tidak ada yang mau menolong dan membantunya.

Karena dirinya adalah :

Seorang yang berilmu di tengah-tengah orang yang bodoh

Penganut sunnah di tengah-tengah pelaku bid’ah

Penyeru kepada Alloh dan Rasul-Nya di tengah-tengah penyeru hawa nafsu dan bid’ah

Penyeru kepada yang ma’ruf dan pencegah dari yang mungkar di tengah-tengah kaum yang menganggap suatu hal yang ma’ruf sebagai kemungkaran dan suatu hal yang mungkar sebagai ma’ruf.”[10]

Demikianlah ucapan Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu. Ahlus sunnah adalah orang yang asing di zaman ini di tengah-tengah rusaknya manusia, dan banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan realita keadaan ini.

Berikutnya ath-Thalibi berkata “Tetapi langkah seperti ini jika dibicarakan akan segera ‘ditebas’ oleh tahdzir keras yang melarang mereka duduk-duduk dengan ahli bid’ah atau menimba ilmu darinya.”, apakah saudara ath-Thalibi mengingkari ucapan-ucapan para salaf untuk menghindari majelis ahli bid’ah?!! Ataukah ath-Thalibi tidak mempermasalahkan masalah mengambil ilmu baik dari ahli sunnah maupun ahli bid’ah??? Untuk itu saya ingatkan sedikit ucapan para imam ini dan perhatikanlah wahai saudaraku, semoga Alloh memberimu taufiq.

وعن أبي قلابة قال: (( لا تجالسوا أهل الأهواء ولا تجادلوهم؛ فإني لا آمن أن يغمسوكم في ضلالتهم أو يلبسوا عليكم ما تعرفون ))

Dari Abu Qilabah, beliau berkata : “Janganlah kalian bermajelis dengan ahli ahwa’ dan berdebat dengan mereka. Sesungguhnya aku tidak merasa aman bahwa mereka dapat menjerumuskan kalian ke dalam kesesatan mereka atau mereka akan mengkaburkan masalah yang tidak kalian fahami.”[11]

وعن هشام بن حسان قال: (( كان الحسن ومحمد بن سيرين يقولان: لا تجالسوا أصحاب الأهواء ولا تجادلوهم ولا تسمعوا منهم ))

Dari Hisyam bin Hasan, beliau berkata : “Al-Hasan (Hasan al-Bahsri) dan Muhammad bin Sirin pernah berkata, ‘Janganlah kalian bermajelis dengan pengikut hawa nafsu, janganlah mendebatkan dan jangan pula mendengar darinya’.”[12]

وقال حنبل بن إسحاق: سمعت أبا عبد الله يقول: (( أهل البدع ما ينبغي لأحد أن يجالسهم ولا يخالطهم ولا يأنس بهم ))

Hanbal bin Ishaq berkata : “Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata, ‘Ahli bid’ah, janganlah bagi seseorang bermajlis dengan mereka, jangan bercampur dengan mereka dan jangan pula bermanis-manis dengan mereka.”[13]

Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan para imam salaf yang serupa, namun saya rasa yang tiga ini mencukupi.

Mungkin saudara ath-Thalibi akan berkata, “saya tidak menganjurkan untuk belajar ke ahli bid’ah, namun yang saya anjurkan adalah belajar tidaklah harus kepada para ulama salafi saja.”

Maka saya jawab, wahai saudaraku -semoga Alloh menganugerahiku dan menganugerahimu taufiq dan ilmu yang bermanfaat-, kita harus kembalikan lagi istilah salafiy itu sendiri. Apabila anda memaksudkan sebagai suatu kelompok tertentu maka anda salah. Karena yang dimaksud dengan salafiy (dengan adanya ya’ nisbah) merupakan penisbatan kepada manhaj salaf, penyandaran diri secara total terhadap cara beragama kaum salaf. Oleh karena itu lawan dari salafiy adalah kholafiy. Dan tentu saja ulama salafiy adalah lebih a’lam (berilmu), ahkam (lebih jelas/terang) dan aslam (lebih selamat). Jadi, apabila kita tidak menimba ilmu dari ulama salafiy lantas kepada siapakah kita akan menimba ilmu???

Ath-Thalibi berkata “Jika memang mereka hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tentunya tidak mencukupkan diri dengan majlis-majlis itu, tetapi juga mau melihat majlis-majlis lain.” Saudaraku, bentuk fanatik kita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah dengan penauladan kepada beliau, para sahabatnya dan kepada para as-Salaf ash-Shalih. Oleh karena itu kita hanya membatasi mengambil ilmu hanya dari ulama ahlus sunnah, ulama ahlul hadits, ulama ahlul atsar, ulama salafiy. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Salam sendiri pernah bersabda :

وإياكم ومحدثات الأُمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

Dan berhati-hatilah kalian perkara-perkara yang baru di dalam agama, karena setiap perkara yang baru di dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”

Untuk mengimplementasikan kehati-hatian kita dari bid’ah maka kita harus menghindari dan menjauhi ahli bid’ah dan ahli ahwa`.

Mungkin akan ada yang berkata, “berarti anda telah menuduh umat Islam ini seluruhnya adalah ahli bid’ah kecuali salafiy”

Maka saya jawab, tidak benar. Yang saya maksudkan adalah mayoritas umat Islam ini adalah tidak faham dengan sunnah Nabi, mereka asing dengan sunnah Nabi dan telah akrab dengan bid’ah dan segala bentuk kesesatan. Dan ini adalah realita yang tidak dapat dipungkiri. Untuk melabeli seseorang dengan ahli bid’ah ini adalah perkara berat, karena ini masalah vonis spesifik (mu’ayan). Namun menyatakan bahwa mayoritas umat Islam terkungkung oleh bid’ah dan mereka terperangkap dengan amalan ahli bid’ah, maka ini adalah realita, dan ini termasuk vonis muthlaq (umum, tidak spesifik).

Di dalam mensikapi orang-orang yang melakukan kebid’ahan, kita menilainya menjadi dua, yaitu :

  1. Mubtadi’ (ahli bid’ah) yakni para tokoh yang diikuti yang mengada-adakan kebid’ahan di dalam agama, mengajarkannya dan bersikeras mempertahankannya setelah ditegakkan hujjah atasnya.
  2. Muqtada bihi, yaitu mereka yang hanya ikut-ikutan saja, bisa jadi karena kejahilan mereka atau karena ketidakmampuan memilah-milah antara yang hak dan yang batil. Mereka tidak otomatis dikatakan sebagai mubtadi’ (ahlu bid’ah). Dan yang seperti inilah yang mayoritas.

Pembahasan lebih lengkap masalah ini bisa dirujuk di dalam Mukhtashar al-I’tisham oleh Fadhilatusy Syaikh Alwi bin Abdul Qodir as-Seqqaf pasal Fi Lafzhi Ahlil Bida’ wa Ahlil Ahwa’ (buku ini dapat didownload di www.dorar.net). Baca juga pasal sebelumnya tentang pembagian orang-orang yang dinisbatkan kepada bid’ah (Fi Aqsami al-Mansubina ilal Bid’ah).

Sebagai contoh : saya dapat mengatakan bahwa para ziarawan kubur di Masjid Sunan Ampel sebagai quburiyun, padahal quburiyun itu implikasinya tidak lepas dari dua hal, imma dapat jatuh kepada kemusyrikan atau imma dapat jatuh kepada kebid’ahan. Namun saya tidak berani menunjuk seorang tertentu dari mereka dan saya gelari musyrik atau mubtadi’. Karena ini termasuk bab vonis mu’ayan yang butuh persyaratan yang tidak mudah. Demikian pula saya dapat mengatakan bahwa syiah rafidhah adalah kafir, namun saya tidak bisa mengatakan fulan yang ikut pengajian mereka otomatis kafir. Jadi ini adalah masalah yang berbeda. Silakan lihat pembahasan masalah ini di dalam risalah “Hakikat Bid’ah : Tanya Jawab bersama Syaikh al-Albani” di dalam situs saya (http://geocities.com/abu_amman).

Saya minta maaf apabila saya terlalu panjang dan bertele-tele, namun ini semua saya lakukan untuk menghindarkan kesalahfahaman.

Kembali lagi masalah semula, bahwa mengambil ilmu dari ahlinya merupakan suatu keniscayaan. Supaya lebih melengkapi faidah, maka ada baiknya kita baca uraian Syaikh Bakr Abu Zaed nafa’allohu bihi yang dijelaskan lebih lengkap oleh al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullahu.

Syaikh Bakr Abu Zaed berkata :

Wahai para pelajar, ikutilah jejak para ulama salaf para ulama salaf, hati-hatilah jangan sampai para ahli bid’ah mencelakakanmu, karena sesungguhnya mereka banyak membuat jalan-jalan untuk menjegalmu, mereka bungkus semua itu dengan ucapan yang manis seperti madu, padahal sebenarnya ia adalah madu yang pahit dan kucuran air mata, indah kulit luarnya tipuan dengan khayalan belaka, mempertontonkan karomah, menjilati tangan serta mencium pundak. Tidaklah semua itu kecuali bara perbuatan bid’ah dan panasnya api fitnah yang ditanamkan dalam hatimu yang akan menjeratmu dalam lingkaran syaithannya. Demi Alloh, tidaklah orang yang buta bisa menuntun dan menunjukkan untuk memimpin orang-orang buta sepertinya.

Adapun kalau belajar kepada ulama ahlis sunnah, maka benar-benar isaplah madu dari mereka, jangan tanyakan lagi, semoga Alloh memberimu taufiq kepada jalan kebenaran, agar engkau mampu meraup warisan para nabi secara murni. Kalau tidak demikian, maka tangisilah agama ini bagi yang masih bisa menangis. Semua yang sebutkan ini adalah pada saat bisa memilih antara belajar dengan ahlis sunnah atau ahli bid’ah. Adapun apabila engkau belajar pada sekolah formal yang tidak ada pilihan lagi bagimu, maka berhati-hatilah serta berlindunglah kepada Alloh dari kejelekannya, jangan karena ini engkau mundur dari belajar, saya takut ini termasuk mundur dari tengah kancah pertempuran. Saat tidak ada kewajiban bagimu kecuali engkau benar-benar selektif menerima ilmunya, lalu engkau jauhi kejelekannya serta membongkar kedoknya.”

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengomentari ucapan di atas :

Ini sebuah pengecualian yang bagus, terkadang seseorang harus terpaksa belajar kepada ahli bid’ah, semacam kalau belajar kepada sekolah formal, yang mana kadang-kadang yang mengajarkan ilmu bahasa Arab atau lainnya adalah seorang ahli bid’ah. Apa yang harus engkau lakukan kalau memang engkau harus belajar kepadanya?

Kita cuma bisa mengatakan: Ambillah kebaikannya dan tinggalkan kejelekannya. Kalau dia berbicara di hadapan murid-murid mengenai masalah aqidah, maka ajaklah berdialog, kalau engkau mampu berdialog dengannya. Namun kalau tidak, maka sampaikanlah perkataannya kepada orang yang lebih tahu darimu, jangan sampai engkau beradu argumen dengannya padahal engkau tidak bisa mengalahkannya, karena ini akan sangat berbahaya. Bukan hanya bagimu saja, namun juga kepada kebenaran yang engkau bela…”[14]

Demikianlah dua ulama ahlus sunnah salafiy ini menjelaskan. Maka apakah ini termasuk bagian fanatik hanya kepada guru-guru dan masyaikhnya saja? Apabila anda masih menuduh ini bagian dari fanatik, maka saya hanya bisa mengatakan :

فحسبكم هذا التفاوت بيننا وكل إناء بما فيه ينضح

Cukuplah bagi kalian perbedaan diantara kita

Dan setiap bejana memercikkan isinya

Adapun tuduhan bahwa ada sebagian kalangan salafi dekat dengan masyaikh Markaz Imam al-Albani, dan arah ucapan ini tampaknya ditujukan kepada ustadz saya, Ustadz Abu ‘Auf ‘Abdurrahman at-Tamimi dan rekan-rekan beliau, dan dikatakan bahwa mereka lebih condong kepada masyaikh Markaz Imam al-Albani dibandingkan masyaikh lainnya, seperti yang disebut oleh ath-Thalibi, yaitu Syaikh Rabi’, syaikh Muqbil, Syaikh Muhammad Aman al-Jami dan Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi, maka ini adalah suatu pengada-adaan belaka. Apabila ath-Thalibi mau membaca tulisan-tulisan mereka –para asatidzah yang anda tuduh hanya condong ke masyaikh Yordania- baik di buku-buku atau majalah-majalah, niscaya anda akan mendapatkan nukilan-nukilan dari para masyaikh salafiyin lainnya.

Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly hafizhahullahu pernah berkata :

« ... وأننا بفضل الله نشرنا هذا المنهج في مشارق الأرض وفي مغاربه لا نفرّق بين السلفيّين و لا نفضّل بعضَهم على بعضٍ بل نجمعَ شملهم وندعوا إلى الصلح بينهم وندعوا إلى التوفيق بينهم ... »

“Dan kami dengan fadilah dari Alloh, menyebarkan manhaj ini di bumi bagian timur dan barat, dan kami tidak memilah-milah di antara salafiyin, kami tidak mengutamakan antara satu dengan lainnya, namun kami persatukan kalimat mereka dan kami ajak mereka kepada perdamaian di antara mereka serta kami seru mereka kepada saling meluruskan di antara mereka…”[15]

Demikian pula para asatidzah yang dimaksudkan ath-Thalibi lebih condong kepada masyaikh tertentu, bahwasanya mereka tidak memilah-milah diantara ulama salafiyin, mereka tidak fanatik terhadap salah seorang di antara mereka, alhamdulillah. Yang mereka jadikan dasar adalah kesesuaian dengan kebenaran, karena setiap orang dapat diterima dan ditolak ucapannya. Adapun kedekatan belaka, itu tidak menunjukkan arti kefanatikan, sebagaimana banyak pula para ulama salaf antara satu dengan lainnya mereka lebih dekat dengan ulama yang lebih sering mengajarkan ilmu kepada mereka daripada yang hanya mereka dengarkan saja.

Adapun tuduhan bahwa ikhwan salafiyin hanya mencukupkan diri dengan majelis-majelis ustadznya, buku-buku, majalah-majalah dan penerbitan mereka saja, hal ini tidak mutlak benar. Karena ada sebagian kalangan salafiyin yang tidak demikian. Kebenaran dapat diterima dari mana saja, bahkan dari air liur anjing ataupun mulut syaithan. Namun, harus dibedakan antara mencari kebenaran dengan menerima kebenaran.

Sebagai contoh, saya pribadi terkadang membaca buku-buku karya Bapak Adian Husaini, Pak Abduh Zulfidar, Pak Abu Deedat dan selain mereka. Karena setiap orang memiliki spesialisasi masing-masing, maka saya tidak mengharamkan diri mengambil faidah dari tulisan Pak Adian Husaini dalam membantah fikrah kafir JIL, pak Abu Deedat dalam masalah kristologi dls. Saya ambil yang berfaidah darinya dan saya buang yang salah darinya.

Adapun ada sebagian kalangan pengaku-ngaku salafi sejati, dan menolak semua yang bukan berasal dari mereka, maka ini adalah salafiyah dakwaan belaka. Syiar mereka adalah “in lam yakun ma’ana fa’alaina” (apabila tidak bersama kami maka musuh kami). Ini adalah jelmaan fikrah Haddadiyah. Mereka tidak bisa membedakan antara menukil dengan mentazkiyah, antara mencari kebenaran dengan menerima kebenaran.

Mereka mengharamkan membaca buku Ustadz Ahmed Deedat rahimahullahu padahal syaikh Ibnu Utsaimin memuji karya dan video debat-nya. Kami beristifadah dengan ilmu beliau rahimahullahu dalam membantah kaum kuffar, akan tetapi kami tidak menerima beberapa pemahaman beliau yang keliru di dalam masalah agama. Mereka berupaya hati-hati, namun mereka terjatuh kepada sikap ghuluw dan ifrath. Apabila mereka ini yang anda maksudkan wahai ath-Thalibi, maka anda tidak salah. Namun apabila anda menggeneralisir maka anda keliru.

Ath-Thalibi : Abu Salma mengomentari pernyataan Halawi Makmun bahwa Salafi sering menukil perkataan Syaikhul Islam, tetapi setelah dicek tidak ada perkataan itu. Abu Salma mengatakan: “Adapun tuduhannya bahwa salafy sering sekali mengatasnamakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, padahal setelah dicek ternyata Ibnu Taimiyah tidak mengatakan sebagaimana demikian keadaannya, maka ini juga tuduhan belaka yang tidak ada buktinya. Mana bukti atas tuduhan ini?!! Apabila ada bukti, maka diskusi dapat berlanjut, apabila tidak ada maka cukup sampai di sini.”

CATATAN: Perkataan Halawi Makmun bahwa Salafi SERING menukil perkataan Ibnu Taimiyyah, padahal beliau tidak mengatakan seperti yang dinukil. Hal ini perlu dibuktikan secara ilmiah. Siapa di antara Salafi yang berbuat seperti itu? Apakah perbuatan itu sering dilakukan, atau jarang-jarang, atau bahkan tidak pernah sama sekali. Tampaknya, Ustadz Halawi perlu membuktikan kata SERING di atas. Tetapi dalam kasus yang menimpa Syaikh Ali Hasan Al Halabi, memang beliau pernah menukil perkataan Ibnu Taimiyyah, padahal Ibnu Taimiyyah tidak mengatakan perkataan itu. Dari buku Tahdzir Fitnatut Takfir, yang disusun Syaikh Ali Hasan, di halaman 17-18, beliau menukil perkataan palsu dari Ibnu Taimiyyah. Beliau juga membelokkan perkataan Ibnu Katsir dan Syaikh Muhammad Ibrahim rahimahumallah dari tempatnya. Hal ini berdasarkan fatwa Lajnah Daimah Saudi, No. 21517, tanggal 14 Jumadits Tsani 1421 H. Contoh yang mirip kasus ini ialah buku Syaikh Khalid Al Anbari yang berjudul Al Hukmu bi Ghairi Ma Anzalallah. Lajnah Daimah juga menurunkan fatwa pelarangan terhadap peredaran buku tersebut. Jadi buktinya ada, bukan hanya asal menuduh. Namun kalau diklaim bahwa banyak Salafi yang melakukan perbuatan serupa, khususnya ketika menukil perkataan-perkataan Ibnu Taimiyyah, saya tidak tahu.


Tanggapan : Dalam masalah ini saya tidak akan berpanjang lebar, karena buku saya at-Tahdzir min Fitnatit Takfir dan al-Ajwibah al-Mutalaa`imah sedang ada di Surabaya. Insya Alloh akan saya turunkan bantahan khusus dalam masalah ini. Namun, sebelum itu, saya ingin membuktikan dugaan saya, apakah ath-Thalibi hanya “asnuk” (asal nukil) saja ataukah dia pernah menelaah isi fatwa tersebut dan membandingkan dengan buku asli Syaikh Ali Hasan?

Oleh karena itu saya tantang ath-Thalibi untuk menukilkan :

  1. Isi fatwa al-Lajnah ad-Da’imah no. 21517, tanggal 14 Jumadits Tsani 1421 tersebut secara lengkap dan utuh.
  2. Isi buku yang dirujuk di dalam fatwa tersebut, yakni at-Tahdzir min fitnati Takfir hal. 17-18 yang dikatakan sebagai ucapan palsu dari Syaikhul Islam dan membelokkan perkataan Ibnu Katsir dan Syaikh Muhammad Ibrahim Alu Syaikh serta buku al-Hukmu bighoyri ma anzalalloh karya Syaikh Khalid al-Anbari.

Sebagai amanat ilmiah saya tuntut ath-Thalibi untuk menunjukkan dua hal di atas, baru saya akan memberikan jawaban secara khusus dalam masalah ini.

وإذا لم تر الهلال فسلم لأناس رأوه بالأبصار

Apabila engkau tidak melihat bulan sabit maka serahkanlah

Kepada manusia yang melihatnya dengan mata kepala

Ath-Thalibi : Abu Salma mengatakan: “Dengan demikian, ketika fitnah perpecahan dan perselisihan datang bertubi-tubi, bid’ah dan penyimpangan semakin menyebar, maka adalah suatu hal yang niscaya, menguji manusia dengan kesesuaian mereka terhadap sunnah, dan memilah-milah guru di dalam menuntut ilmu. Inilah sikap salafiyun yang sering disalahartikan dengan fanatisme terhadap ulama-ulama mereka saja. Inilah sikap salafiyun yang sering disalahpersepsikan dengan menyibukkan diri untuk mencari-cari kesalahan kelompok-kelompok Islam saat ini, padahal mereka hanyalah bermaksud menguji kesesuaian kelompok-kelompok tersebut terhadap as-Sunnah.”

CATATAN: Dalam buku Al Hatstsu ‘Alat Tib’is Sunnah Wa Tahdziri Minal Bida’i Wa Bayanu Khataraha, karya Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, seperti yang diterjemahkan Abu Salma sendiri, lalu dimuat di situs pribadinya. Disana Syaikh Abdul Muhsin mensinyalir adanya bid’ah baru, yaitu menguji manusia. Jika seseorang “lulus” diuji dengan sekian pertanyaan, maka dia termasuk Ahlus Sunnah; Jika tidak “lulus”, maka posisinya masuk golongan ahli bid’ah. Menguji manusia yang dimaksudkan oleh Abu Salma di atas apakah seperti kenyataan yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin itu? Wallahu a’lam. Jika seandainya perkara pengujian ini benar, siapa yang berhak menguji manusia? Apakah Salafi berhak menguji pihak-pihak di luar Salafi? Jika berhak, apakah Salafi sudah mewakili gambaran pengamalan Sunnah yang sempurna? Jika Salafi merasa paling Sunnah, mana yang seharusnya ditempuh, menguji manusia atau mendakwahi mereka? Jika kelompok-kelompok di luar Salafi memiliki sekian kesalahan, apakah Salafi bersih sama sekali dari kesalahan sehingga layak menjadi “penguji”? Dalam kalimat Antum di atas, jelas ada ketakaburan besar. Seolah yang memegang Sunnah di kalangan Ummat ini hanya kalangan Salafi. Lebih ironinya, jika Salafi mendapat kritik dari luar Salafi, meskipun dikritik berdasarkan Sunnah, para pengeritiknya serta-merta dituduh sebagai anti Sunnah, tidak sepakat dengan manhaj Salaf, dangkal ilmu, tidak bisa berdalil, pendukung Hizbi, pemecah-belah, dll. Mereka boleh bebas mengeritik, tetapi kalau dikritik emosi.

Coba perhatikan penggalan kalimat Abu Salma yang terakhir, “…padahal mereka (Salafi –pen.) hanyalah bermaksud menguji kesesuaian kelompok-kelompok tersebut terhadap as-Sunnah.” Masya Allah, ini adalah tazkiyah (penyucian diri) yang luar biasa. Satu ayat saja dari Al Qur’an sebagai komentarnya: “Dan demikianlah Kami jadikan kalian sebagai Ummat pertengahan (adil dan pilihan), agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Surat Al Baqarah: 143). Disini, yang berhak memegang amanah menguji Ummat Islam adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Adapun setelah beliau wafat, amanah itu dipegang oleh para ulama waratsatul anbiya’ (pewaris Nabi). Ulama tersebut bisa darimana saja, tidak harus dari Yordan, Yaman, atau Saudi. Siapa saja yang paling kuat hujjah-nya menurut Kitabullah dan Sunnah shahihah, dia lebih layak diikuti. Demikianlah karakter Al Jamaah seperti yang disifati oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu sebagai: “Bersepakat atas kebenaran meskipun engkau seorang diri, maka engkau adalah Al Jamaah ketika itu.”

Tanggapan : Sebelum mengomentari ucapan di atas, saya teringat sebuah syair yang indah :

لو كنت تعلم ما أقول عذرتني أو كنت أعلم ما تقول عذلتكا

لكن جهلت مقالتي فعذلتني وعلمت أنك جاهل فعذرتكا

Seandainya kamu faham ucapanku niscaya kamu akan memaafkanku

Atau aku mengetahui ucapanmu maka aku mengkritikmu

Tetapi engkau tidak faham ucapanku sehingga mencelaku

Dan aku tahu bahwa kamu tidak faham maka aku memaafkanmu

Saudaraku ath-Thalibi, apabila anda membaca dengan seksama tulisan saya di atas dengan apa yang dipaparkan oleh al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin bin Hammad al-Abbad al-Badr hafizhahullahu, niscaya anda akan mengetahui hakikat perbedaannya. Namun sayang, anda tidak memahaminya dan hal ini tertuang dalam ucapan anda sendiri : “Menguji manusia yang dimaksudkan oleh Abu Salma di atas apakah seperti kenyataan yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin itu? Wallahu a’lam

Saya mengatakan di dalam risalah yang anda kritisi dengan menukil ucapan para imam salaf, diantaranya Imam Ibnu Sirin rahimahullahu berkata :

إن هذا العلم دين فانظروا عمّن تأخذون دينكم

Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah darimana kalian mengambil agama kalian.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Muqoddimah Shahih-nya).

Tatkala bid’ah dan firoq mulai melanda kaum muslimin, dan fitnah terhadap agama kaum muslimin mulai merebak, tatkala itulah pentingnya menguji manusia akan agamanya, sebagaimana ucapan Imam Barbahari rahimahullahu dalam kitab beliau yang sangat berharga, as-Sunnah :

والمحنة في الإسلام بدعة ، وأمّا اليوم فيمتحن بالسنة

Menguji manusia di dalam Islam itu bid’ah, namun hari ini perlu menguji manusia dengan sunnah.”

Ini adalah ucapan Imam Barbahari sendiri. Dan yang dimaksud oleh imam Barbahari adalah menguji manusia dengan sunnah.

Adapun apabila anda membaca risalah al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr rahimahullahu yang berjudul al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah wat Tahdziru minal Bida’ wa Bayaanu Khathariha pada halaman 85, anda akan menemukan bab Bid’atu Imtihaani an-Naas bil Asykhosh (bid’ah menguji manusia dengan individu-individu tertentu). Apabila anda juga membaca paparan Syaikh setelahnya, maka akan menjadi jelas bahwa maksud syaikh adalah sebagian ahlus sunnah sekarang ini menyibukkan diri mereka dengan menguji antara satu dengan lainnya dengan individu-individu tertentu, sehingga pengujian ini membuahkan pujian dan sanjungan pada individu yang dipuja dan membuahkan tajrih, tabdi’, hajr dan tahdzir pada individu yang dicela.

Mereka menguji manusia dengan mengatakan, “bagaimana pandangan antum terhadap fulan yang telah ditahdzir syaikh fulan”, apabila ia turut mentahdzir orang itu maka ia adalah sahabatnya dan apabila orang itu membela atau bahkan hanya diam tidak menunjukkan sikap (tawaqquf) maka orang itu akan ditahdzir pula dan dijadikan lawan. Kaidah mereka adalah man lam yakun ma’ana fa’alaina (kalau tidak sepakat dengan kami maka musuh kami) atau man dafa’a saaqith fahuwa saaqith (barangsiapa membela orang yang keliru maka ia keliru). Akhirnya fenomena tahdzir, tabdi’, tajrih dan semacamnya merebak di tengah-tengah ahlus sunnah, dan inilah yang dimaksudkan oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr.

Adapun menguji manusia dengan sunnah, adalah menguji mereka akan keselarasannya dengan sunnah, terlebih-lebih di tengah-tengah merebaknya perpecahan dan bid’ah. Menguji manusia dengan sunnah tidak menafikan mendakwahi mereka. Karena menguji manusia dengan sunnah merupakan bagian dari dakwah kepada mereka. Apabila mereka jauh dari sunnah –setelah diuji- maka kewajiban pertama adalah mendakwahi mereka dengan hikmah, kelemahlembutan dan kasih sayang.

Adapun ucapan anda, bahwa apakah salafiyin layak menjadi penguji? Apakah salafiyin merasa yang paling nyunnah? Apakah salafiyin bersih dari segala kesalahan? Maka saya jawab : apabila yang dimaksud adalah salafiyin sebagai pengikut manhaj salaf yang senantiasa berupaya meniti manhaj salaf dengan segala daya upaya, maka insya Alloh iya. Mereka adalah orang yang paling dekat dengan sunnah dan yang menghidupkan sunnah –sebagaimana perkataan Imam Ibnul Qoyyim sebelumnya- di antara rusaknya manusia. Apakah mereka bersih dari kesalahan? tentu saja tidak, yang bersih dari kesalahan hanyalah para nabi dan rasul. Namun kesalahan mereka lebih sedikit apabila dibandingkan oleh selain mereka. Akan tetapi, apabila yang anda maksudkan adalah sebagian oknum yang hanya ngaku-ngaku saja menjadi salafi? Tentu saja mereka tidak layak.

Ingat, jangan difahami ini artinya saya mentazkiyah diri saya sendiri, apalagi sampai anda katakan takabbur –sebagaimana anda lakukan pada tulisan-tulisan anda terdahulu-. Apabila anda tanyakan apakah saya salafiy? Maka saya jawab, insya Alloh, saya berupaya menjadi seorang salafiy. Apabila anda tanyakan apakah saya salafiy sejati? Maka saya katakan, subhanallohu, masih jauh diri saya dari kesempurnaan sebagai salafi sejati, namun saya berupaya untuk bisa menjadi salafiy sejati. Apabila anda tanyakan kepada saya, apakah selain diri saya adalah bukan salafi atau salafi palsu? Maka saya jawab, ma’adzalloh, saya tidak pernah mengatakan demikian.

Ucapan anda benar bahwa “yang berhak memegang amanah menguji Ummat Islam adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Adapun setelah beliau wafat, amanah itu dipegang oleh para ulama waratsatul anbiya’ (pewaris Nabi). Ulama tersebut bisa darimana saja, tidak harus dari Yordan, Yaman, atau Saudi. Siapa saja yang paling kuat hujjah-nya menurut Kitabullah dan Sunnah shahihah, dia lebih layak diikuti. Demikianlah karakter Al Jamaah seperti yang disifati oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu sebagai: “Bersepakat atas kebenaran meskipun engkau seorang diri, maka engkau adalah Al Jamaah ketika itu.” Karena daerah atau negeri tidaklah menjamin lurusnya aqidah, manhaj dan pemahaman seorang ulama. Selama mereka memegang ushul Islam yang lurus sebagaimana yang difahami oleh ulama salaf, maka mereka adalah ulama Islam pewaris para nabi. Bukan ulama shufi, bukan pula ulama Asy’ari Maturidi, mereka bukan ulama yang berpemahaman mufawwidhah dan bukan pula jahmiy. Mereka bukan ulama yang menyeru kepada persatuan kelompok sesat di dalam Islam dan bukan pula ulama yang menyeru untuk menerapkan sistem kufur. Mereka adalah ulama Robbani pewaris para nabi.

Wahai saudaraku ath-Thalibi, telaahlah dengan mendalam sebelum mengambil kesimpulan, karena tidaklah yang anda tangkap adalah sebagaimana yang ditangkap oleh orang lain. Janganlah engkau bagaikan sebuah syair berikut ini :

تكاثرت الظياء على خراش فما يدري خراش ما يصيد

Kijang itu begitu banyak di hadapan Khirasy (sebangsa serigala)

Sehingga dia tidak tahu mana yang harus diburu terlebih dahulu

Sungguh melihat paparan saudara ath-Thalibi di dalam mengomentari risalah saya bagaikan sebuah syair :

سارت مشرقة وسرت مغربا شتان بين مشرق ومغرب

Dia berjalan ke timur dan aku berjalan ke barat

Aduhai alangkah jauhnya timur dan barat

Ath-Thalibi : Ketika mengomentari perkataan Bapak Budi Azhari, dari DPW PKS Jakarta, dimana beliau mengatakan bahwa ada yang lebih kasar dari Syaikh Rabi’ Al Madhali, yaitu Syaikh Muhammad Aman Jami. Abu Salma mengatakan: “Ucapan Pak Budi Azhari bahwa Syaikh Muhammad Aman al-Jami rahimahullahu lebih kasar daripada Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullahu dan syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu, adalah berangkat dari sikap apriori, kebencian dan kejahilannya terhadap hakikat Syaikh Muhammad Aman al-Jami. Padahal, tidak musti setiap kekasaran dan ketajaman lisan pasti buruk. Apalagi apabila ditujukan kepada ahlul bid’ah pengagung kesesatan, kesyirikan dan kebid’ahan yang keras kepala.

CATATAN: Perhatikan kalimat terakhir, “Apalagi apabila ditujukan kepada ahlul bid’ah pengagung kesesatan, kesyirikan dan kebid’ahan yang keras kepala.” Siapakah ahlul bid’ah yang mengagungkan kesesatan, kesyirikan, dan kebid’ahan ini? Tentu saja yang dimaksud Abu Salma adalah PKS atau Ikhwanul Muslimin (IM). Mengapa PKS? Sebab pihak yang memiliki korelasi dengan bahasan isu di atas ialah IM, bukan lainnya. Saran saya, hati-hati ustadz atas ucapan Antum! Perkataan Antum bisa berkonsekuensi TAKFIR terhadap pihak yang dituduh sebagai pengagung kesesatan, kesyirikan, dan bid’ah. Melakukan kesesatan saja salah, apalagi mengagungkan kesesatan? Ingat selalu, syirik itu merupakan pembatal pertama keimanan. Bahkan Syaikh Bin Baz rahimahullah dalam bukunya membahas pembatal lain, yaitu kafir hukumnya bagi orang-orang yang tidak mengkafirkan orang musyrik. Kalau Antum sebut disini ada kelompok yang mengagungkan kesesatan, kesyirikan, dan kebid’ahan sekaligus, apalagi yang bisa dikatakan? Apakah mereka masih bisa dianggap Muslim? Hati-hati Ustadz, jangan-jangan Antum mulai tergoda dengan manhaj-nya Luqman Ba’abduh.

Tanggapan : Sebelumnya izinkan saya menukilkan beberapa pandangan ulama mu’tabar di zaman ini terhadap al-‘Allamah Muhammad Aman bin ‘Ali al-Jami rahimahullahu, mantan pengajar di Masjid Nabawi asy-Syarif dan Universitas Islam Madinah. Untuk menjelaskan bagaimana kedudukan al-‘Allamah al-Jami di hadapan ahli ilmu.

Al-Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu berkata tentang Syaikh Muhammad al-Jami ­rahimahullahu :

هو معروفٌ لديَّ بالعلم و الفضل و حسن العقيدة، و النشاط في الدعوة إلى الله سبحانه و التحذير من البدع و الخرافات غفر الله له و أسكنه فسيح جناته و أصلح ذريته وجمعنا و إياكم و إياه في دار كرامته إنه سميع قريب

“Beliau adalah orang yang aku kenal akan keilmuan, keutamaan dan kebaikan aqidahnya. Orang yang giat di dalam berdakwah kepada Alloh Subhanahu dan mentahdzir dari bid’ah dan khurofat. Semoga Alloh mengampuni (segala dosa) beliau dan menempatkan beliau di dalam kelapangan surga-Nya serta membenahi anak keturunannya. Dan semoga Alloh mengumpulkan kita, kalian dan diri beliau di negeri kemuliaan, sesungguhnya Alloh adalah maha mendengar lagi maha dekat.”[16]

Al-‘Allamah Shalih Fauzan al-Fauzan hafizhahullahu berkata tentang Syaikh Muhammad Aman al-Jami rahimahullahu :

الشيخ محمد أمان كما عرفته: إن المتعلمين و حملة الشهادات العليا المتنوعة كثيرون, و لكن قليلٌ منهم من يستفيد من علمه و يستفاد منه، و الشيخ محمد أمان الجامي هو من تلك القلة النادرة من العلماء الذين سخَّروا علمهم و جهدهم في نفع المسلمين و توجيههم بالدعوة إلى الله على بصيرة من خلال تدريسه في الجامعة الإسلامية وفي المسجد النبوي الشريف وفي جولاته في الأقطار الإسلامية الخارجية و تجواله في المملكة لإلقاء الدروس و المحاضرات في مختلف المناطق يدعو إلى التوحيد و ينشر العقيدة الصحيحة ويوجِّه شباب الأمة إلى منهج السلف الصالح و يحذِّرهم من المبادئ الهدامة و الدعوات المضللة. و من لم يعرفه شخصياً فليعرفه من خلال كتبه المفيدة و أشرطته العديدة التي تتضمن فيض ما يحمله من علم غزير و نفع كثير

“Syaikh Muhammad Aman yang saya tahu: sesungguhnya para pelajar dan pemegang ijazah tinggi itu sangat banyak, namun sangatlah sedikit di antara mereka yang bisa mengambil faidah dari ilmu beliau dan beristifadah dari beliau. Syaikh Muhammad Aman al-Jami adalah termasuk orang yang langka diantara para ulama yang mengkhidmatkan ilmu dan upayanya (tanpa mengharapkan imbalan) di dalam memberikan kemanfaatan bagi kaum muslimin dan mengarahkan mereka dengan berdakwah kepada Alloh di atas bashiroh (pemahaman yang dalam) di tengah-tengah pelajarannya baik di Universitas Islam (Madinah), di Masjid Nabawi asy-Syarif, di dalam lawatan beliau ke luar negeri di penjuru dunia Islam dan kunjungan beliau di kerajaan (Arab Saudi) dalam rangka memberikan pelajaran dan ceramah di berbagai tempat, beliau senantiasa menyeru kepada tauhid dan menyebarkan aqidah yang benar, mengarahkan para pemuda Islam kepada manhaj as-Salaf ash-Shalih, memperingatkan dari ideologi-ideologi yang membinasakan dan seruan-seruan yang menyesatkan. Bagi orang yang tidak mengenal sosok beliau maka hendaknya mengenal beliau dari buku-buku beliau yang bermanfaat dan ceramah-ceramah beliau yang beraneka ragam, yang mengandung kucuran ilmu yang melimpah dan manfaat yang banyak.”[17]

Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan hafizhahullahu pernah ditanya sebagai berikut :

هل من نصيحة لشباب يطعنون في بعض أئمة الدعوة السلفية كالشيخ محمد أمان الجامي والشيخ ربيع المدخلي؟

“Apakah nasehat anda bagi para pemuda yang mencela sebagian imam dakwah salafiyah seperti syaikh Muhammad Aman al-Jami dan Syaikh Rabi’ al-Madkholi?”

Maka Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan menjawab :

دعونا من الأفراد والقيل والقال ، المشايخ إن شاء الله فيهم خير ، وفيهم بركة للدعوة السلفية ، وتعليم الناس ، فلو ما أرضوا بعض الناس فالرسول ما أرضى كل الناس ، هناك ساخطين على الرسول صلى الله عليه وسلم ، مسألة النفسانيات والأهواء هذه لا اعتبار بها ، المشايخ نحسن بهم الظن ، وما علمنا عليهم إلا الخير إن شاء الله ، وندعو لهم بالتوفيق

“Kita tinggalkan (membicarakan) masalah perseorangan dan qiila wa qoola (desas-desus), dan masyaikh (yang disebutkan) insya Alloh mereka memiliki kebaikan dan mereka memiliki barokah di dalam dakwah salafiyah dan mendidik umat. Walaupun sebagian orang tidak ridha padahal Rasulullah sendiri tidak diridhai oleh seluruh manusia, ada saja oramg-orang yang membenci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Masalah (selera) pribadi dan hawa nafsu tidak dianggap sama sekali. Para masyaikh tersebut, kita berbaik sangka pada mereka, dan kita tidak mengetahui sesuatupun tentang mereka melainkan hanya kebaikan insya Alloh, dan kami mendoakan atas mereka at-Taufiq.”[18]

Demikianlah pandangan sebagian masyaikh ahlus sunnah zaman ini terhadap Syaikh Muhammad Aman Ali al-Jami, dan sesungguhnya masih banyak lagi yang apabila dinukilkan di sini maka akan menjadi panjang dan saya khawatir kita akan keluar dari konteks pembahasan.

Kembali ke pembahasan semula.

Ath-Thalibi berkata : “Perhatikan kalimat terakhir, “Apalagi apabila ditujukan kepada ahlul bid’ah pengagung kesesatan, kesyirikan dan kebid’ahan yang keras kepala.” Siapakah ahlul bid’ah yang mengagungkan kesesatan, kesyirikan, dan kebid’ahan ini? Tentu saja yang dimaksud Abu Salma adalah PKS atau Ikhwanul Muslimin (IM). Mengapa PKS? Sebab pihak yang memiliki korelasi dengan bahasan isu di atas ialah IM, bukan lainnya.

Perhatikan kalimat yang saya garis bawahi! Sekali lagi ath-Thalibi dengan seenaknya melakukan penakwilan batil atas ucapan saya dan membawa ucapan saya yang ijmal (global) dan dibawanya kepada tafshil (perincian) yang bathil. Apakah ini bukannya sikap mudah menvonis isi hati orang lain? Apakah ini bukannya sikap “sok tahu” –maaf-? Ucapan ath-Thalibi “Tentu saja yang dimaksud…” merupakan tajzim (pemastian) bahwa kata “tentu saja” bermakna pemastian. Saya ingin bertanya kepada ath-Thalibi, apakah anda pernah membelah dada saya wahai saudaraku? Apakah anda pernah membuka isi kepala saya wahai akhy??? Ataukah anda telah belajar ilmu menyibak isi hati orang lain?

Sungguh wahai saudaraku, apabila anda menyebutkan, “mungkin, bisa jadi, bisa saja yang dimaksud…”, maka yang demikian ini lebih selamat, karena masih berbentuk dugaan yang bisa salah bisa benar, dan masih memerlukan konfirmasi dari fihak yang anda tuju. Adapun ucapan anda, “tentu saja” maka ini adalah sebuah pemastian yang seakan-akan anda telah memiliki ilmu/pengetahuan yang pasti tentangnya. Lantas darimana anda mendapatkan ilmu yang pasti tersebut? Apakah dari dugaan anda yang buruk kepada saya? Ataukah… atau…

Subhanallohu, ya Aba Abdirrahman, semoga Alloh mengampuniku dan dirimu, pun sekiranya anda berkilah dengan menyatakan bahwa zhahir ucapan saya seakan-akan bermaksud demikian, hanya karena fihak yang memiliki korelasi bahasan isu ini adalah orang PKS atau IM, bukan lainnya, maka saya katakan, anda salah wahai saudaraku dan anda tetap tidak boleh berlaku demikian, yaitu memberikan kepastian suatu maksud ucapan yang global dan anda bawa kepada perincian yang lain.

Saudaraku, Anda terlalu mudah di dalam mengambil kesimpulan dan konklusi, anda terlalu mudah membelokkan perkataan seseorang dari maksud sebenarnya, anda terlalu berani untuk menakwil ucapan seseorang –walaupun ia adalah lawan anda-.

احذر لسانك أن يقول فتبتلى إن البلاء موكل بالمنطق

Jaga lidahmu untuk berujar dari petaka

Sebab petaka itu bergantung pada ucapan

Wahai ath-Thalibi, ketahuilah bahwa Syaikh Muhammad Aman al-Jami memiliki bantahan terhadap banyak kelompok-kelompok sesat dan menyimpang, mulai dari para ahlul bid’ah, pengagung kesyirikan dan kesesatan. Adapun ucapan saya di atas adalah ucapan global dan umum, maka tidak bisa ditafshilkan atau dikhususkan kepada suatu kelompok tertentu saja, namun umum untuk kelompok-kelompok yang menyimpang dan menyeleweng.

Jangan hanya karena saya mengomentari ucapan seorang tokoh PKS, maka anda tuduh saya sempitkan makna dan saya khususkan hanya untuk PKS atau IM sebagaimana tuduhan anda. Sungguh, apabila anda mengeluarkan ucapan saya dari konteksnya maka ini merupakan suatu kedustaan atas nama saya, apalagi dengan tajzim (pemastian) atas maksud ucapan saya.

فالبهت عندكم رخيص سعره حثوا بلا كيل ولا ميزان

Di sisi kalian dusta itu sangat murah harganya

Tanpa ditakar dan ditimbang mereka menghamburkannya

Baiklah, anggap saja saya sebagaimana yang dituduhkan oleh ath-Thalibi –walau kenyataannya tidak demikian-. Sekali lagi ath-Thalibi tidak faham antara vonis mutlak dengan vonis mu’ayan (spesifik). Orang yang mengajarkan kesyirikan, membolehkannya bahkan membela para pelakunya, maka orang seperti ini kita katakan adalah para pembela kesyirikan. Orang yang memuja-muja orang yang telah meninggal, bertabaruk padanya, bertawasul dan berdoa kepada mayit tersebut, maka mereka ini kita katakan musyrik dan pengagung kesyirikan. Ini adalah vonis mutlak. Apakah ath-Thalibi menolak bahwa yang mereka lakukan adalah kesyirikan??? Jadi, menyebut mereka sebagai pelaku kesyirikan, kebid’ahan ataupun pengagung kesesatan, kebid’ahan dan kesyirikan adalah suatu vonis mutlak, bukan mu’ayan.

Dengan demikian, apa yang saya lakukan bukan merupakan takfir kepada kaum muslimin secara umum, namun merupakan takfir muthlaq kepada para pelaku kemusyrikan, bahwa mereka adalah musyrik dan pengagung kesyirikan. Saya tidak berani menta’yin (menvonis secara spesifik) orang-orang tertentu sebagai musyrik, mubtadi’, fasik apalagi kafir. Sebab untuk melakukan ini bukan wewenang saya dan ini sangat berat sekali konsekuensinya dan memiliki banyak persyaratannya.

Namun, sungguh disayangkan, sekali lagi saudara ath-Thalibi terjebak oleh ketidakfahamannya akan masalah ini dan menuduh serta menvonis saya telah melakukan takfir.

تَخُضْ فِيْ حَدِيْثٍ لَيْسَ مِنْ حَقِّكَ سِمَاعُهُ

Janganlah engkau menyelam ke suatu pembicaraan yang engkau tidak berhak mendengarkannya

Anda benar wahai ath-Thalibi, bahwa kesyirikan merupakan pembatal keislaman pertama dan Alloh tidak akan mengampuni orang-orang yang melakukan kesyirikan. Dan benar pula, bahwa meragukan kekafiran orang-orang yang telah jelas kemusyrikannya dan kekafirannya adalah juga kafir. Sekarang pertanyaannya adalah, apabila anda melihat seseorang melakukan amal kekufuran yang merupakan kufur akbar, seperti ber­istighotsah kepada mayit, yang mana ini adalah fenomena umum di negeri kita, apakah anda tidak menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan syirik dan pelakunya adalah musyrik? Tentu saja perbuatan ini adalah perbuatan syirik dan pelakunya adalah musyrik. Namun, apakah anda berani menvonis orang perorang yang melakukannya bahwa mereka adalah musyrik?!!

Sebuah contoh sederhana lagi, syiah rafidhah tidak syak (ragu) lagi adalah kelompok kafir. Namun beranikan anda menvonis kafir orang perorang secara spesifik di dalamnya?

Contoh kedua, para imam ahlus sunnah banyak yang menyatakan bahwa jahmiyah adalah kelompok di luar 72 kelompok yang diancam dengan neraka, karena mereka telah kafir keluar dari Islam. Lantas apakah setiap orang yang ada di dalamnya secara spesifik bisa kita kafirkan semuanya?

Contoh ketiga, Imam Ahmad dan Imam Ahlus Sunnah lainnya rahimahumullahu pernah mengatakan, bahwa barangsiapa yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluk maka ia telah kafir. Khalifah al-Ma’mun bukan hanya mengucapkannya, namun ia juga memaksakan kepada umat untuk berkeyakinan dengan keyakinan kafir ini, lantas apakah Imam Ahmad mengkafirkan Khalifah al-Ma’mun?

Contoh keempat, Imam Abu Hanifah rahimahullahu pernah berkata, “Barangsiapa yang mengatakan aku tidak tahu apakah Alloh berada di atas langit atau tidak maka telah kafir.” Subhanalloh, betapa banyak kaum muslimin saat ini yang tidak faham aqidah ahlus sunnah, bahwa Alloh berada di atas langit bersemayam di atas Arsy-Nya. Lantas apakah bisa kita kafirkan begitu saja orang yang mengatakan, Alloh ada dimana-mana, Alloh ada di hati, dll…

Apabila menggunakan logika anda, niscaya bisa-bisa dikatakan bahwa para imam ahlus sunnah terjerumus kepada ucapan takfir. Padahal kaidah takfir menurut ahlus sunnah yang harus anda fahami adalah :

ليس كل من وقع في البدعة وقعت البدعة عليه

Tidaklah setiap orang yang terjatuh ke dalam kebid’ahan maka dengan serta merta bid’ah jatuh kepadanya.[19]

لا تلازم بين الكفر والكافر، فليس كل من قام به كفر فهو كافر، ثنائية غير متلازمة

”Sesungguhnya tidaklah melazimkan/mengharuskan antara kufur dengan kafir, dan tidaklah amalan kufur itu melazimkan pelakunya menjadi kafir, pasangan (tsanaa’iyyah) tidaklah saling melazimkan/mengharuskan satu dengan lainnya.”[20]

Demikian ini adalah kaidah ahlus sunnah, dan apabila anda telah membaca risalah al-Ustadz Arifin Baderi dan Ustadz Firanda Andirja dalam risalah mereka yang berjudul ”Antara Abduh dan Ba’abduh”, maka seharusnya anda faham bedanya takfir muthlaq dengan takfir mu’ayan.

Sungguh sekali lagi, sangat tepat sekali ucapan seorang penyair :

و كم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم

Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar ?

Sebabnya karena pemahaman yang salah/buruk

Berikut akan saya turunkan lagi sebuah contoh yang akan menjelaskan hakikat masalah ini, para dedengkot al-Hulul (pantheisme) seperti Ibnu ‘Arabi[21] yang pernah mengatakan, “Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba. Wahai alangkah bahagianya sekiranya aku tahu siapa yang terbebani hukum (mukallaf)?” dan dialah yang menetapkan bahwa Fir’aun dan Iblis adalah orang yang arif (bijaksana) yang selamat dari neraka, atau lebih mengenal Alloh daripada Musa!!! Maka tidak ragu lagi dirinya adalah kafir dan dia telah dikafirkan oleh sejumlah besar ulama.

Kita lihat pembesar sufi lainnya, yaitu Asy-Sya’rani[22] yang menyatakan dalam kitabnya ath-Thobaqot ketika mengisahkan gurunya, Syaikh Muhammad al-Khudhori, “Sungguh Sayyid-ku Muhammad as-Sarsi Radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika datang ke Masjid pada hari Jum’at. Lalu orang ramai memintanya memberi khutbah. Beliau kemudian naik mimbar, memuji dan menyanjung Alloh lalu berkata, “Amma Ba’du... Maka sesungguhnya aku bersaksi bahwa tiada tuhan bagi kalian kecuali Iblis ‘alaihi ash-Sholatu was Salam.” Ma’adzallohu, bukankah ini ucapan kekufuran yang pada puncaknya?!!

Maka siapakah gerangan yang berani membela begundal-begundal ini sedangkan di hatinya masih ada iman seberat biji sawi?!! Namun yang sangat kami herankan, ketika seorang syaikh termasyhur dari jajaran syaikh al-Ikhwan, yakni Syaikh Abdullah Nashih ‘Ulwan[23], menulis sebuah buku berharga yang di dalamnya beliau membongkar rencana-rencana musuh Islam dari kalangan Yahudi dan komunis, yang berjudul Tarbiyatu Awlaad fil Islaam, kemudian beliau menfokuskan sebuah bab dalam juz kedua buku itu, hal 845-846, di bawah judul asy-Syaikh al-Murabbi.

Di dalamnya, beliau membahas tentang pentingnya menyerahkan seorang anak kepada guru (syaikh) pembimbing spiritual. Beliau memilihkan bagi kaum muslimin dalam membina anak-anak mereka agar mereka membaca buku-buku para begundal zindiq tersebut di atas. Beliau menyebutkan di antaranya adalah Ibnu ‘Arabi, ‘Abdul Wahhab asy-Sya’rani dan selainnya. Lalu setelah itu beliau menyebutkan tentang salafiyun, “Mereka itu menghujat para syaikh ini padahal mereka tidak mencapai derajat para syaikh tadi, bahkan mereka tenggelam dalam keragu-raguan (syubuhat).”

Sekarang perhatikan wahai ath-Thalibi, Syaikh ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan yang menganjurkan anak-anak kaum muslimin untuk membaca buku-buku pembesar shufiyah yang sesat tersebut, bahkan beliau pun membelanya dan mencela fihak yang mengkritik masyaikh Shufiyah ini. Apakah salah ketika dikatakan bahwa beliau membela tokoh-tokoh kekufuran dan kesesatan?!! Lantas, apakah dengan serta merta –sebagaimana kaidah singkat yang saya turunkan di atas- kita bisa dengan mudah menvonis Syaikh Nashir Ulwan adalah kafir? Ma’adzallohu… oleh karena itu maka perhatikanlah wahai ath-Thalibi…

ستبدي لك الأيام ما كنت جاهلا ويأتيك بالأنباء من لم تزود

Waktu akan menampakkan apa yang tidak kamu ketahui

Dan datang memberimu berita tentang apa yang tak kamu ketahui

Ath-Thalibi : Abu Salma: “Tentu saja Pak Budi Azhari akan kebakaran “kumis”, karena syaikh Muhammad Aman al-Jami rahimahullahu adalah ulama ahlus sunnah penghancur kebid’ahan, kesesatan, tahazzub, ta’ashshub, bid’ah, kesyirikan dan segala model penyimpangan lainnya.”

CATATAN: Ustadz, mohon Antum jangan lepas kendali! Kontrol diri dengan baik. Perkataan Antum ini menyalahi TAUHID. Tidak ada yang menghancurkan kebathilan atau memenangkan kebenaran, selain Allah Ta’ala. Dalam Al Qur’an: “Bersabarlah (wahai Muhammad), dan tidaklah kesabaranmu itu, melainkan karena (pertolongan) Allah.” (Surat An Nahl: 127). Lebih tepat kita katakan, “Dengan hujjah Syaikh Aman Jami, alhamdulillah Allah hancurkan bid’ah, dhalal, syirik, dan lainnya.” Masak Salafi tidak peka dengan perkara seperti ini?

Lebih parah lagi, lihatlah kalimat di atas, “…penghancur kebid’ahan, kesesatan, tahazzub, ta’ashshub, bid’ah, kesyirikan dan segala model penyimpangan lainnya.” Masya Allah, apakah ini ciri Salafi? Apakah ini ciri dai penyeru tauhid? Laa quwwata illa billah. Akhi, Antum seperti orang Rafidhah (Syiah) yang memberikan sifat-sifat Uluhiyyah kepada makhluk. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Padahal para ulama Sunnah itu kalau memuji seseorang, setelahnya mereka selalu berkata, “Kami tidak mensucikan seseorang atas Allah.”

Jika Syaikh Aman Jami penghancur segala model penyimpangan, lalu apa peranan Allah Ta’ala setelah itu? Apakah Allah berhenti berperan mengalahkah kebathilan, lalu menyerahkan amanah itu kepada Syaikh Aman Jami? Inna lillah wa inna ilaihi ra’jiun. Antum ini terlalu terbawa oleh emosi sehingga hal-hal mendasar seperti ini dilupakan.

Syaikh Muhammad Aman Jami hanyalah manusia biasa. Kalau beliau memiliki bantahan-bantahan terhadap penyimpangan, paling hanya sebagian bantahan, bukan seluruhnya. Lagi pula, beliau bukan orang pertama dalam hal ini. Menurut informasi yang saya terima, karya tulis beliau tidak banyak. Bantahan buku tentu sifatnya teori, bukan penghancuran kebathilan secara sempurna. Untuk menghancurkan kebathilan tentu dibutuhkan kekuatan, lebih dari sekedar hujjah-hujjah dalam buku. Bahkan seandainya Syaikh Aman Jami terjun dalam amar makruf nahi munkar menentang kebathilan, hal itu lingkupnya di Kerajaan Saudi. Sedangkan penyimpangan itu ada di mana-mana, sejak dari Andalusia (Spanyol) sampai ke Indonesia. Hal ini semakin menjadi bukti bahwa perkataan penghancur segala model penyimpangan itu adalah kebathilan besar yang harus diingkari. Ia tidak benar dari segala sisi. Hanya Allah saja yang berkuasa menghancurkan kebathilan di seluruh permukaan bumi.

Perhatikan ayat berikut: “Dan Allah memusnahkan kebathilan dan meneguhkan kebenaran dengan kalimat-kalimat-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang ada di dada.” (Surat As Syuraa: 24). Perhatikan juga ayat ini: “Akan tetapi Kami melontarkan yang hak kepada yang bathil, maka serta-merta ia (yang bathil itu) lenyap. Kecelakaan bagi kalian karena mensifati (Allah dengan Sifat-sifat yang tidak layak).” (Surat Al Anbiyaa’: 18).


Tanggapan : Saya katakan, wahai ath-Thalibi anda tenanglah. Mohon anda jangan lepas kendali, kontrol diri anda dengan baik. Wahai ath-Thalibi, apakah anda menuduh saya menyalahi tauhid, menyamakan saya dengan syiah Rafidhah yang kafir, dan menuduh saya telah memberikan sifat uluhiyah kepada makhluk (dalam hal ini kepada Syaikh Muhammad Aman al-Jami rahimahullahu). Apabila menggunakan logika dan cara berfikir anda, apakah anda sekarang tidak sedang melepaskan takfir anda kepada saya? Bukankah menyalahi tauhid, memberikan sifat “uluhiyah” dan mensifati saya dengan syiah Rafidhah yang kafir adalah sama dengan mengkafirkan saya –dengan mengikuti cara berfikir anda-??? Wahai ath-Thalibi, apakah halal bagi anda melepaskan meriam takfir dan haram bagi lainnya???

أحرام على بلابله الوح حلال للطير من كل جنس

Apakah pohon besar itu haram bagi burung bulbul

Tetapi halal bagi burung jenis lainnya

Aduhai, Sungguh sekali lagi, sangat tepat sekali ucapan seorang penyair :

و كم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم

Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar ?

Sebabnya karena pemahaman yang salah/buruk

Pembaca budiman, perhatikanlah bagaimana saudara ath-Thalibi mengkritisi ucapan saya “penghancur kebid’ahan, kesesatan, tahazzub, ta’ashshub, bid’ah, kesyirikan dan segala model penyimpangan lainnya”, dan dikatakannya bahwa ucapan saya ini telah menyalahi TAUHID, diserupakannya saya dengan SYIAH RAFIDHAH dan dituduhnya saya dengan memberikan sifat “Uluhiyah” kepada makhluk. Laa hawla wa laa quwwata illa billah. Untuk menjawab masalah ini, ada beberapa poin pembahasan.

Pertama, wahai ath-Thalibi, siapakah salaf anda dalam masalah ini? Siapakah pendahulu anda di dalam mengidentifikasi kata “penghancur kebid’ahan, kesesatan…” sebagai ucapan yang menyalahi tauhid, memberikan sifat uluhiyah kepada makhluk dan sama dengan Syiah Rafidhah. Di dalam masalah ini saya melihat anda tidak faham apa itu “uluhiyah” dan apa kesesatan syiah terhadap para imamnya. Insya Alloh masalah ini akan saya turunkan jawabannya pada poin tersendiri. Sekarang yang jadi pertanyaan adalah siapakah salaf anda dalam masalah ini?

Kedua, apakah anda pernah membaca buku Jarh wa Ta’dil wahai saudaraku? Dan pernahkan anda mendapatkan ibarat sebagaimana yang saya sebutkan? Padahal banyak sekali para ulama ahli jarh dan ta’dil ketika memuji ulama lainnya mempergunakan ushlub yang serupa dengan saya. Bahkan Imam Ibnu Abdil Hadi rahimahullahu ketika memuji gurunya beliau berkata :

فإن أجماء علماء أهل السنة ليكاد ينعقد على إمامة شيخنا الإمام أسد السنة... مجدد القرن محيي السنة وقامع البدعة...

“Sesungguhnya hampir saja ijma’ dapat ditetapkan kepada kehebatan syaikh kami, imam, singa sunnah… pembaharu abad ini, penghidup sunnah dan pembasmi bid’ah…”

Dan ucapan serupa banyak ditemukan di buku-buku ulama yang memberikan pujian kepada ulama-ulama lainnya. Pertanyaannya adalah, apakah mereka telah menyalahi tauhid dengan menyebut Qomi’ul Bid’ah yang dapat diterjemahkan dengan “pembasmi bid’ah”, “penghancur bid’ah”, “pembinasa bid’ah”. Apakah mereka serupa dengan Syiah Rafidhah dan telah memberikan sifat “uluhiyah” kepada makhluk. Haihata haihata…

Ketiga, Perhatikan pula ucapan Imam Ahmad bin Hanbal berikut ini. Beliau rahimahullahu berkata di dalam muqoddimah buku ar-Raddu ‘ala az-Zanadiqoh wal Jahmiyah, dan ucapan ini sering dinukil oleh para ulama setelahnya, diantaranya oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad kutaib beliau yang berjudul Bi ayyi aqlin wa diinin an takuunuu tadmir wa tafjir jihaada :

الحمد لله الذي جعل في كل زمان فترة من الرسل بقايا من أهل العلم ، يدعون من ضل إلى الهدى... فكم من قتيل لإبليس قد أحيوه ، وكم من ضال تائه قد هدوه ، فما أحسن أثرهم على الناس ، وأقبح أثر الناس عليهم ، ينفون عن كتاب الله تحريف الغالين ، وانتحال المبطلين ، وتأويل الجاهلين

“Segala puji hanyalah milik Alloh yang membangkitkan para ulama pada setiap zaman di saat kekosongan para rasul, yang menunjuki orang yang tersesat kepada petunjuk… betapa banyak korban sembelihan iblis yang mereka hidupkan, dan betapa banyak orang yang bodoh yang tersesat mereka beri petunjuk. Alangkah besarnya jasa mereka terhadap manusia dan alangkah jeleknya balasan manusia kepada mereka, mereka menepis penyelewengan terhadap Kitabullah dari orang-orang yang ekstrim, kedustaan para pembela kebatilan dan penakwilan orang-orang yang bodoh…”

Wahai ath-Thalibi, hak siapakah yang memberikan hidayah bagi orang-orang yang tersesat, dan hak siapakah yang berhak menghidupkan? Apakah Imam Ahmad bin Hanbal menyalahi tauhid, memberikan sifat “uluhiyah” kepada para ulama (makhluk) dan serupa dengan syiah rafidhah? Haihata haihata.

Keempat, banyak sekali saat ini orang mengatakan, “kebetulan”, seperti misalnya ucapan seseorang yang bertemu temannya di masjid dimana orang tersebut bermaksud untuk ziarah ke rumah temannya itu untuk mengembalikan buku misalnya, kemudian orang tersebut mengatakan, “kebetulan sekali ana ketemu antum, nih ana kembalikan buku antum, syukron ya?”. Pertanyaannya sekarang, adakah proses kebetulan di dalam Islam? Bukankah semua berjalan atas izin Alloh? Sedangkan konsekuensi dari kebetulan adalah terjadi dengan sendirinya sebagaimana teori yang sering digembar-gemborkan oleh kaum atheis? Kufurkah ucapan ini? Apabila menggunakan cara berfikir dan logika anda, ucapan tersebut masuk dalam bagian kekufuran dan alangkah banyaknya kaum muslimin jatuh kepada perbuatan kufur tanpa mereka sadari.

Kelima, Wahai ath-Thalibi, sesungguhnya tidak ragu lagi bahwa semua yang terjadi, telah, sudah dan sedang berlangsung semuanya adalah atas izin Alloh. Di dalam adat kebiasaan, ada bahasa sederhana yang merupakan kebiasaan (‘urf) di dalam mengucapkannya, seperti kata “kebetulan” tadi yang tidak ada maksudnya sama sekali menolak kehendak Alloh, karena yang mengucapkan ucapan tersebut, insya Alloh mereka mengimani bahwa semua berjalan atas kehendak Alloh, dan teori “kebetulan” yang dipaparkan oleh orang kafir atheis adalah bathil. Mereka mengucapkannya dengan tidak memaksudkan hal itu, namun mereka memaksudkan, “subhanalloh, suatu “kebetulan” dimana Alloh mengizinkan dan menakdirkan kita bertemu di sini”, dimana kata “kebetulan” di sini muqoyyad kepada izin, kehendak dan perbuatan Alloh.

Demikian pula dengan kata “pengancur bid’ah”, “menghidupkan korban sembelihan iblis” , “memberi petunjuk pada orang bodoh dan tersesat” - sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hanbal-, ini semua adalah muqoyyad dengan kehendak, izin dan kekuatan Alloh. Karena kalimat di atas adalah kalimat muthlaq yang perlu ditaqyid. Manusia berkehendak dan Allohpun berkehendak, namun kehendak manusia adalah muqoyyad di bawah kehendak Alloh. Manusia mampu mematikan, Alloh juga mampu mematikan, namun sifat mematikan bagi manusia adalah terbatas dan muqoyyad di bawah kehendak Alloh. Alloh memiliki nama, sifat dan perbuatan, makhluk-Nya pun juga sama, namun nama, sifat dan perbuatan Alloh adalah tidak sama.

Dalam masalah asma’ wa shifat, ada beberapa nama dan sifat yang hanya khusus boleh disandang oleh Alloh tidak boleh disandang oleh selainnya, seperti ar-Rohman. Namun juga ada sifat yang boleh disandang oleh makhluk-Nya, seperti rahim, sebagaimana dalam firman Alloh :

محمد رسول الله والذي معه أشداء على الكفار رحماء بينهم

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS al-Fath : 29). Jadi, ada sebenarnya sifat yang hanya khusus bagi Alloh tidak boleh disandang oleh makhluk-Nya, namun ada juga yang boleh disandang oleh makhluk-Nya, yang tentu saja sifat makhluk adalah terbatas dan muqoyyad dengan sifat-sifat Alloh. Silakan rujuk masalah ini dalam Syarh Lum’atul I’tiqod karya Imam Ibnu ‘Utsaimin, Shifatullah Azza wa Jalla karya Syaikh Alwi Abdul Qodir as-Saqqof, Syarh Aqidah al-Wasithiyah dll.

Dari sini tampak bahwa ath-Thalibi tidak begitu memahami aqidah salafiyah, bahkan memahami beda “uluhiyah” dan “rububiyah” saja beliau telah melakukan kesalahan. Baik, misalnya anggap saja ucapan saya di atas adalah ucapan yang bathil dan menyalahi tauhid dan serupa dengan ucapan syiah rafidhah di dalam memberikan sifat kepada imam-imam mereka. Pertanyaannya sekarang, sifat –khobariyah- menghancurkan, mengukuhkan, memenangkan, menyelamatkan, dll. apakah ini termasuk bab “uluhiyah” ataukah “rububiyah”???

Al-hasil, bahwa apa yang saya sebutkan pada hakikatnya tidak menyelisihi tauhid apalagi tauhid “uluhiyah”. Ini semua berangkat dari kesalahfahaman dan kedangkalan cara berfikir saudara ath-Thalibi. Oleh karena itu saya hanya bisa mengatakan kepada saudara ath-Thalibi :

إن كان بيتك من الزجاجة فلا ترم بيوت الناس بالهجارة

Bila rumahmu terbuat dari kaca

Maka jangan lempari rumah orang lain dengan batu

Ath-Thalibi : Ketika mengomentari Halawi Makmun, Abu Salma mengatakan: “Namun, ada satu hal yang tampaknya perlu sedikit diberi catatan, yaitu penyebutan istilah salafi Yamani. Iya, istilah ini mulai terkenal di kalangan kaum muslimin semenjak buku yang ditulis oleh saudara Abu Abdurrahman ath-Thalibi, “Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak” turun di pasaran. Sebutan ini bagaikan gaung bersambut, hampir setiap harokiyin mengenal istilah ini dan menyebutkannya, tidak terkecuali juga al-Ustadz Abduh Zulfidar Akaha. Sesungguhnya, istilah seperti ini adalah suatu tafriq (pemecahbelahan) dan taqsim (pemilah-milahan) yang tidak dikenal sebelumnya. Taqsim semacam ini adalah taqsim yang buruk dan jelek.”

CATATAN: Alhamdulillah, ana sudah siapkan kajian tersendiri terhadap pernyataan Antum ini. Kajiannya cukup panjang, meskipun pangkalnya hanya istilah “Salafi Yamani”. Sekedar sebagai gambaran, dalam terjemah buku Al Hatstsu ‘Alat Tib’is Sunnah, karya Syaikh Abdul Muhsin Abbad, yang ana peroleh dari blog Abu Salma (milik Antum). Disana Abu Salma memberikan catatan kaki terhadap naskah itu sebanyak 18 catatan kaki. Di catatan kaki no. 16, Abu Salma mengatakan: “…Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad telah menjelaskan kekeliruan klaim Jarh wa Ta’dil ini dalam transkrip tanya-jawab beliau dengan seorang YAMANI, yang dimuat di situs http://www.calltoislam.com/ (Forum). Silakan dirujuk karena besar manfaatnya.” Dengan demikian, sebenarnya Abu Salma tidak keberatan dengan istilah Yamani itu. Ini buktinya, beliau juga menyebut istilah Yamani. Tinggal sekarang, Antum akui mereka sebagai Salafi atau tidak? Jika dianggap Salafi berarti istilah Salafi Yamani tidak masalah. Toh, Antum juga mengatakan istilah itu. Tetapi jika mereka sudah dianggap bukan Salafi alias ahlul bid’ah, maka istilah yang saya pakai masih relatif lebih lunak. Sebagai gambaran, misalnya datang seorang pemuda Salafi dari Yaman, lalu kita katakan kepadanya, “Anta Salafi Yamani li annaka min diyari Yaman.” (Anda ini Salafi Yamani, sebab Anda berasal dari negeri Yaman). Apakah salah kalimat ini? Perkara ini akan dirinci panjang-lebar, insya Allah.

Tanggapan : Saudaraku ath-Thalibi, alhamdulillah saya sudah siapkan jawaban buat kesalahfahaman dan kesalahpersepsian anda di atas. Namun, sebelumnya izinkan saya menukil dulu apa yang telah saya jelaskan di dalam risalah saya yang lainnya tentang masalah ini. Saya berkata di dalam risalah Bayanu Haqiqoti al-Ghuluwi fil Hajr wat Tabdi’ : Quthuf min Kalimati al-‘Ulama` as-Salafiyyin (Penjelasan tentang hakikat sikap ekstrim di dalam mengisolir dan menvonis bid’ah : Petikan dari ucapan para ulama salafiyin)[24]

Perlu ditambahkan, di tengah upaya yang positif dan kontributif ini, yaitu dalam rangka munashohah (saling menasehati) dan mengupayakan sebab-sebab ishlah dan persatuan ini, ada sebagian kalangan yang mungkin telah ter’makan’ oleh madzhab ghuluw dan ashobiyah (fanatisme) menolak bahkan mencela secara serampangan tanpa dilandasi oleh ilmu upaya ini. Di sisi lain, ada pula sebagian mereka yang taqshir dan tanpa dilandasi ilmu –terutama ilmu tentang dakwah salafiyah- turut ambil bagian di dalam upaya ini, yang berangkat dengan niat ingin turut membawa perbaikan (ishlah), namun pada kenyataannya malah merusak tatanan dan pilar dakwah salafiyah, dikarenakan ketidakfahamannya akan dakwah salafiyah mubarokah ini. Iya! Dan yang saya maksudkan adalah al-Akh Abu Abdurrahman ath-Thalibi hadahullahu dalam buku “best seller”-nya yang berjudul “Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak”.

Buku ini konon sangat laris bak kacang goreng. Walaupun penulisnya majhul di kalangan dakwah salafiyah, namun ada sebagian saudara kita salafiyun turut ter’makan’ oleh buku ini. Sesungguhnya buku ini dari zhahirnya adalah rahmat namun isinya adalah adzab. Diantara implikasi negatif terbitnya buku ini adalah, munculnya tafriq (pemecahbelahan) dan taqsim (pemilah-milahan) dakwah salafiyah menjadi Salafiyah Yamaniyah[25] dan Salafiyah Harokah. Ini adalah taqsim yang muhdats (bid’ah) lagi buruk.

Syaikhuna Salim bin Ied al-Hilaly hafizhahullahu membatalkan taqsim (pemilah-milahan) seperti ini di dalam ucapannya pada saat penutupan Dauroh di Masjid Al-Irsyad Surabaya tahun 2001 silam, beliau berkata :

« ... فإنّ من ثبت سلفيته أخٌ لنا سواء كان في مشرق الأرض أو في مغربها... أما تفريق الدعوة السلفية بأنّ هذه سلفيةٌ شاميةٌ أو سلفيةٌ حجازيةٌ أو سلفيةٌ مغربيةٌ أو سلفيةٌ يمنيةٌ فإن نبرأ إلى ذلك فإنّ سلفية واحدة, مات ائمتُنا وهم متّفقون عليها, مات الألباني وهو محبّ لإبن باز ومات إبن باز وهو محبّ للألباني ومات إبن عثيمن وهو محبّ لهما ومات درّة اليمن الشيخ مقبل وهو محبّ للجميع... »

“Karena sesungguhnya, barangsiapa yang telah tetap kesalafiyahannya maka dia adalah saudara kita, sama saja baik dia berada dari bagian barat bumi ataupun timurnya… Adapun memilah-milah dakwah salafiyah menjadi salafiyah Syamiyah atau Salafiyah Hijaziyah atau Salafiyah Maghribiyah atau Salafiyah Yamaniyah, maka kami berlepas diri dari pemilah-milahan ini, karena salafiyah itu satu!!! Telah wafat para imam kita dan mereka semua bersepakat di atasnya, telah wafat al-Albani dan beliau mencintai Ibnu Baz, telah wafat Ibnu Baz dan beliau mencintai al-Albani, telah wafat pula Ibnu ‘Utsaimin dan beliau mencintai keduanya, serta telah wafat permata negeri Yaman, Syaikh Muqbil dan beliau mencintai seluruhnya…”[26]

Al-Ustadz Abu Umar Basyir al-Maidani hafizhahullahu di dalam buku “Ada Apa Dengan Salafi?” juga turut memberikan komentar terhadap buku DSDB khususnya mengenai tafriq salafi yamani dan salafi haraki sebagai berikut :

Baru-baru ini muncul sebuah buku, yang tampaknya ingin melakukan koreksi total terhadap dakwah salafiyah di Indonesia. Si penyusun buku itu menyayangkan sikap keras banyak kalangan dai salafiyin dalam berdakwah. Buku itu memuat banyak hal bermanfaat, dan layak juga dibaca untuk membantu mengaca diri dan memperbaiki pelbagai kekeliruan dalam dakwah yang diemban oleh kalangan salafiyin yang di Indonesia. Yang artinya, belum sesuai dengan tuntutan dari dakwah salafiyah itu sendiri. Sayangnya, buku itu terjebak dalam penggunaan istilah-istilah yang justru mengaburkan substansi salafiyah dan salafiyin. Boleh saja si penyusun ingin bersikap tengah, dengan tidak menyudutkan semua fihak. Tapi justru membuatnya menjadi plin-plan. Di satu waktu ia seperti mengecam sebagian salafiyin radikal sebagai telah keluar dari Ahlus Sunnah, telah pantas disebut hizbiyah. Tapi sebelumnya penyusun enggan mengeluarkan setiap fihak yang bertikai di kalangan mereka yang mengaku sebagai Salafiyin, bahwa kelompok si Fulan misalnya, telah keluar dari Salafiyah, telah menyimpang dan menyempal menjadi hizbiyah.

Di awal buku sendiri, penyusun menukil tanggapan seorang dai terhadap syaikh Rabi’ dengan bahasa yang kasar. Di luar apakah penyusun setuju ataukah tidak setuju dengan pernyataan kasar itu terhadap Syaikh Rabi’, meletakkan pernyataan itu di awal buku sudah menunjukkan sebuah kekeliruan fatal. Selama ini belum kita dapatkan para ulama Ahlussunnah yang mengecam syaikh Rabi’. Beliau adalah salah satu dari ulama Ahlussunnah yang cukup dihormati oleh para penuntut ilmu.

Kemudian, meski dengan tujuan hanya untuk mengidentifikasi, penyusun nekat membagi kalangan Salafiyin di tanah air menjadi Salafi Yamani dan Salafi Haraki. Sekali lagi, meski dengan tujuan identifikasi belaka. Tapi Salafiyah tidak boleh dikotak-kotakkan. Dakwah Salafiyah adalah satu. Kalau ada pihak-pihak yang mengaku sebagai Salafiyin, namun memiliki banyak pemikiran dan pemahaman yang menyimpang dari Salafiyah, tidak pantas disebut sebagai Salafiyin. Minimal akan dikatakan kepada mereka adalah Salafiyin yang keluar dari Salafiyah pada beberapa poin tertentu, dalam mu’amalah atau pemikiran tertentu. Dalam aqidah mereka salafi, namun dalam metodologi dakwah mereka cenderung ke pemikiran ini dan itu.

Sebenarnya ada beberapa hal yang rancu dalam buku tersebut. Namun penulis (Ustadz Abu Umar, red) tidak berniat mengupas dan menjabarkannya, karena itu bukan kepentingan dalam penulisan buku ini. Selain buku tersebut, bagaimanapun memiliki nuansa baik, setidaknya penjabaran tentang beberapa realitas yang cukup diperlukan bagi kalangan salafiyin atau non salafiyin. Namun di sini penulis hanya memberi catatan bahwa istilah salafi yamani-salafi haraki, akan sangat mungkin digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk semakin menyudutkan kalangan salafiyin. Bila kedua istilah itu sempat memasyarakat, terutama di kalangan awam, akan lebih riskan lagi. Bisa saja muncul pertanyaan dari masyarakat awam, ‘Anda salafi?’, ‘Ya’ jawab kita. ‘Salafi Yamani atau Salafi Haraki?’, akan butuh waktu panjang untuk menjelaskannya.[27]

Demikianlah opini al-Ustadz Abu Umar Basyir al-Maidani terhadap buku DSDB tersebut dan khususnya pemilahan salafi menjadi salafi Yamani dan salafi Haraki. Walau dengan maksud identifikasi, namun identifikasi yang dilakukan oleh ath-Thalibi ini tetap membawa kepada tafriq yang tidak benar dan muhdats. Khususnya akan membawa imbas negatif kepada umat.

Baik, kembali ke ucapan ath-Thalibi di atas, setelah menukil dari catatan kaki risalah yang saya terjemahkan, yaitu al-Hatstsu ‘alat-tiba`is Sunnah karya al-‘Allamah al-Muhaddits ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad nafa’allohu bihi tentang kekeliruan klaim Jarh wa Ta’dil, dialog antara Syaikh Abdul Muhsin dengan seorang Yamani, maka ath-Thalibi mengambil kesimpulan bahwa saya juga menggunakan –juga menerima- istilah Yamani, apabila dia seorang salafi lantas apa salahnya menyebutnya sebagai Salafi Yamani? Bukankah orang tersebut dari Yaman? Kemudian ath-Thalibi berdalil, apabila ada seorang pemuda Salafi dari Yaman, maka kita katakan padanya :

أَنْتَ سَلَفِيُّ يَمَنِيُّ لأَِنَّكَ مِنْ دِيَارِ يَمَنِ

“Anda ini Salafi Yamani karena anda berasal dari negeri Yaman”

Kemudian ath-Thalibi berdalih lagi, bukankah dia ini –orang Yaman ini- adalah salafi? Apabila dia Salafi lantas apakah salah apabila dia disebut Salafi Yamani? Kecuali apabila dia tidak diakui sebagai salafi –otomatis ahli bid’ah, demikian klaim ath-Thalibi-, maka dengan demikian identifikasi ath-Thalibi lebih lunak. Demikianlah kurang lebih alasan ath-Thalibi di dalam mempertahankan identifikasinya yang berimplikasi kepada tafriq dan taqsim yang muhdats lagi buruk.

Saya jawab syubhat ini sebagai berikut :

Pertama, di dalam catatan kaki risalah Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad tersebut sengaja saya biarkan kata tersebut dengan pilihan kata Yamani, karena risalah ini sengaja saya tujukan kepada orang-orang yang telah ngaji lama dan telah faham sedikit banyak manhaj salaf. Ikhwah-ikhwah yang telah ngaji cukup lama, mereka sudah familiar dengan istilah Su’udi, Yamani, Syami, Mishri dan lain sebagainya, yang mana maksudnya adalah mengaitkan orang yang disebutkan terhadap negara yang disebut, entah sebagai warga negara atau penduduk yang tinggal di sana. Ini semua adalah istilah-istilah yang tidak jauh beda dengan penggunaan kata ana, antum, taqsim, hajr, tabdi’ dan lain sebagainya.

Kedua, mengikut logika ath-Thalibi di atas, yaitu apabila ada seorang pemuda salafi dari Yaman, maka sah-sah saja disebut sebagai Salafi Yamani, maka akan sah-sah pula menyebut salafiyin di tiap negara masing-masing sebagai Salafi Su’udi untuk orang Saudi, Salafi Mishri untuk orang Mesir, Salafi Maghribi untuk orang Maroko, Salafi Urduni untuk orang Yordania, Salafi Filisthini untuk orang Palestina, Salafi Indunisi untuk orang Indonesia dan seterusnya. Apabila ath-Thalibi konsisten kenapa hanya Yaman saja yang teridentifikasi? Bahkan Salafi Indunisi yang notabene banyak orang Indonesia yang sudah bermanhaj salaf tidak pernah disebut-sebut.

Ketiga, mengikut logika ath-Thalibi pula, apabila identifikasi menurut negara ini benar, niscaya di Indonesia tidak ada salafi Yamani melainkan hanya sedikit sekali. Kebanyakan yang diidentifikasi oleh ath-Thalibi sebagai Salafi Yamani hanyalah orang-orang yang pernah belajar ke Yaman, jadi Yaman sebagai tempat belajar bukan negeri asal atau tempat tinggalnya. Apabila ath-Thalibi memasukkan bahwa tempat belajar sebagian kalangan salafiyin bisa dijadikan standar identifikasi, identifikasi ini saya katakan juga tidak benar dan cacat. Karena, pertama, tidak semua orang yang diidentifikasi ath-Thalibi sebagai Salafi Yamani semuanya pernah belajar ke Yaman, seperti al-Ustadz Usamah Mahri yang alumni Madinah, dan kedua, ada yang turut belajar ke Yaman tapi tidak diidentifikasi sebagai Salafi Yamani, yaitu al-Ustadz Abu Qotadah, beliau pernah belajar ke Yaman namun tidak diidentifikasi sebagai barisan Salafi Yamani.

Keempat, apabila identifikasi menurut negara tempat belajar tidak bisa dan tidak benar dijadikan sebagai standar identifikasi, bisa saja ada yang mengatakan, keturunan Yaman salafi bisa diidentifikasikan sebagai Salafi Yamani, bukankan bin Mahri, Ba’abduh, dan Ba… Ba… lainnya kebanyakan dari Yaman? Maka saya katakan, ini juga keliru, karena banyak pula asatidzah yang tidak digolongkan sebagai Salafi Yamani juga keturunan Yaman, contohnya adalah Hadhrami, at-Tamimi, Bamu’allim dan lainnya.

Kelima, apabila kewarganegaraan, tempat belajar, ataupun keturunan tidak bisa dijadikan standar sebagai identifikasi Salafi Yamani, lantas standar apa yang digunakan? Apakah standar karakter yang sama-sama keras, ekstrim, radikal, mudah menvonis dan semisalnya dijadikan sebagai standar klasifikasi? Apabila iya, maka otomatis dalih identifikasi yang dikemukakan oleh ath-Thalibi di atas batal dengan sendirinya. Dan tentu saja dasar karakteristik tidak bisa diklasifikasikan atau diidentifikasikan dengan suatu negara tertentu. Ini tidak tepat dan tidak benar.

Keenam, apabila menilik kembali ke logika ath-Thalibi di atas, yaitu apabila ada seorang pemuda salafi dari Yaman, maka sah-sah saja disebut sebagai Salafi Yamani, maka atas dasar apa anda mengidentifikasikan klasifikasi kedua anda, yaitu Salafi Haraki? Apakah anda berlogika, apabila ada seorang pemuda harakah (haraki) atau orang yang aktif atau berhubungan dengan suatu lembaga, organisasi atau yayasan tersebut yang menisbatkan diri kepada salafiyah, maka dia adalah Salafi Haraki. Lantas bagaimana apabila ada seorang dari Yaman, aktivis harakah dan menisbatkan diri kepada manhaj salaf, apakah akan anda sebut sebagai “Salafi Haraki Yamani” atau “Salafi Yamani Haraki”… Kalau begitu apa faidahnya identifikasi anda apabila kedua identifikasi anda tehimpun pada satu sifat, yang akhirnya menimbulkan kekacauan sebagai konsekuensi klasifikasi dan identifikasi anda yang tidak tepat dan tidak benar.

Ketujuh, Baiklah, ini merupakan kebiasaan saya, taruhlah identifikasi anda saya terima, ada Salafi Yamani dan ada Salafi Haraki –walaupun saya tidak tahu atas dasar apa identifikasi anda ini-, lantas akan anda klasifikasikan kemana apabila ada seseorang yang dia bermanhaj salaf dan menisbatkan diri kepada salafiyah, dia tidak ikut harokah atau lembaga atau organisasi apapun sama sekali, aktivitasnya hanya ta’lim dan ta’lim, dia tidak pernah belajar ke Yaman dan tidak berhubungan dengan mereka –Salafi Yamani-. Dia tidak pula terkait dengan aktivitas Salafi Haraki. Dia tinggalnya di pelosok daerah yang masyarakatnya awam dan masih membutuhkan dakwah Islamiyah. Dia mengajarkan sunnah dan Islam yang benar kepada mereka, sedangkan dia tidak belajar di Yaman, tidak pernah ke Yaman, tidak ada hubungannya dengan Yaman, dan dia tidak pula terkait dengan suatu lembaga, organisasi, yayasan ataupun harokah tertentu. Anda klasifikasikan di bagian mana orang ini? Salafi Yamani ataukah Salafi Haraki? Dan ingat tidak ada klasifikasi yang ketiga atau yang keempat dari hasil klasifikasi anda. Oleh karena itu di mana posisinya di antara Salafi Yamani atau Salafi Haraki, dimanakah orang ini berada? Ataukah dia tidak diklasifikasikan sebagai Salafi? Ataukah mungkin dikatakan sebagai Salafi murni? Kalau begitu ada lagi pembagian ketiga, yaitu salafi murni dan ini jelas tidak ada di klasifikasi anda. Atau mungkin dikatakan manzilah bayna manzilatain…?????

Kedelapan, realita implikasi dari identifikasi dan klasifikasi anda ini adalah taqsim dan tafriq terhadap salafiyah itu sendiri. Seakan-akan salafiyah itu bermacam-macam dan beraneka ragam. Sebagaimana telah menyebar pula istilah Salafi Ilmi, Salafi Jihadi, Salafi Tanzhimi, Salafi Irja’i, Salafi Takfiri dan salafi salafi lainnya. Maka, subhanallohu, mereka telah melakukan kebid’ahan dan kedustaan atas nama salafi. Apabila ada orang yang menyimpang dari salafi maka harusnya cukup kita katakan Jihadi, Irja’i, Haroki dan selainya tanpa perlu mengkait-kaitkan dengan kemurnian Salafiyah itu sendiri.

Oleh karena itu alangkah lebih baiknya kita katakan, aduhai… adanya sebagian pengaku-ngaku sebagai salafi, yang mereka mengklaim berada di atas manhaj salaf, namun mereka salah atau jatuh dalam masalah ini dan itu, maka kita katakan dia salafi namun dia jatuh ke dalam masalah ini dan itu. Insya Alloh yang demikian ini lebih aman. Allohu Ta’ala a’lam.

Ath-Thalibi : Abu Salma: “Adapun tuduhan bahwa al-Ustadz Luqman Ba’abduh cs. adalah teroris dan khowarij sesungguhnya, maka tidak ada kata yang patut diucapkan melainkan sang mubaligh Halawi Makmun sedang mengigau dan bercermin, karena dia sedang menuduh dirinya sendiri. Bukankah dia sendiri yang mengadopsi manhaj ‘takfir’ (baca : takpir), menyesat-nyesatkan dan mudah menvonis?!! Saya telah melihat rekaman VCD bedah buku “Siapa Teroris Siapa Khowarij” yang juga dihadiri oleh sang Mubaligh, dan sungguh sangat menyedihkan sekali, ada seorang mubaligh yang sangat arogan, emosional dan yang berpemahaman takfiri seperti dirinya menghujat dirinya sendiri…”

CATATAN: Ini adalah perkataan serius dari Abu Salma. Sungguh, saya telah membaca buku Mereka Adalah Teroris karya Luqman Ba’abduh, cetakan II, yang sudah diperbaiki disana-sini. Di dalamnya benar-benar saya temukan pemikiran TAKFIR Luqman Ba’abduh kepada Ummat Islam di negara-negara Muslim tertentu. Nanti insya Allah akan saya tunjukkan dimana bukti-bukti takfir itu. Sebagian sudah disebutkan Ustadz Abduh ZA dalam bukunya, STSK. Dalam beberapa kesempatan saya perhatikan, Abu Salma cukup membela posisi Luqman Ba’abduh. Lihatlah, betapa sinisnya Abu Salma kepada saya, tetapi betapa lunaknya beliau kepada Luqman Ba’abduh. Sekalian saja, nanti akan saya tunjukkan dimana letak sikap INKONSISTEN Ustadz Abu Salma ini menghadapinya kelompok Luqman Ba’abduh.

Paling tidak Akhi, coba Antum baca tulisan Ustadz Salafi lainnya, yaitu Ustadz Arifin Badri dan Ustadz Firanda Andirja. Disana beliau juga menolak pemikiran takfir Luqman Ba’abduh. Jika Antum benar-benar ingin menegakkan hujjah atas ahlul bid’ah, ini kesempatan Antum mengingatkan Luqman Ba’abduh Cs. Jika Antum tidak berani bersikap tegas terhadap mereka, seperti Antum selama ini tegas kepada kalangan Haraki/Hizbi, berarti sikap bara’ah Antum terhadap “ahlul bid’ah” sifatnya TEBANG-PILIH. Mana yang tidak suka ditebang, mana yang suka disayang. Para Ahlus Sunnah jelas harus menentang pemikiran takfir dan termasuk pihak-pihak yang membelanya.

Tanggapan : Wahai saudaraku ath-Thalibi, sebelumnya saya ucapkan kembali terima kasih atas nasehat anda. Saya juga telah membaca tulisan al-Ustadz Luqman Ba’abduh dan belum saya dapatkan adanya ucapan beliau yang berindikasi takfir, melainkan hanya ucapan-ucapan beliau yang global yang membutuhkan rincian –wallohu a’lam apabila ada yang terlewat, karena saya membacanya hampir setahun yang lalu, itupun cetakan pertama-. Namun, apabila anda mau mengumpulkannya maka itu adalah hak anda dan semoga Alloh membimbing anda dan memberikan taufiq kepada anda, karena saya khawatir, anda jatuh kepada kesalahan lagi sebagaimana anda juga telah menuduh saya melakukan takfir dikarenakan kesalahfahaman anda.

Di dalam buku al-Ustadz Ba’abduh, saya hanya menemukan ibarah-ibarah yang terlalu keras, ekstrim, dan menyebabkan tanfir pada umat. Umat bukannya tanfir (lari) dari kebatilan yang diterangkan oleh al-Ustadz Ba’abduh, namun umat malah tanfir dari kebenaran yang disampaikan beliau. Hanya karena ushlub beliau yang kurang lembut dan kurang kasih sayang.

Saya juga tidak memungkiri akan banyaknya simpatisan dan murid-murid beliau yang sangat fanatik terhadap beliau, mereka jadikan al-Ustadz Luqman sebagai dasar menerima dan menolak kebenaran, dan ini sungguh adalah suatu hal yang menyelisihi manhaj salaf. Namun tidaklah semua dari kalangan mereka demikian, ada pula diantara mereka yang sudah mulai melembut dan melunak cara dakwahnya kepada umat, karena mereka faham bahwa kekerasan tidaklah akan membuahkan sesuatu melainkan juga kekerasan.

Bukti terbaru hal ini adalah, perubahan secara frontal gaya tulisan al-Ustadz Luqman Ba’abduh yang diwakili oleh muridnya –atau mungkin ini bahasa muridnya sendiri wallohu a’lam- dalam artikel “Bingkisan Untuk Tuan Abduh”, namun yang pasti al-Ustadz Luqman pastinya telah menelaah risalah tersebut dan ridha dengan isinya. Apabila kita membaca isinya, maka kesan sopan, beradab, lemah lembut dan tenang telah mendominasi bentuk tulisan tersebut. Bahkan tidak segan-segan pula judul tulisan tersebut berbunyi “Bingkisan untuk Tuan Abduh”.

Apabila saya dikritik habis-habisan karena menyebut Ustadz Abduh Zulfidar dengan kata al-Ustadz, maka saudara Alfian –murid Ustadz Ba’abduh- menyebut Ustadz Abduh dengan sebutan tuan. Semua orang faham, bahwa sebutan tuan adalah sebutan seorang pembantu atau budak kepada majikannya. Atau sebutan formal kepada orang lain sebagai bentuk penghormatan. Namun, adakah yang mengkritik saya itu turut mengkritik saudara Alfian ini???

Saudaraku ath-Thalibi, sesungguhnya saya telah menelaah ucapan-ucapan Pak Halawi Makmun, MA. Dan sungguh, tidaklah keluar dari lisan beliau melainkan kebanyakan adalah suatu kesalahan, kebatilan, kemarahan, emosional dan semisalnya. Beliau hendak meluruskan sikap keras, sikap mudah menvonis dan semisalnya dari lawannya, namun beliau sendiri terjatuh kepada sikap yang sama. Beliau menuduh orang lain berfaham takfiri padahal beliau sendiri telah jelas-jelas menunjukkan akan fahamnya yang takfiri. Apabila anda menelaah apa yang diucapkan oleh Halawi Makmun wahai saudaraku ath-Thalibi, maka seharusnya anda juga tidak melakukan tebang-pilih. Karena nuansa takfir pada diri beliau lebih nampak dan lebih jelas…

وعين الرضا عن كل عيب كليلة كما أن عين السخط تبدي المساويا

Pandangan simpati menutup segala cela

Sebagaimana pandangan benci menampakkan segala cacat

Ath-Thalibi : Abu Salma: “Kepada sang mubaligh (Halawi Makmun –pen), saya hanya ingin mengucapkan: Bila kejelekan menampakkan kedua taringnya pada suatu kaum, maka mereka akan menyerangnya secara berkelompok dan sendiri-sendiri.”
CATATAN: Ini adalah sebuah sidiran. Seolah, selama ini muncul gelombang kritikan beruntun kepada Salafi.
Kritikan-kritikan itu dianggap sebagai serangan-serangan, baik secara perorangan atau berkelompok. Sebenarnya, sampai disini posisi manhaj Salafus Shalih (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) tetap kokoh seperti sedia kala, sebab sasaran kritik itu memang bukan kepada manhaj Salaf, tetapi kepada suatu kaum yang sering mengklaim paling “Salafiyah”. Bagi Abu Salma dan kawan-kawan, kalau merasa bahwa menguji manusia dengan Sunnah adalah suatu keniscayaan, maka kritikan-kritikan seperti ini tentu akan diterima dengan lapang-dada. Semoga. Allahumma amin.

Tanggapan : Wahai saudaraku ath-Thalibi, kewajiban kita adalah saling menasehati dan mengingatkan. Kaidah kita yang benar adalah :

نتعاون فيما اتفقنا عليه ونتناصح فيما اختلفنا فيه

Kita saling bekerja sama di dalam perkara yang kita bersepakat di atasnya dan kita saling menasehati di dalam perkara yang kita berselisih padanya[28]

Muslim yang satu dengan muslim lainnya bagaikan sebuah cermin, yang dengannya kita bisa melihat aib, cela dan kesalahan kita. Sesungguhnya, saling mengingatkan dan menasehati adalah kewajiban yang tidak akan musnah ditelan masa, kewajiban ini haruslah tetap dan terus ditegakkan sampai datangnya hari kiamat. Dan munashohah (saling menasehati) haruslah berdiri di atas keikhlasan –semoga Alloh menjadikanku dan anda senantiasa di dalam keikhlasan dalam beramal-, keilmiahan, bebas dari hasad, dengki, kebencian dan sebagainya, selamat dari fanatik buta, tahazzub dan ta’ashshsub.

Dalam masalah mengklaim paling salafiyah, setiap orang berhak-berhak saja mengklaim bahwa dirinya atau kelompoknya adalah salafiyah atau yang paling salafiyah, namun klaim belaka tidaklah selamat dari cacat dan harus dibuktikan dengan argumentasi yang jelas.

الدعاوى ما لم تقيم عليها بينات ابناءها ادعياء

Para pendakwa yang tidak menopang dakwaannya dengan argumentasi

Maka dia hanyalah para pendakwa belaka

Salafiyah memiliki ciri khas yang terang, yang mana mereka senantiasa berpegang dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang beliau tinggalkan dalam keadaan terang benderang dan jelas, sebagaimana dalam sabada beliau :

«قد تركتم على البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها بعدي إلا هالك».

Aku telah meninggalkan kalian di atas (agama) yang terang benderang, malamnya bagaikan siangnya dan tidak ada yang berpaling darinya melainkan ia pasti binasa.”

Dan bagi yang ingin mengetahui ciri-ciri salafiyah sejati, silakan baca :

  1. Irsyadul Bariyah ila Syar’iyyatil Intisaabi lis Salafiyyah karya Syaikh Abu Abdis Salam Hasan bin Qasim al-Husaini ar-Raimi.
  2. Kun Salafiyyan ‘alal Jadah karya Syaikh ‘Abdus Salam bin Raja’ as-Suhaimi.
  3. Minhaj al-Firqoh an-Najiyah karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
  4. Bashair Dzawi Syarf karya Syaikh Salim bin Ied al-Hilali
  5. dll.

Ath-Thalibi : Dan dari keseluruhan bantahan ini, Abu Salma terjatuh dalam banyak kesalahan, hingga kesalahan yang sangat fatal yang para Ahlus Sunnah seharusnya selamat darinya. Siapa yang menyangka bahwa di sela-sela tulisan Abu Salma tersebut bisa ditemukan benih-benih takfir? Semoga hal itu segera disadari dan diakhiri sesegera mungkin. Allahumma amin.

Tanggapan : Ucapan ath-Thalibi bahwa banyak kesalahan yang saya lakukan sampai kesalahan fatal yang seharusnya ahlus sunnah selamat darinya dan terdapat di dalam tulisan saya benih-benih takfir, maka saya hanya dapat mengatakan :

يقولون قولا لم يفهموها وإذا قيل لهم حققوا لم يحققوا

Mereka berucap suatu ucapan yang mereka sendiri tidak memahaminya

Dan bila dikatakan: buktikanlah maka mereka tidak mampu membuktikannya

Segala tuduhan ath-Thalibi yang dituduhkan kepada saya tidak lepas dari kesalahpahamannya, salah persepsi, kejahilan –maaf-, konklusi prematur dan penakwilan-penakwilan batil.

Namun, taruhlah apabila yang dilontarkan ath-Thalibi adalah benar adanya, maka tidak ada penghalang bagi saya untuk menerima kebenaran. Namun sayangnya apa yang dituliskan oleh ath-Thalibi adalah kesalahpahaman, bahkan syubhat dan kebatilan…

Ath-Thalibi : Kepada Abu Salma dan para Salafiyun, mohon jangan marah karena pembahasan seperti ini. Jika Antum berkeyakinan bahwa membantah kebathilan adalah termasuk jihad, mudah-mudahan perkara ini termasuk di dalamnya. Semula saya hanya ingin berkomentar tentang istilah “Salafi Yamani”, tetapi setelah mencermati lebih dalam, ternyata ada banyak masalah dalam tulisan berjudul “Membantah Tuduhan, Meluruskan Kesalahpahaman” itu. Oleh karena itu perkara ini perlu didahulukan sebelum lainnya. Jika ada bagian-bagian yang kurang berkenan, silakan ditanggapi. Demikian yang bisa dikemukakan. Afwan katsiran atas semua kesalahan dan kekurangan. Syukran jazakumullah atas semua perhatiannya.

Tanggapan : Bukanlah dikarenakan isinya kurang berkenan, namun dikarenakan terhimpunnya kesalahan dan kebatilan di dalam tulisan ath-Thalibi, maka saya luangkan waktu untuk menggoreskan tinta saya dalam rangka menjelaskan hakikat kesalahpahaman ath-Thalibi dan terhimpunnya pada ath-Thalibi syubhat yang tidak sedikit.

Dari ulasan ini ada beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil atas bantahan ath-Thalibi yang berjudul “Penyimpangan Pemikiran Abu Salma” pada thread forum MyQuran, namun di dalam content berjudul “Mengkritisi Jawaban Abu Salma”, kesimpulan tersebut adalah :

  1. Tulisan ath-Thalibi ini tidak memiliki nilai ilmiah.
  2. Tulisan ath-Thalibi ini dipenuhi oleh kesalahpahaman, salah persepsi dan syubhat-syubhat.
  3. Tulisan ath-Thalibi ini dipenuhi oleh vonis dan tuduhan-tuduhan batil.
  4. Tulisan ath-Thalibi ini dipenuhi oleh logika-logika falsafi yang batil.
  5. Tulisan ath-Thalibi ini menunjukkan bahwa ath-Thalibi tidak faham manhaj dan aqidah salafiyah.
  6. Tulisan ath-Thalibi ini menunjukkan bahwa ath-Thalibi tidak faham tentang salafiyah dan menolak penisbatan padanya.
  7. Tulisan ath-Thalibi ini menunjukkan bahwa ath-Thalibi tidak faham Bahasa Arab.
  8. Tulisan ath-Thalibi ini menunjukkan bahwa ath-Thalibi tidak faham masalah vonis mutlak dan vonis mu’ayan, apalagi masalah takfir.
  9. Tulisan ath-Thalibi ini menunjukkan bahwa ath-Thalibi bermanhaj tamyi’ (lunak) terhadap ahli bid’ah dan kaum hizbiyun harokiyun.
  10. Tulisan ath-Thalibi ini menunjukkan bahwa ath-Thalibi mudah menuduh orang lain suka menvonis padahal dirinya adalah orang terdepan yang gemar menvonis secara batil.
  11. Tulisan ath-Thalibi ini menunjukkan bahwa ath-Thalibi mudah menakwilkan dan memalingkan makna seenaknya sendiri.
  12. Tulisan ath-Thalibi ini menunjukkan bahwa ath-Thalibi lebih banyak membongkar kedoknya sendiri.

Demikianlah yang dapat saya tuliskan, segala puji hanyalah milik Alloh Azza wa Jalla. Saya yakin bahwa ath-Thalibi akan memberikan tanggapannya atas risalah saya ini, dan ini adalah suatu hal yang lumrah. Perselisihan dan perbedaan adalah suatu hal yang alami (sunnatullah) di dunia ini, namun mensikapi perbedaan dan perselisihan inilah yang seharusnya setiap muslim berupaya untuk belajar dan memahaminya.

Jangan hanya karena berdalih bahwa perbedaan adalah sunnatullah, lantas tidak ada upaya untuk saling meluruskan, mengingatkan dan membenarkan. Sesungguhnya diskusi ilmiah ini masih panjang dan akan terus berlangsung hingga Alloh Azza wa Jalla berkehendak lain.

Semoga Alloh menjadikan apa yang saya lakukan ini bermanfaat bagi diriku, bagi saudaraku ath-Thalibi dan bagi seluruh kaum muslimin.

كتبت وقد أيقنت يوم كتابتي بأن يدي تفنى ويبقى كتابه

واعلم أن الله لا بد سائلي فيا ليت شعري ما يكون جوابه

Ketika saya menulis saya yakin

Bahwa tanganku akan binasa sedang tulisanku kekal

Dan saya tahu bahwa Alloh pasti akan menanyaiku

Aduhai, apakah nanti jawabnya

ونسأل الله سُبحانه وتعالى أن يُرشد الجميع للخير , وأن يجمع شمل المسلمين, وأن يقينا وإياكم مفاتيح الشرّ , إنه ولي ذلك والقادر عليه .

أخوكم في الله

أبو سلمى الأثري محمد بن برهان يوسف

الأثري الترناتي ثم الملنجي

[1] Al-Imam al-‘Allamah Ibnu Baz rahimahullahu berkata di dalam Ad-Da’watu ilallohi wa Akhlaaqud Du’aat menjelaskan ayat di atas :

فأوضح سبحانه الكيفية التي ينبغي أن يتصف بها الداعية ويسلكها، يبدأ أولا بالحكمة، والمراد بها: الأدلة المقنعة الواضحة الكاشفة للحق، والداحضة للباطل؛ ولهذا قال بعض المفسرين: المعنى: بالقرآن؛ لأنه الحكمة العظيمة؛ لأن فيه البيان والإيضاح للحق بأكمل وجه، وقال بعضهم: معناه: بالأدلة من الكتاب والسنة.

“Alloh Yang Maha Suci menjelaskan bagaimana cara/kaifiat yang sepatutnya bagi seorang da’i di dalam mengkarakteristiki cara dakwahnya dan menitinya, yaitu hendaklah dimulai pertama kali dengan hikmah, dan yang dimaksud dengan hikmah adalah dalil-dalil argumentasi yang tegas lagi terang yang dapat menyingkap kebenaran dan menolak kebatilan. Dengan demikian sebagian ulama ahli tafsir menafsirkan al-Hikmah dengan Al-Qur’an, dikarenakan Al-Qur’an merupakan hikmah yang paling agung, dan juga di dalam al-Qur’an terdapat penjelas dan penerang kebenaran dengan bentuk yang paling sempurna. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa maknanya adalah dengan dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah.” [Lihat : Ad-Da’watu ilalloh wa Akhlaq ad-Du’aat oleh Imam Ibnu Baz rahimahullahu, download dari Maktabah Sahab as-Salafiyah : www.sahab.org. ]

[2] Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata di dalam Tafsir Al-Qur’anil Azhim (II/7) menafsirkan : “Alloh Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar saling berta’awun di dalam aktivitas kebaikan yang mana hal ini merupakan al-Birr (kebajikan) dan agar meninggalkan kemungkaran yang mana hal ini merupakan at-Taqwa. Alloh melarang mereka dari saling bahu membahu di dalam kebatilan dan tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan keharaman.” [Lihat : “Intisari Ta’awun Syar’i”, Markaz Imam Albani, www.geocities.com/abu_amman].

[3] Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam asy-Syu’bah no. 824. Dinukil melalui perantaraan Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar, karya Fadhilatus Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani al-Jaza`iri, Maktabah al-Furqon, cet. VI, 1422/2001, hal. 41. Lihat pula terjemahannya yang berjudul “6 Pilar Utama Dakwah Salafiyah” oleh Fadilatul Ustadz Abu Abdillah Mubarok Bamu’allim, Lc., Pustaka Imam Syafi’I, Cet. I, Muharam 1425/Maret 2004, hal. 88.

[4] Min Buthunil Kutub (I/26) oleh Yusuf bin Muhammad al-‘Atiq; dinukil dari “Meluruskan Sejarah Wahhabi” karya saudara saya yang mulia, al-Ustadz Abu Ubaidah as-Sidawi, Pustaka Al-Furqon, Gresik, cet. I, Sya’ban, 1427.

[5] Diwan asy-Syafi’i hal. 44, tahqiq DR. Imil Badi’ Ya’qub.

[6] Liqo’ul Babil Maftuuh, pertanyaan no. 1322 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; dinukil dari Aqwaalu wa Fataawa al-Ulama’ fit Tahdziri min Jama’atil Hajr wat Tabdi’, penghimpun : Kumpulan Para Penuntut Ilmu, cet. II, 1423/2003, tanpa penerbit.

[7] Lihat Syarh Kitab Hilyatu Tholibil ‘Ilmi oleh Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullahu, tahqiq : Abu Malik Muhammad bin Hamid bin Abdil Wahhab, Maktabah Darul Bashirah, Iskandaria, hal. 105. Lihat pula terjemahnya yang berjudul “Syarah Adab & Manfaat Menuntut Ilmu” oleh ustadz saya Ahmad Sabiq, Lc., cet. I, Jumadil Akhir 1426, Pustaka Imam Syafi’I, hal. 121.

[8] Lihat Hilyah, op.cit., hal. 108 dan “Syarah Adab”, op.cit., hal. 122.

[9] Lihat Hilyah, op.cit., hal. 110 dan “Syarah Adab”, op.cit., hal. 124.

[10] Dinukil melalui perantaraan Mansyuraat (selebaran) Markaz Imam Al-Albani no. 3, Robi’ul Awwal, 1422 H., yang berjudul Nubdzatu Ilmiyyah fit Ta’awun asy-Syar’iy wat Tahdzir minal Hizbiyah. Lihat pula artikel terjemahannya “Antara Ta’awun Syar’iy dan Hizbiy” di Majalah adz-Dzakhiirah, edisi 24, th. V, Dzulqo’dah, 1427 H., hal. 22-23.

[11] Sunan ad-Darimi (I/120), Syarhus Sunnah karya Imam al-Lalikai (I/134), As-Sunnah karya Imam Abdullah bin Ahmad (I/137) dan al-Ibanah karya Imam Ibnu Baththah (II/435). Dinukil melalui perantaraan Ijma’ul Ulama ‘alal Hajri wat Tahdziri min Ahlil Ahwa` karya Khalid bin Dlohawi azh-Zhafiri, download dari Maktabah Sahab as-Salafiyah: www.sahab.org.

[12] Thobaqot Ibnu Sa’ad (VII/172), Sunan ad-Darimi (I/121), Syarhus Sunnah karya Imam al-Lalikai (I/133) dan al-Ibanah karya Imam Ibnu Baththah (II/444). Melalui perantaraan Ijma’ul Ulama, op.cit.

[13] Al-Ibanah (II/475). Melalui perantaraan Ijma’ul Ulama, op.cit.

[14] Lihat al-Hilyah, op.cit. hal. 114-115, lihat pula “Syarah Adab”, op.cit. hal. 131-132.

[15] Ceramah Syaikh Salim al-Hilali yang disampaikan pada saat penutupan Dauroh fi Masa`ilil Aqodiyah wal Manhajiyah di Masjid Al-Irsyad, tahun 2001 silam. Dauroh ini dilaksanakan atas kerjasama Ma’had ‘Ali Al-Irsyad as-Salafi bekerjasama dengan Markaz al-Imam al-Albani Yordania (Menit ke-13:29-13-50).

[16] Khutbah Imam Ibnu Baz nomor 64 tertanggal 9/1/1418 H. Dinukil dari www.misrsalaf.com.

[17] Tulisan DR. Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan tertanggal 3/3/1418 H. Dinukil dari www.misrsalaf.com.

[18] Ucapan Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan di Makkah, pada hari Senin tanggal 13/6/1424, dinukil dari http://www.sahab.net/sahab/showthread.php?threadid=315144&goto=nextnewest

[19] Ceramah Haqiqotul Bida’ wal Kufri oleh Syaikh al-Albani. Lihat pula al-Manhajus Salafiy ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani karya Syaikh ‘Amru ‘Abdul Mun’im Salim hal. 64. lihat pula terjemahan lengkap ceramah ini di dalam http://dear.to/abusalma.

[20] lihat : Masa`il fil Hajri wa maa yata’allaqu bihi : Majmu’atu min ba’dli asyrithoti asy-Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Ali Syaikh, I’dad : Salim al-Jaza`iri, download dari http://www.sahab.org

[21] Muhyiddin(?) Ibnu ‘Arabi (w. 638 H/1240 M), adalah seorang pembesar sufiyah dari Andalusia (Spanyol) yang digelari oleh pengikutnya sebagai Syaikhul Akbar. Dia dilahirkan di Murcia dan dibesarkan di Sevilla. Ia mengembara ke timur dan menetap di Damaskus, Siria dan meninggal di sana. Ia menulis hampir 400 buku, dan yang terkenal adalah Al-Futuhat al-Makkiyah, Fushushul Hikam, Mafatihul Ghaib dan at-Ta’rifaat. Seluruh buku-bukunya berporos pada kesesatan, kekafiran dan kezindiqan. Ia dikafirkan oleh ulama ahlus sunnah wal jama’ah dan difatwakan supaya membakar karangan-karangannya.

[22] ‘Abdul Wahhab asy-Sya’roni (w. 973 H/1565 M). Seorang penganut sufiyah dan fanatikus madzhab Syafi’iyah di Kairo, Mesir. Memiliki beberapa karangan, diantaranya al-Bahrul Maurud fil Mawatsiq wal ‘Uhud, al-Badrul Muniir, al-Jawaahir wad Durarul Kubraa, Latha’iful Mannaan dan Lawaqihul Anwaar fi Thabaqotis Saadatil Akhyaar. Dia terpengaruh oleh sufisme ekstrim pantheisme (Hululiyah) dan memiliki penyimpangan-penyimpangan aqidah yang parah.

[23] Beliau adalah seorang penasehat dan penulis al-Ikhwan yang cukup terkenal. Karyanya yang berjudul Tarbiyatu Awlaad fil Islaam menyebar ke seluruh penjuru dunia.

[24] Saya turunkan secara berkala di blog saya dengan judul Hajr ekstrim, nukilan di atas ada di bagian II.

[25] Istilah ini semakin ngetrend di forum-forum internet yang isinya kebanyakan mencela dakwah salafiyah. Istilah ini semakin terkenal lagi setelah al-Ustadz Abduh Zulfidar Akaha –hadahullahu- mempergunakannya di dalam bukunya yang berjudul “Siapa Teroris Siapa Khowarij?” (bantahan terhadap buku “Mereka adalah teroris” karya al-Ustadz Luqman Ba’abduh,) terbitan Pustaka al-Kautsar. Saya telah membaca buku ini dari A sampai Z-nya, dan ada beberapa mulahadhot (catatan) yang perlu diberikan terhadap buku ini. Syubuhat di dalamnya sangat luar biasa sekali, karena penulis selain memiliki bekal pengalaman yang ‘lebih’ di dalam dunia jurnalistik, penulis juga cukup aktif mencari sumber, data dan fakta dengan surfing dan browsing di dunia maya. Sehingga tidak kurang dari 50 persen isi bukunya berkisar dari sumber internet. Metode jurnalis bak wartawan sangat kentara di dalam bukunya ini. Apabila Alloh meberikan waktu luang maka saya akan sedikit memberikan beberapa catatan ringan dan singkat terhadap buku yang konon sangat ‘fenomenal’ ini. Sebagiannya telah saya turunkan di blog saya. Sebagiannya telah dijawab oleh al-Ustadz Arifin dan Ustadz Firanda. Kabar terakhir bahwa al-Ustadz Abduh telah mempersiapkan bantahan terhadap buku ini sebanyak 2 jilid.

[26] Ceramah Syaikh Salim al-Hilali yang disampaikan pada saat penutupan Dauroh fi Masa`ilil Aqodiyah wal Manhajiyah di Masjid Al-Irsyad, tahun 2001 silam. Dauroh ini dilaksanakan atas kerjasama Ma’had ‘Ali Al-Irsyad as-Salafi bekerjasama dengan Markaz al-Imam al-Albani Yordania. (rekaman MP-3 menit ke-11:51-12:40).

[27] Lihat “Ada Apa dengan Salafi : Jawaban Atas Tuduhan dan Koreksi Terhadap Istilah Salaf, Salafi dan Salafiyyah”, oleh Ustadz Abu Umar Basyir, Penerbit Rumah Dzikir, Solo, hal. 272-275.

[28] Ini adalah koreksi kaidah Syaikh al-Albani terhadap kaidah Nata’awanu fima ittafaqna ‘alaihi wa na’dzuru ba’dhuna ba’dhan fima ikhtalafna fihi (kita saling tolong menolong di dalam perkara yang kita sepakati dan kita saling memberikan udzur/memaafkan di dalam perkara yang kita perselisihkan). Lihat Zajrul Mutahawin bidhororo Qo’idati al-Ma’dzurah wat Ta’awun karya Syaikh Hamd bin Ibrahim al-Utsman, dimuroja’ah oleh al-‘Allamah Shalih Fauzan al-Fauzan dan ditaqrizh oleh al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Bafr, cet. I, 1419 H, Maktabah al-Ghuroba’ al-Atsariyah, hal. 130.

0 komentar:

Posting Komentar