English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : YBG

Jumat, 28 Januari 2011

QADHA’ & QADAR


PENGERTIAN TAUHID DAN MACAM – MACAMNYA

Walaupun masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisian di kalangan umat Islam, tetapi Allah Azza wa Jalla telah membuka hati para hambaNya yang beriman, yaitu para salaf shaleh yang mereka itu senantiasa menempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha’ dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah Azza wa Jalla atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk dalam salah satu diantara tiga macam tauhid menurut pembagian ulama:

Pertama : tauhid AL- Uluhiyah, ialah mengesakan Allah Azza wa Jalladalam beribadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata.

Kedua : tauhid Ar- Rububiyah, ialah mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam perbuatanNya , yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang mencipta , menguasai dan mengatur alam semesta ini.

Ketiga : tauhid Al- Asma’ was- Shifat, ialah mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam asma’ dan
sifatNya. artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Azza wa Jalla dalam dzat, asma’; maupun sifat.

Iman kepada qadar adalah termasuk tauhid Ar- Rububiyah. Oleh karena itu imam Ahmad rahimahullah berkata : “qadar adalah merupakan kekuasaan Allah Azza wa Jalla “.karena tak syak lagi, qadar ( takdir ) termasuk qudrat dan kekuasanNya yang menyeluruh, di samping itu, qadar adalah rahasia Allah Azza wa Jalla yang tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahuinya kecuali Dia, tertulis pada lauh mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat
melihatnya. Kita tidak tahu, takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar.

PENDAPAT – PENDAPAT TENTANG QADAR

Pembaca yang budiman. Umat Ialam dalam masalah qadar ini terpecah menjadi tiga golongan :

Pertama: mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar dan menolak adanya kehendak dan kemampuan makhluk. Mereka berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan keinginan, dia hanya disetir dan tidak mempunyai pilihan, laksana pohon yang tertiup angin. Mereka tidak membedakan antara perbuatan manusia yang terjadi dengan kemauannya dan perbuatan yang terjadi tanpa kemauannya, tentu saja mereka ini keliru dan sesat, kerena sudah jelas menurut agama, akal dan adat kebiasaan bahwa manusia dapat membedakan antara perbuatan yang di kehendaki dan perbuatan yang terpaksa.

Kedua: mereka yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk sehingga mereka menolak bahwa apa yang diperbuat manusia adalah karena kehendak dan keinginan Allah Azza wa Jalla serta diciptakan olehNya. Menurut mereka, manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya. Bahkan ada diantara mereka yang mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia kecuali setelah terjadi. Mereka inipun sangat ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk.

Ketiga : mereka yang beriman, sehingga diberi petunjuk eleh Allah Azza wa Jalla untuk menemukan kebenaran yang telah diperselisihkan. Mereka itu adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Dalam masalah ini mereka menempuh jalan tengah dengan berpijak di atas dalil syar’i dan dalil aqli. Mereka berpendapat bahwa perbuatan yang dijadikan Allah Azza wa Jalla di alam semesta ini terbagi atas dua macam :

1- perbuatan yang dilakukan oleh Allah Azza wa Jalla terhadap makhlukNya. Dalam hal ini tak ada kekuasaan dan pilihan bagi siapapun. Seperti turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, kehidupan, kematian, sakit, sehat dan banyak contoh lainnya yang dapat disaksikan pada makhluk Allah Azza wa Jalla. Hal seperi ini, tentu saja tak ada kekuasaan dan kehendak bagi siapapun kecuali bagi Allah Azza wa Jalla yang maha esa dan kuasa.

2- Perbutan yang dilakukan oleh semua makhluk yang mempunyai kehendak. Perbuatan ini
terjadi atas dasar keinginan dan kemauan pelakunya; karena Allah Azza wa Jalla menjadikannya untuk mereka. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
Artinya : “Bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus”. (At Takwir: 28).

Artinya : “Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat”.( Ali Imran : 152)

Artinya : “ Maka barang siapa yang ingin ( beriman ) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin ( kafir ) biarlah ia kafir “( Al Kahfi: 29)

Manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi kerena kehendaknya sendiri dan yang terjadi karena terpaksa. Sebagai contoh, orang yang dengan sadar turun dari atas rumah melalui tangga, ia tahu kalau perbuatannya atas dasar pilihan dan kehendaknya sendiri. Lain halnya kalau ia terjatuh dari atas rumah, ia tahu bahwa hal tersebut bukan karena kemauannya. Dia dapat membedakan antara kadua perbutan ini, yang pertama atas dasar kumauannya dan yang kedua tanpa kemauannya. Dan siapapun mengetahui perbedaan ini. Begitu juga orang yang menderita sakit beser umpamanya, ia tahu kalau air kencingnya keluar tanpa kemauanya. Tetapi apa bila ia sudah sembuh, ia sadar bahwa air kencingnya keluar dengan kemauannya. Dia mengetahui perbedaan antara kedua hal ini dan tak ada seorangpun yang mengingkari adanya perbedaan tersebut.

Demikian segala hal yang terjadi pada diri manusia, dia mengetahui, perbedaan antara mana yang terjadi dengan kumauannya dan mana yang tidak. Akan tetapi, karena kasih sayang Allah Azza wa Jalla , ada diantara perbuatan manusia yang terjadi atas kemauannya namun tidak dinyatakan sebagai perbuatannya. Seperti perbuatan orang yang kelupaan, dan orang yang sedang tidur. Firman Allah Azza wa Jalla dalam kisah Ashabul kahfi :

Artinya : “ ..Dan kami balik – balikkan mereka ke kanan dan ke kiri …” (Al- Kahfi: 18)

Padahal mereka sendiri yang sebenarnya berbalik ke kanan dan berbalik ke kiri, tetapi Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa Dialah yang membalik – balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sebab orang yang sedang tidur tidak mempunyai kemauan dan pilihan serta tidak mendapatkan hukuman atas perbuatannya. Maka perbuatan tersebut di nisbahkan kepada Allah Azza wa Jalla.

Dan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “ Barang siapa yang lupa ketika dalam keadaan berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, kerena Allah Azza wa Jalla yang memberinya makan dan minum “

Dinyatakan dalam hadits ini, bahwa yang memberi makan dan minum adalah Allah Azza wa Jalla , karena perbuatannya tersebut terjadi di luar kesadarannya, maka seakan – akan terjadi tanpa
kemauannya. Kita semua mengetahui perbedaan antara perasan sedih atau perasaan senang yang kadang kala dirasakan seseorang dalam dirinya tanpa kemauannya serta dia sendiri tidak mengetahui sebab dari kedua perasaan tersebut yang timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh dirinnya sendiri. Hal ini, alhamdulillah, sudah cukup jelas dan gamblang.

SANGGAHAN ATAS PENDAPAT PERTAMA

Pembaca yang budiman Seandainnya kita mengambil dan mengikuti pendapat golongan yang pertama, yaitu mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar, niscaya sia-sia lah syari’at ini dari tujuan semula. Sebab bila dikatakan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam perbuatannya, berarti tidak perlu dipuji atas perbuatannya yang terpuji dan tidak perlu dicela atas perbuatannya yang tercela. Karena pada hakekatnya perbuatan tersebut dilakukan tanpa kehendak dan keinginan darinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Allah Azza wa Jalla maha suci dari pendapat dan paham yang demikian ini. Adalah merupakan kezhaliman, jika Allah Azza wa Jalla menyiksa orang yang berbuat maksiat yang perbuatan maksiat tersebut terjadi bukan dengan kehendak dan keinginannya. Pendapat seperti ini sangat jelas bertentangan dengan firman Allah Azza wa Jalla :

Artinya : “ Dan ( malaikat ) yang menyertai dia berkata : ‘ inilah (catatan amalnya ) yang tersedia pada sisiku, Allah berfirman : “ lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala; yang sangat enggan melakukan kebaikan, melanggar batas lagi ragu-ragu; yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat (pedih ). Sedang ( syaitan ) yang menyertai dia berkata : “ ya Robb kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh’. Allah berfirman : “ Janganlah kamu bertengkar dihadapanku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu. Keputusan di sisiKu tidak dapat di ubah, dan aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hambaKu ( Qaaf : 23- 29)

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa siksaan dariNya itu adalah kerena keadilanNya, dan sama sekali Dia tidak zhalim terhadap hamba-hambaNya. Sebab Allah Azza wa Jalla telah memberikan peringatan dan ancaman kepada mereka, telah menjelaskan jalan kebenaran dan jalan kesesatan bagi mereka, akan tetapi mereka memilih jalan kesesatan, maka mereka tidak akan memiliki alasan di hadapan Allah Azza wa Jalla untuk membantah keputusanNya. Andaikata kita menganut pendapat yang batil ini, niscaya sia-sialah firman Allah Azza wa Jalla ini :

Artinya: “( kami utus mereka) sebagai rasulrasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah di utusnya Rasul-rasul itu. Dan Allah maha Perkasa lagi maha Bijaksana “. ( An- Nisaa’ : 165)

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa tidak ada alasan lagi bagi manusia setelah di utusnya para Rasul, karena sudah jelas hujjah Allah Azza wa Jalla atas mereka. Maka seandainya masalah qadar bisa dijadikan alasan bagi mereka, tentu alasan ini akan tetap berlaku sekalipun sesudah di utusnya para Rasul. Karena qadar ( takdir) Allah Azza wa Jalla sudah ada sejak dahulu sebelum diutusnya para Rasul dan tetap ada sesudah di utusnya mereka. Dengan demikian pendapat ini adalah batil karena tidak sesuai dengan nash ( dalil ) dan kenyataan, sebagaimana telah kami uraikan dengan contoh- contoh di atas.

SANGGAHAN ATAS PENDAPAT KEDUA

Adapun pendapat kedua, yaitu pendapat golongan yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan manusia, maka pendapat inipun bertentangan dangan nash dan kenyataan. Sebab banyak ayat yang menjelaskan bahwa kehendak manusia tidak lepas dari kehendak Allah Azza wa Jalla. Firman Allah :

Artinya : “ ( yaitu ) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki ( menempuh jalan itu) kecuali apabila di kehendaki oleh Allah, Tuhan semesta Alam “.(At Takwir : 28- 29)

Artinya : Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” ( Al Qashash: 68)

Artinya: “ Allah menyeru ( manusia ) ke Darussalam ( surga ), dan menunjuki orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus (Islam)” (Yunus: 25).

Mereka yang menganut pendapat ini sebenarnya telah mengingkari salah satu dari rububiyah Allah, dan berprasangka bahwa ada dalam kerajaan Allah ini apa yang tidak dikehendaki dan tidak di ciptakanNya. Padahal Allah lah yang menghendaki segala sesuatu, menciptakannya dan
menentukan qadar ( takdir) nya. Sekarang kalau semuanya kembali kepada kehendak Allah dan segalanya berada di Tangan Allah, lalu apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh seseorang apa bila dia telah di takdirkan Allah tersesat dan tidak dapat petunjuk ?
Jawabnya : bahwa Allah Azza wa Jalla menunjuki orang-orang yang patut mendapat petunjuk dan menyesatkan orang-orang yang patut menjadi sesat. Firman Allah :

Artinya: “ Maka tatkala mereka berpaling ( dari kebenaran ) Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”.( Ash Shaf : 5)

Artinya : “( tetapi ) kerena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mareka dan Kami jadikan hati mereka keras mambatu, mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang mereka yang telah di beri peringatan dengannya” . (Al Ma’idah : 13)
Di sini Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa Dia tidak menyesatkan orang yang sesat kecuali disebabkan oleh dirinya sendiri. Dan sebagaimana telah kami terangkan tadi bahwa manusia tidak dapat mengetahui apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk dirinya. Karena dia tidak mengetahui takdirnya kecuali apabila sudah terjadi, maka dia tidak tahu apakah dia ditakdirkan Allah menjadi orang yang tersesat atau menjadi orang yang mendapat petunjuk.
Kalau begitu, mengapa jika seseorang menempuh jalan kesesatan lalu berdalih bahwa Allah Azza wa Jalla telah menghendakinya demikian ? Apa tidak lebih patut baginya menempuh jalan kebenaran kemudian mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menunjukkan kepadaku jalan kebenaran. Pantaskah dia menjadi orang yang jabri kalau tersesat dan qadari (1) kalau berbuat
kebaikan? Sungguh tak pantas seseorang menjadi jabri ketika berada dalam kesesatan dan kemaksiatan, kalau ia tersesat atau berbuat maksiat kepada Allah Azza wa Jalla ia mengatakan : “ ini sudah takdirku, dan tak mungkin aku dapat keluar dari ketentuan dan takdir Allah”; tetapi ketika berada dalam ketaatan dan memperoleh taufiq dari Allah untuk berbuat ketaatan dan kebaikan ia mengatakan : “ ini kuperoleh dari diriku sendiri”. Dengan demikian ia menjadi qadari dalam segi ketaatan dan menjadi jabri dalam segi kemaksiatan. Ini tidak dibenarkan sama sekali, sebab sebenarnya manusia mempunyai kehendak dan kemampuan. Masalah hidayah persis seperti masalah rizki dan menuntut ilmu. Sebagaimana kita semua tahu bahwa manusia telah ditentukan untuknya rizki yang menjadi bagiannya. Namun demikian dia tetap berusaha untuk mencari rizki ke sana dan kemari baik di daerahnya sendiri atau di luar daerahnya. Tidak duduk di rumah saja saraya berkata : “ kalau sudah ditakdirkan untukku rizkiku tentu ia akan (1 ) Jabri ialah orang yang berpendapat bahwa manusia itu terpaksa dalam perbuatannya, tidak mempunyai kehendak dan keinginan. Qadari ialah orang yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya dan mengingkari adanya takdir. datang dengan sendirinya”. bahkan dia akan berusaha untuk mencari rizki tersebut. Padahal rizki ini disebutkan bersamaan dengan amal perbuatan, sebagaimana di sebutkan dalam hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA:
“Sesungguhnya kalian ini dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibu selama empat puluh hari berupa air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama empat puluh hari pula, kemudian berubah menjadi segumpal daging selama empat puluh hari pula, lalu Allah mengutus
seorang malaikat yang diberi tugas untuk mencatat empat perkara, yaitu rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya dan apakah ia termasuk orang celaka atau bahagia”.

Jadi rizki inipun telah tercatat seperti halnya amal perbuatan, baik ataupun buruk, juga telah
tercatat. Kalau begitu, mengapa anda pergi kesana ndan kemari untuk mencari rizki dunia tetapi tidak berbuat kebaikan untuk mencari rizki akherat dan mendapatkan kebahagiaan surga ? padahal keduaduanya adalah sama, tidak ada perbedaannya. Jika anda mau berusaha untuk mencari rizki dan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan anda, sehingga kalau anda sakit, pergi kemanapun untuk mencari dokter ahli untuk mengobati penyakit anda, padahal anda tuhu kalau ajal telah ditentukan, tidak akan dapat bertambah dan tidak maupun berkurang. Anda tidak bersikap pasrah sambil berkata : “ sudahlah aku tetap tinggal di rumah saja meski menderita sakit , kerena kalaupun aku di takdirkan panjang umur aku akan tetap hidup”. Bahkan anda berusaha sekuat tenaga untuk mencari dokter yang ahli, yang sekiranya dapat menyembuhkan penyakit anda dengan takdir Allah . jika demikian, mengapa usaha anda di jalan akherat dan dalam amal shaleh tidak seperti usaha anda untuk kepentingan duniawi?
Sebagaiman telah aku kemukakan bahwa masalah qadar adalah rahasia Allah Azza wa Jalla
yang tersembunyi, tak mungkin anda dapat mengetahuinya. Sekarang anda di antara dua jalan : jalan yang membawa anda kepada keselamatan, kebahagiaan, kedamaian dan kemuliaan ; dan jalan yang dapat membawa anda kepada kehancuran, penyesalan, dan kehinaan. Sekarang anda sedang berdiri di antara ujung kedua jalan tersebut dan bebas untuk memilih tak ada seorangpun yang akan merintangi anda untuk melalui jalan yang kanan atau jalan yang kiri. Anda dapat pergi kemanapun sesuka hati anda. Lalu mengapa anda memilih jalan kiri (sesat) kemudian berdalih bahwa” itu sudah takdirku”? apa tidak lebih patut jika anda memilih jalan kanan dan mengatakan bahwa “ itu takdirku” ?

Untuk lebih jelasnya, apa bila anda mau bepergian ke suatu tempat dan di hadapan anda ada dua jalan. Yang satu mulus, lebih pendek dan lebih aman ; sedang yang kedua rusak, lebih panjang dan mengerikan. Tentu saja anda akan memilih jalan yang mulus, yang lebih pendek dan lebih aman, tidak memilih jalan yang tidak mulus, tidak pendek dan tidak aman. Ini berkenaan dengan jalan yang visual, begitu juga dengan yang non visual, sama saja dan tidak ada bedanya. Namun kadang kala hawa nafsulah yang memegang peran dan menguasai akal. Padahal, sebagai seorang mu’min seyogyanya akalnyalah yang harus lebih berperan dan menguasai hawa nafsunya. Jika orang menggunakan akalnya, maka akal itu menurut pengertian yang sebenarnya akan melindungi pemiliknya dari yang membahayakan dan membawanya kepada yang bermanfaat dan membahagiakan. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa manusia mempunyai kehendak dan pilihan dalam perbuatan yang di lakukannya secara sadar, bukan terpaksa. Kalau manusia berbuat dengan kehendak dan pilihannya untuk kepentingan dunia, maka iapun seharusnya begitu pula dalam usahanya menuju akherat. Bahkan jalan menuju akherat lebih jelas. Karena Allah Azza wa Jalla telah menjelaskannya dalam Al-Qur’an dan melalui sabda RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa Salam , maka jalan menuju akherat tentu saja lebih jelas dan lebih terang daripada jalan untuk kepentingan dunia. Namun kenyataannya, manusia mau berusaha untuk kepentingan dunia yang tidak terjamin hasilnya dan meninggalkan jalan menuju akhirat yang telah terjamin hasilnya dan diketahui balasannya berdasarkan janji Allah Azza wa Jalla , dan Allah Azza wa Jalla tidak akan menyalahi janjiNya. Pembaca yang budiman Inilah yang menjadi ketetapan Ahlussunnah Wal Jamaah dan inilah yang menjadi aqidah serta madzhab mereka, yaitu bahwa manusia berbuat atas dasar kemauannya dan berkata menurut keinginannya, tetapi keinginan dan kemauannya itu tidak lepas dari kemauan dan kehendak Allah Azza wa Jalla. Dan Ahlussunnah Wal Jamaah mengimani bahwa kehendak Allah Azza wa Jalla tidak lepas dari hikmah kebijaksanaanNya, bukan kehendak yang mutlak da absolut, tetapi kehendak yang senantiasa sesuai dengan hikmah kebijaksanaanNya. Karena di antara asma Allah Azza wa Jalla adalah AL- HAKIM yang artinya Maha Bijaksana yang memutuskan segala sesuatu dan bijaksana dalam keputusanNya. Allah Azza wa Jalla dengan sifat hikmahNya, menentukan hidayah bagi siapa yang di kehendakiNya yang menurut pengetahuanNya benar-benar menginginkan al-haq dan hatinya dalam istiqamah. Dan dengan sifat hikmahNya pula, dia menentukan kesesatan bagi siapa yang suka akan kesesatan dan hatinya tidak senang dengan Islam. Sifat hikmah Allah Azza wa Jalla tidak dapat menerima bila orang yang suka akan kesesatan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk, kecuali jika Allah Azza wa Jalla memperbaiki hatinya dan merubah kehendaknya, dan Allah Azza wa Jalla maha kuasa atas segala sesuatu. Namun, sifat hikmahNya menetapkan bahwa setiap sebab berkait erat dengan dengan akibatNya.

TINGKATAN QADHA’ DAN QADAR

Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha’ dan qadar mempunyai empat tingkatan :
Pertama : Al-‘Ilm (pengetahuan) Artinya mengimani dan meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla maha tahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci, baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagiNya.
Kedua : Al-kitabah (penulisan) Artinya mengimani bahwa Allah Azza wa Jalla telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam lauh mahfuzh. Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya:

Artinya : “ Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja
yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (lauh mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”.(Al- Hajj:70)

Dalam ayat ini disebutkan lebih dahulu bahwa Allah Azza wa Jalla mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, kemudian dikatakan bahwa yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab lauh mahfuzh. Sebagaimana dijelaskan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam sabdanya:
“ Pertama kali tatkala Allah Azza wa Jalla menciptakan qalam (pena), Dia firmankan kepadanya : tulislah!. Qalam itu berkata : ya Tuhanku, apakah yang hendak kutulis? Allah Azza wa Jalla berfirman : Tulislah apa saja yang akan terjadi ! maka seketika itu bergeraklah qalam itu menulis segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat”. Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam ditanya tentang apa yang hendak kita perbuat, apakah sudah ditetapkan atau tidak ? beliau menjawab : “ sudah ditetapkan”. Dan ketika beliau ditanya: “ mengapa kita mesti berusaha dan tidak pasrah saja dengan takdir yang sudah tertulis ? beliapun menjawab : “ berusahalah kalian, masing-masing akan dimudahkan menurut takdir yang telah ditentukan baginya”. Kemudian beliau membaca firman Alah :

Artinya : “ Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya( jalan) yang mudah. Sedangkan orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya (jalan) yang sukar”.( Al Lail: 5 – 10)
Oleh karena itu hendaklah anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam kepada para sahabat. Anda akan di mudahkan menurut takdir yang telah ditentukan Allah Azza wa Jalla.
Ketiga : Al- Masyiah ( kehendak ). Artinya: bahwa segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah Azza wa Jalla . hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an Al –Karim. Dan Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya, serta apa yang diperbuat para hambaNya juga dengan kehendakNya. Firman Allah :

Artinya : “ ( yaitu ) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki ( menempuh jalan itu ) kecuali apa bila dikehendaki Allah,Tuhan semesta alam”. ( At Takwir : 28 -29)

Artinya: “ jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya”. ( Al – An’am : 112)

Artinya: “ Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehandakinya”. ( Al – Baqarah : 253)

Dalam ayat – ayat tersebut Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa apa yang diperbuat oleh manusia itu terjadi dengan kehendakNya. Dan banyak pula ayat– ayat yang
menunjukkan bahwa apa yang diperbuat Allah adalah dengan kehendakNya. Seperti firman Allah :

Artinya : “ Dan kalau kami menghendaki niscaya akan kami berikan kepada tiap – tiap jiwa petunjuk ( bagi ) nya”.( As Sajdah: 13)

Artinya : “ jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu”. ( Huud : 118)

Dan banyak lagi ayat – ayat yang menetapkan kehendak Allah dalam apa yang diperbuatNya. Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar ( takdir) kecuali dengan
mengimani bahwa kehendak Allah Azza wa Jalla meliputi segala sesuatu. Tak ada yang terjadi atau tidak terjadi kecuali dengan kehendakNya. Tak mungkin ada sesuatu yang terjadi di langit ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah Azza wa Jalla.
Keempat : Al – Khalq ( penciptaan ) Artinya mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah Azza wa Jalla. Sampai “ kematian” lawan dari kehidupan itupun diciptakan . Allah. Firman Allah :

Artinya: “ Yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”.( Al Mulk : 2) Jadi segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah Azza wa Jalla. Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil perbuatan Allah adalah ciptaanNya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari, bulan, bintang, angin, manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluk ini , seperti : sifat, perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah Azza wa Jalla. Akan tetapi mungkin saja ada orang yang merasa sulit memahami, bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang kita lakukan dengan kehendak kita ini adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla?
Jawabnya : ya, memang demikian, sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena
adanya dua faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Apa bila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan kemampuan manusia adalah Allah Azza wa Jalla. Dan siapa yang menciptakan sebab dialah yang
menciptakan akibatnya. Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena dua faktor, yaitu : kehendak dan kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak akan berbuat, karena andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan dia berbuat, begitu pula andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak akan terjadi suatu perbuatan. Jika perbuatan manusia terjadi karena adanya kehendak yang
mantap dan kemampuan yang sempurna, sedangkan yang menciptakan kehendak dan kemampuan tadi pada diri manusia adalah Allah Azza wa Jalla, maka dengan ini dapat dikatakan bahwa yang menciptakan perbuatan manusia adalah Allah Azza wa Jalla.

Akan tetapi, pada hakekatnya manusialah yang berbuat, manusialah yang bersuci, yang melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa, yang melaksanakan ibadah haji dan
umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang berbuat ketaatan; hanya saja perbuatan ini ada dan terjadi dengan kehendak dan kemampuan yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla. Dan alhamdulillah hal ini sudah cukup jelas.

Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah Azza wa Jalla. Dan hal ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai pelaku perbuatan. Seperti halnya kita katakan : “api membakar” padahal yang menjadikan api dapat membakar adalah Allah Azza wa Jalla. Api tidak dapat membakar dengan sendirinya, sebab seandainya api dapat membakar dengan sendirinya, tentu ketika nabi Ibrahim AS dilemparkan ke dalam api, akan terbakar hangus. Akan tetapi, ternyata beliau tidak mengalami cidera sedikitpun, karena Allah Azza wa Jalla berfirman pada api itu :

Artinya : “ hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim”.(Al Anbiya’: 69)

Sehingga Nabi Ibrahim tidak terbakar, bahkan tetap dalam keadaan sehat walafiat. Jadi api tidak dapat membakar dengan sendirinya, tetapi Allah-lah yang menjadikan api tersebut mempunyai kekuatan untuk membakar. Kekuatan api untuk membakar adalah sama dengan kehendak dan kemampuan pada diri manusia untuk berbuat, tidak ada perbedaanya. Hanya saja, Karena manusia mempunyai kehendak, perasaan, pilihan dan tindakan, maka secara hukum yang dinyatakan sebagai pelaku tindakan adalah manusia. Dia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diperbuatnya, karena dia berbuat menurut kehendak dan kemauannya sendiri.

Oleh Syaikh Muhammad Shaleh Al`Utsaimin
Penerjemah Mayskur Mz
Copyleft 2007 – 1428 @ Maktabah Ummu Salma al-Atsari


Download Book Di sini !





Button Image Background by FreeButtons.org v2.0

0 komentar:

Posting Komentar