Kaidah di dalam Menghukumi Suatu Hadits
الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، أما بعد:
Segala puji hanyalah milik Alloh Pemelihara Alam Semesta, Sholawat dan Salam semoga senantiasa terlimpahkan atas Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Adapun setelah itu :
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah yang mesti dilalui oleh seorang peneliti hadits atau pengkritik (nuqad) ketika menghukumi suatu hadits akan keshahihan atau kedha’ifannya.
Ketahuilah –semoga Alloh merohmatiku dan anda- bahwa menghukumi suatu hadits, baik itu keshahihan atau kedha’ifannya, melalui dua cara :
Cara Pertama : menghukumi sanad zhahirnya saja tanpa menilai matannya.
Cara kedua : menghukumi sanadnya secara bathin, dimana di sini matannya juga dihukumi (atau dengan kata lain, menghukumi hadits secara keseluruhan).
الخطوة الأولى: الحكم على السند ظاهراً
Cara Pertama : Menghukumi Sanad Secara Zhahir
Ada 5 hal di dalam menghukumi sanad secara zhahir :
Pertama : Membedakan seorang perawi dengan perawi lainnya.
Untuk mengetahui seorang perawi ada beberapa jalan, diantaranya :
a. Murid perawi tersebut yang menjelaskannya yang tidaklah terancukan (karena keserupaan) dengan perawi lainnya, seperti Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain yang berkata : Menceritakan kepada kami Sufyan bin ’Uyainah,....
b. Dari jalan riwayat murid-murid seorang perawi dan guru-gurunya di dalam sanad yang dapat diketahui secara galibnya.
c. Seorang perawi yang diketahui dengan mulazamah (menekuni) gurunya, maka apabila perawi itu memubhamkan (menyamarkan sebagian identitas) gurunya, dapat diketahui bahwa ia adalah guru perawi yang terbedakan (dengan lainnya), dan apabila tidak maka ia adalah orang lain.
Misalnya, Abu Nu’aim apabila meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri tidaklah menasabkannya (kepada ats-Tsauri,pent) namun apabila meriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah, beliau menyebutkannya.
Contoh berikutnya, Sulaiman bin Harb, apabila meriwayatkan dari Hammad bin Zaid tidak menasabkannya, namun apabila meriwayatkan dari Hammad bin Salamah beliau menasabkannya.
d. Dari jalan thobaqot seorang perawi dan thobaqot guru-guru dan murid-muridnya.
e. Adanya seorang imam mu’tabar (terkenal) yang menegaskan bahwa perawi ini adalah Fulan, dari segi tidak ada orang lain yang serupa dengannya. Contohnya : apabila didapatkan di dalam isnad Abu Dawud –misalnya- ada perawi yang mirip dengan selainnya, imam ini akan menunjukkan bahwa perawi yang mirip dengannya tidaklah dikeluarkan oleh Abu Dawud.
f. Merujuk kepada kitab-kitab al-Muttafaq wal Muftariq, kitab-kitab al-Mu’talaf wal Mukhtalaf dan kitab-kitab al-Musytabih.
g. Apabila perawi itu adalah seorang sahabat atau diduga sebagai seorang sahabat, maka merujuk kepada kitab-kitab Shahabah dan kitab-kitab al-Maroosil
h. Apabila perawi tersebut berkunyah maka merujuk kepada kitab-kitab al-Kuna dan apabila berlaqob maka merujuk kepada kitab-kitab al-Alqoob.
i. Apabila tidak memungkinkan untuk membedakan seorang perawi dengan selainnya, maka apabila para perawi ini –atau dua perawi yang serupa- adalah perawi tsiqoot maka sanadnya shahih dengan mempertimbangkan syarat-syarat lainnya di dalam penshahihan hadits dan apabila perawi ini dho’if maka sanadnya juga dha’if. Namun apabila sebagian perawi ini dha’if (dan sebagiannya tsiqot, pent) maka bertawaqquf (mendiamkan) di dalam penshahihan sanad sampai diteliti apakah riwayat ini memiliki mutabi’ (penyerta) atau Syaahid? Akan datang perinciannya di dalam Cara Kedua –insya Allohu Ta’ala-.
Kedua : Mengetahui keadilan (’adalah) seorang perawi : yang demikian ini bisa dengan kemasyhuran perawi atas sifat ’adalah-nya atau bisa juga dengan penegasan seorang imam ”mu’tabar” atas sifat ’adalah-nya, dan yang demikian ini dengan syarat seorang perawi tidak memiliki sesuatupun yang dapat menghilangkan sifat ’adalah-nya.
Apabila seorang perawi tidak masyhur akan keadilannya dan tidak satupun dari ulama mu’tabar mentsiqohkannya, maka ada beberapa keadaan :
a. Sejumlah perawi tsiqot meriwayatkan darinya dan tidak ada riwayat yang datang darinya diingkari maka ia tsiqoh, dan hal ini semakin diperkuat apabila ia termasuk thobaqot tabi’in senior atau pertengahan.
b. Riwayat al-Bukhari dan Muslim pada seorang perawi (otomatis) adalah ta’dil atasnya.
c. Terangkatnya status majhul ’ain-nya dengan riwayat seorang tsiqoh atau dua orang perawi darinya.
d. Apabila seorang majhul meriwayatkan hadits yang maudhu’ (palsu) atau munkar dan tidaklah ditemukan di dalam sanadnya adanya penyerta yang mengkonfrontasikannya, maka perawi ini dituduh al-Majhul biuhdatihi (tidak diketahui status kelemahannya). [Lihat Miizanul I’tidaal (II/103), (III/91) dan (IV/21).
e. Apabila seorang imam –diketahui bahwa imam ini tidaklah meriwayatkan melainkah hanya dari tsiqoh- meriwayatkan dari seorang perawi, maka ini merupakan tautsiq (pentsiqohan)-nya terhadap perawi itu dan penghukuman akan ke-’adalah-annya menurut imam tersebut.
f. Penshahihan seorang imam mu’tabar terhadap suatu sanad hadits dihitung sebagai pentsiqohan terhadap seluruh perawinya.
Ketiga : Mengetahui ke-dhabit-an seorang perawi.
Untuk mengetahui sifat dhabit seorang perawi ada dua cara, yaitu :
à Cara Pertama : Adanya tautsiq para imam terhadap seorang perawi.
à Cara kedua : Menelusuri riwayatnya dan menelitinya, lalu membandingkannya dengan riwayat para tsiqot huffazh. Apabila yang dominan adalah istiqomah (kesesuaian) dan muwafaqoh (keselarasan) maka perawi tersebut adalah tsiqoh dan apabila yang dominan adalah mukholafah (penyelisihan) dan munkaraat maka perawi tersebut adalah dha’if dan matruk (ditinggalkan). Namun apabila didapatkan bahwa riwayatnya ada yang mukholafah namun yang dominan adalah keselarasannya, maka ia adalah perawi yang shoduq dan husnul hadits (haditsnya hasan).
Di sini ada 9 hal di dalam menghukumi seorang perawi, yaitu :
1. Mengumpulkan pendapat-pendapat ulama yang membicarakan perawi tersebut.
2. Menguatkan (Ta’akkud) keshahihan penisbatannya kepada mereka.
3. Mengetahui imam hadits yang dipandang pendapatnya (mu’tamad) dan yang tidak dipandang.
4. Mengetahui imam yang berbicara tentang seorang perawi, apakah ia seorang murid perawi, ataukah sesama penduduk negeri yang sama, atau seorang yang hidup semasanya (sahabat) ataukah orang yang belakangan darinya.
5. Mengetahui derajat imam (yang membicarakan perawi), apakah termasuk mu’tadil (pertengahan di dalam menilai perawi), mutasaahil (terlalu lunak di dalam menilai perawi) atau mutasyaddid (terlalu ketat di dalam menilai perawi).
6. Mengetahui sebab-sebab Jarh dan Ta’dil apabila ada.
7. Perincian jarh atau naqdh-nya (bantahan yang menggugurkan penilaian) seorang mu’addil (ulama yang menta’dil).
8. Mengetahui maksud-maksud para imam dari lafazh-lafazh, ungkapan-ungkapan dan harokaat mereka yang berkaitan dengan jarh wa ta’dil.
9. Menjama’ (mengkompromikan) dan mentarjih (menguatkan salah satunya) apabila pendapat para imam saling kontradiksi di dalam menilai seorang perawi (Kesimpulan pendapat terhadap perawi).
Keempat : Mengetahui hubungan seorang perawi dengan syaikhnya, hal ini memiliki beberapa gambaran :
a. Apabila syaikhnya termasuk perawi yang mukhtalith (tercampur-baur hafalannya) atau taghoyar (berubah) dengan perubahan yang mempengaruhi riwayatnya, maka dilihat apakah perawi tersebut mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya ataukah setelahnya?
Apabila perawi ini mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya, dan syaikh ini asalnya maqbul (diterima) riwayatnya maka diterima riwayatnya.
Apabila perawi ini mendengar darinya setelah ikhtilath atau taghoyar-nya maka ditolak riwayatkan dan dihukumi sanadnya dha’if.
Apabila tidak diketahui apakah mendengarnya perawi dari syaikhnya ini sebelum ikhtilath ataukah setelahnya, atau mendengar darinya sebelum ikhtilath dan setelahnya dan tidaklah dapat dibedakan sima’ (mendengar)-nya dari syaikhnya, maka ditolak riwayatnya dan dihukumi sanadnya dha’if.
Contohnya : ’Atho` bin as-Saa`ib perawi yang tsiqoh namun mukhtalith, meriwayatkan darinya Syu’bah, Sufyan ats-Tsauri dan Hammad bin Zaid sebelum ikhtilath-nya, dan meriwayatkan darinya Jarir, Khalid bin ‘Abdillah dan Ibnu ‘Aliyah setelah ikhtilath-nya, serta meriwayatkan darinya Hammad bin Salamah sebelum dan setelah ikhtilath-nya.
b. Mengetahui perihal perawi beserta syaikhnya, apakah dia dha’if di dalam (periwayatan) gurunya ataukah tidak? Apabila ia dha’if maka sanadnya otomatis dha’if, seperti riwayat Sufyan bin Husain al-Wasithi dari az-Zuhri.
c. Mengetahui perihal perawi terhadap suatu penduduk negeri, apakah dia dha’if di dalam (periwayatan) mereka ataukah tidak?
Apabila ia dha’if di dalam periwayatan mereka sedangkan dia meriwayatkan dari mereka maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat Isma’il bin ‘Iyasy dari penduduk Hijaz, maka riwayatnya dha’if.
d. Mengetahui periwayatan perawi terhadap suatu penduduk negeri apabila mereka mengambil periwayatan darinya, apakah mereka (penduduk negeri) adalah dhu’afa` di dalam (periwayatan) darinya ataukah tidak?
Apabila mereka (penduduk suatu negeri) lemah di dalam (periwayatan) darinya sedangkan mereka meriwayatkan darinya maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat penduduk Syam dari Zuhair bin Muhammad al-Khurosani, maka riwayatnya dha’if.
Kelima : Mengetahui ittishol (bersambungnya) sanad dari inqitho’ (keterputusan)-nya, dalam hal ini ada 7 keadaan :
1. Apabila rijaal (para perawi) sanad adalah tsiqoot dan mereka menegaskan secara tegas akan sima’ (mendengar)-nya, atau dengan yang dihukumi dengannya maka sanadnya muttashil (bersambung).
2. Apabila sanadnya dengan ‘an’anah atau semisalnya, maka diperiksa apakah perawi itu sezaman dengan syaikhnya ataukah tidak, apabila tidak sezaman dengan syaikhnya maka sanadnya munqothi’ (terputus).
3. Apabila seorang perawi sezaman dengan syaikhnya maka diperiksa, apakah ia bertemu dengannya ataukah tidak diketahui pernah bertemu? Apabila ia tidak bertemu syaikhnya maka sanadnya munqothi’.
Dan apabila tidak diketahui bertemunya, maka hukum asal dua perawi yang sezaman adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’ seperti ditegaskan oleh imam mu’tabar, atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan, atau perbedaan negeri yang jauh dan tidak adanya rihlah (bepergian untuk mencari hadits).
4. Apabila seorang perawi bertemu dengan syaikhnya, maka diperiksa apakah ia mendengar darinya ataukah tidak mendengar ataukah tidak diketahui akan sima’ (mendengarnya)? Apabila perawi itu belum pernah mendengar dari gurunya maka sanadnya munqothi’.
Apabila tidak diketahui maka hukum asalnya adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan mendengar.
5. Apabila seorang perawi mendengar dari gurunya, maka diperiksa apakah perawi itu termasuk mudallis ataukah tidak? Apabila bukan seorang mudallis maka sanadnya muttashil.
6. Apabila perawi itu adalah mudallis dan meriwayatkan dengan ‘an’anah atau semisalnya dari syaikh yang ia mendengar darinya atau yang dihukumi perawi itu mendengar darinya, (diperiksa) :
Apabila perawi itu jarang melakukan tadlis seperti Abu Qilabah ‘Abdullah bin Zaid al-Jarmi atau tidak banyak (sedikit) melakukan tadlis seperti Qotadah, A’masy dan Abu Ishaq al-Subai’i maka dihukumi sanadnya muttashil selama tidak jelas adanya khilaf (pendapat yang menyelisihi)-nya.
Apabila perawi itu termasuk yang sering melakukan tadlis seperti Ibnu Juraij terhadap periwayatan selain ‘Atho`, atau seperti Baqiyah bin Walid, maka bertawaqquf (mendiamkan) atas status ittishal-nya sanad dan dihukumi dengan dha’if sampai menjadi jelas keadaan sanad dengan adanya jalan-jalan riwayat lainnya.
7. Apabila perawi sezaman dengan syaikhnya dan memungkinkan bertemu dan mendengar darinya namun tidak diketahui ia mendengar darinya, namun ia mayshur (terkenal) dengan melakukan irsal maka sanadnya dihukumi dengan munqothi’. Namun apabila ia tidak masyhur melakukan irsal maka sanadnya muttashil lagi shahih selama tidak datang indikasi yang menjelaskan ketiadaan mendengarnya.
Hasil (Kesimpulan) Cara Pertama :
Apabila suatu sanad selamat dari keseluruhan ‘ilal (cacat/penyakit) yang zhahir (tampak), telah tsabat (tetap) akan sifat ’adalah dan dhabit para perawinya, dan telah shahih akan sima’ (mendengar)-nya perawi antara satu dengan lainnya, maka sanadnya shahih secara zhahir.
Apabila didapatkan sebuah ’illah (cacat) dari cacat-cacat zhahir (di atas) maka sanadnya ditolak tidak diterima.
Apabila kedha’ifan di dalam sanad lebih dekat dan memiliki kemungkinan (shahih) maka akan menjadi sholih (baik) dengan mutaba’at (penyerta) dan syawahid.
الخطوة الثانية: : الحكم على السند باطناً
Cara Kedua : Menghukumi Sanad secara bathin
Pertama : Cara pertama diaplikasikan terhadap sanad hadits yang dikehendaki penghukuman atasnya secara cermat.
Kedua : Dihimpun jalan-jalan hadits yang satu dari Mazhoonni (sumber perkiraan)-nya.
1. Dari sahabat itu sendiri, akan diketahui al-Mutaba’ah dan al-Mukholafah, diketahui yang syadz dan illat.
2. Dari sahabat yang meriwayatkan hadits itu sendiri –apabila ada pada mereka atau salah seorangnya- maka termasuk syawahid, dan dapat dihubungkan dengannya hadits-hadits mursal, mu’dhol, mauquf dan maqthu’ yang dihukumi marfu’ atasnya.
Untuk hadits yang dapat menjadi shalih karena syawahid memiliki syarat, yang penting diantaranya adalah : hendaknya hadits itu tidak terlalu dha’if (syadid), tidak syadz dan tidak munkar.
Dan diterapkan cara pertama untuk setiap sanad mutaba’aat dan syawaahid serta mukholafaat.
Peringatan : Takhrij itu memiliki jalan-jalan yang diketahui perinciannya dari sumber perkiraannya.
Ketiga : Menghimpun pendapat-pendapat para imam ahli hadits dan illat hadits seperti Imam Ahmad, Ibnul Madini, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Abu Dawud, al-Bukhari, at-Turmudzi, an-Nasa`i, ad-Daaruquthni, al-Khothib al-Baghdadi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Rojab, al-Hafizh al-Iroqi, Ibnu Hajar, Ibnu Mulaqqin, Ahmad Syakir, al-Albani, dan selain mereka terhadap thuruq (metode-metode) yang dihimpun hingga menjadi mudah bagi anda untuk memahami metode para imam ahli hadits di dalam naqd (mengkritik hadits) dan kaifiyat (cara) di dalam menghukumi sanad-sanad hadits, dan hingga anda dapat memetik faidah dari pendapat-pendapat mereka mengenai masalah yang sulit atas anda, dan juga supaya anda dapat mengetahui kapasitas kelemahan diri anda di hadapan para imam yang ahli lagi mendalam ilmunya.
Keempat : Ini merupakan cara kedua yang global dan memerlukan tafshil (perincian) dan tahrir (penegasan istilah), mudah-mudahan masalah ini dapat dibahas dalam waktu dekat –insya Alloh Ta’ala-.
Kelima : Ketahuilah, bahwa menghukumi suatu hadits adalah perkara yang paling sulit dan rumit, tidak ada yang mampu melakukannya kecuali hanya ulama ahli hadits senior. Maka berhati-hatilah di dalam penghukuman hadits dan janganlah tergesa-gesa. Jadikanlah apa yang saya tulis ini adalah suatu pelatihan dan pembelajaran saja bagi anda sampai anda menjadi mantap di dalam ilmu hadits.
Perbanyaklah membaca buku-buku mushtholahul hadits, ilalul hadits, biografi para perawi dan biografi para imam, semoga Alloh memberikan taufiq-Nya atasku dan atas anda kepada apa yang Ia cintai dan Ridhai.
والله أعلم وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Hanya Allohlah yang lebih tahu. Semoga Sholawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan sahabat beliau semuanya.
Buku-buku Tarojim (biografi perawi) sangatlah banyak dan bermacam-macam :
a. Diantaranya adalah biografi yang khusus membahas perawi tsiqoot (kredibel/terpercaya) seperti kitab ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban, dan ada pula yang khusus membahas perawi dhu’afaa` (plural dari dha’if/lemah) seperti kitab adh-Dhu’afaa` ash-Shoghir karya Imam Bukhari. Diantaranya pula ada yang mencakup dan menghimpun perawi tsiqot dan selainnya seperti at-Taarikh al-Kabir karya Imam al-Bukhari.
b. Diantaranya adalah biografi yang umum tidak khusus hanya untuk rijal (perawi) suatu kitab atau kitab-kitab yang tertentu, seperti at-Taarikh al-Kabir karya Bukhari, Al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim, dan adapula yang khusus membahas perawi suatu kitab tertentu seperti Tahdzibul Kamal karya al-Mizzi.
c. Diantaranya adalah biografi yang khusus disusun menurut negeri tertentu seperti kitab Taarikh Jurjaan karya al-Jurjaani, dan adapula yang tidak dikhususkan seperti ini sebagaimana kitab-kitab lainnya yang banyak.
d. Diantaranya adalah biografi yang disusun menurut tingkatan thobaqoot seperti Thobaqootul Kubroo karya Ibnu Sa’d, ada pula yang disusun berdasarkan nama-nama perawi sebagaimana mayoritas buku biografi, sebagian lagi ada yang disusun berdasarkan al-Wafiyaat seperti kitab al-Wafiyaat karya ash-Shofadi.
e. Diantaranya adalah biografi yang disusun khusus untuk syuyukh (guru-guru) sebagian imam (disebut Ma’aajim asy-Syuyukh), ada yang disusun berdasarkan keterangan perawi yang tidak meriwayatkan darinya kecuali hanya seorang perawi saja, seperti kitab al-Munfaridaat dan al-Wihdaan, ada pula yang disusun berdasarkan riwayat al-Akabir (perawi senior) dari al-Ashoghir (perawi junior), As-Sabiq wal Lahiq, ada juga buku-buku al-Ansaab (nasab-nasab perawi), buku-buku riwayat seorang anak dari bapaknya (al-Abnaa` minal Aaba`) atau sebaliknya, dan perawi yang meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, serta buku-buku as-Su`alaat dan al-’Ilal.
Misalnya : Tholq bin Mu’awiyah dari Sufyan ats-Tsauri... terdapat nama seperti ini pada dua orang, yaitu : Tholq bin Mu’awiyah an-Nakho’i seorang tabi’in senior Mukhodhrom*, dan Tholq bin Mu’awiyah bin Yazid dari thobaqoh ke-7. Maka perawi dari Sufyan tidaklah mungkin seorang tabi’in mukhodrom, maka perawi dari Sufyan bisa dipastikan adalah Ibnu Yazid. Lihat Taqribut Tahdzib (hal. 22 - ar-Risalah)
Keterangan : * Mukhodhrom memiliki 3 makna :
a. Man Lam Yakhtatan (orang yang tidak berkhitan). Namun bukan ini yang dimaksud.
b. Man Lam Yu’rof Abawaahu (orang yang tidak diketahui kedua orang tuanya), pengertian ini juga kurang tepat.
القَوَاعِـدُ الذَّهَبِيَّـةُ
لِمَعْرِفَـةِ الصَّـحِيـحِ والضَّـعِيـفِ مِنَ الـمَرْوِيَّاتِ الـحَدِيثِـيَّـةِ
تأليف
أبي عمر أسامة بن عطايا بن عثمان العتيبي
قَوَاعِدٌ فِي كَيْفِيَّةِ الـحُكْمِ عَلَى الـحَدِيثِ
الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، أما بعد:
فهذه جملة من القواعد التي يتبعها الباحث أو الناقد عند الحكم على الحديث بالصحة أو الضعف. اعلم رحمني الله وإياك ؛ أن الحكم على حديث "ما" بالصحة أو الضعف تتبع فيه خطوتان:
الخطوة الأولى: الحكم على السند ظاهراً دون الحكم على المتن .
الخطوة الثانية: الحكم على السند باطناً() ، وهنا يكون الحكم على المتن أيضاً [الحكم على الحديث جملة].
الخطوة الأولى: الحكم على السند ظاهراً .
يتبع في ذلك خمسة أمور :
1- تمييز الراوي عن غيره():
ولمعرفة الراوي طرق منها:
أ) أن يبينه تلميذه بحيث لا يشتبه مع غيره ،كأن يقول أبو نعيم الفضل بن دكين : حدثنا سفيان بن عيينة،..
ب) عن طريق تلامذة الراوي وشيوخه في السند يتعرف عليه غالباً ().
ت) أن يُعرف الراوي بملازمته لشيخه ؛ فإذا أبهمه عُرف أنه شيخه المميز ، وإلا فآخر.
مثل أبي نعيم إذا روى عن سفيان الثوري لم ينسبه ، أما إذا روى عن سفيان بن عيينة فينص عليه().
ومثل سليمان بن حرب إذا روى عن حماد بن زيد لم ينسبه ، أما إذا روى عن حماد بن سلمة نسبه().
ث) عن طريق طبقة() الراوي وطبقة شيوخه وتلامذته().
ج) أن ينص إمام معتبر على أن الراوي هو فلان بحيث لا يشتبه مع غيره.
ومثله إذا وجد في إسناد لأبي داود –مثلاً- فيشتبه مع غيره فينص إمام() على أن المشتبه معه لم يخرج له أبو داود .
حَ) يرجع إلى كتب المتفق والمفترق() ، وكتب المؤتلف والمختلف() ، وكتب المشتبه().
خ) إذا كان الراوي صحابياً أو يظن أنه صحابي يرجع إلى كتب الصحابة() ، وإلى كتب المراسيل () .
د) إذا كان الراوي بالكنية فيرجع إلى كتب الكنى() ، وإذا كان باللقب يرجع إلى كتب الألقاب().
ذ) إذا لم يمكن تمييز الراوي عن غيره ؛ فإذا كانوا –أو كانا- ثقات فالسند صحيح مع اعتبار الشروط الأخرى للتصحيح ، وإذا كانوا –أو كانا- ضعفاء فالسند ضعيف ، وإن كان بعضهم ضعيفاً فيتوقف في تصحيح السند ()حتى ينظر هل له متابع أو شاهد ؟ وسيأتي تفصيله في الخطوة الثانية -إن شاء الله تعالى- .
2- معرفة عدالة الراوي : وذلك إما باشتهاره بالعدالة ، وإما بنص إمام (معتبر) على عدالته ، وذلك بشرط خلو الراوي مما يخل بعدالته .
إذا لم يشتهر الراوي بعدالة ولم يوثق من معتبر فله حالات:
أ) أن يروي عنه جمع من الثقات ولم يأت بما ينكر عليه فهو ثقة ، ويتأكد ذلك إذا كان من طبقة كبار التابعين وأواسطهم.
ب) رواية البخاري ومسلم للراوي تعديل له .
ت) ترتفع جهالة العين برواية ثقة أو راويين عنه().
ث) إذا روى المجهول حديثاً موضوعاً أو منكراً ولا يوجد في سنده من تحمل عليه التبعة فيتهم هذا الراوي المجهول بعهدته().
ج) إذا روى إمام –عرف أنه لا يروي إلا عن ثقة- عن راو فهو توثيق للراوي وحكم بعدالته عند ذلك الإمام .
حَ) تصحيح إمام معتبر لإسناد حديث يعد توثيقاً لجميع رواته .
3- معرفة ضبط الراوي :
ولمعرفة ضبط الراوي طريقتان:
الطريقة الأولى: توثيق الأئمة للراوي .
الطريقة الثاني: بسبر مروياته وتتبعها ، وعرضها على رواية الثقات الحفاظ ؛ فإن كان الغالب عليه الاستقامة والموافقة فهو الثقة ، وإن كان الغالب عليه المخالفة والمنكرات فهو الضعيف أو المتروك ، وإن كانت وجدت عنده المخالفة مع أن الغالب عليه الاستقامة فهو الصدوق وحسن الحديث().
وهنا تسعة أمور للحكم على الراوي:
أولاً: جمع أقوال من تكلم في الراوي.
ثانياً: التأكد من صحة نسبتها إليهم().
ثالثاً: معرفةُ من يعتمدُ قوله ممن لا يعتمدُ().
رابعاً: معرفةُ الإمامِ المتَكَلِّمِ في الراوي ؛ هل هو تلميذُ الراوي أم بلديُّهُ أم معاصرٌ له أم متأخرٌ عنه؟ .
خامساً: معرفةُ درجةِ الإمامِ هل هو معتدلٌ أم متساهلٌ أم متشددٌ؟ .
سادساً: معرفةُ سبَبِ الجَرْحِ أو التَّعدِيلِ إنْ وُجِدَ.
سابعاً : تفسيرُ الجرحِ أو نقضِهِ منَ الْمُعَدِّلِ.
ثامناً: معرفةُ مقاصِدِ الأئمةِ منْ ألفاظِهِمْ ، وعباراتِهِمْ ، وحَرَكاتِهِمُ المتَعَلِّقَةِ بالجَرْحِ والتَّعْدِيلِ().
تاسعاً: الجمعُ والترجيحُ إذا تعارَضتِ أقوالُ الأئمةِ في الراوي. [خلاصةُ القولِ في الراوي].
4-معرفةُ علاقةِ الراوي معَ شيخِهِ ولَهَا صُورٌ:
[أ]- إذا كان الشيخُ ممن اختلطَ ، أو تغيَّرَ تَغَيُّراً مُؤَثِّراً على روايتِهِ ؛ فينظرُ هل سمعَ منه الراوي قبلَ اختلاطِهِ أو تغيُّرِهِ أمْ بعدَ ذلك ؟
فإنْ كان سماعُه منه قبلَ الاختلاطِ أو التَّغَيُّرِ ، والشيخُ في أصلِهِ مقبُولَ الروايةِ قُبِلَتْ روايتُهُ .
وإنْ كانَ سماعُهُ منهُ بعدَ الاخْتِلاطِ أو التَّغَيُّرِ ؛ رُدَّتْ روايتُه ، وحُكِمَ على السَّنَدِ بالضَّعْفِ .
وإن كان لا يعرف هل سمع منه قبل الاختلاط أو بعده ، أو سمع منه قبل الاختلاط وبعده ولم يتميز سماعه منه ؛ ردت روايته وحكم على السند بالضعف ().
مثاله: عطاء بن السائب ثقة اختلط فروى عنه شعبة وسفيان الثوري وحماد بن زيد قبل اختلاطه ، وروى عنه جرير وخالد بن عبد الله وابن علية بعد اختلاطه ، وروى عنه حماد بن سلمة قبل الاختلاط وبعده.
[ب]- معرفة حال الراوي مع شيخه ؛ هل هو مضعف في شيخه أم لا ؟ فإن كان مضعفاً فالسند ضعيف كرواية سفيان بن حسين الواسطي عن الزهري ().
[ت]- معرفة حال الراوي في أهل بلد ما هل هو مضعف فيهم أم لا؟ ()
فإذا كان مضعفاً فيهم وروى عنهم فالسند ضعيف وذلك كرواية إسماعيل بن عياش عن الحجازيين فإنها ضعيفة ().
[ث]- معرفة حال الراوي في أهل بلد ما إذا رووا عنه ؛ هل هم ضعفاء فيه أم لا؟()
فإن كانوا ضعفاء فيه ورووا عنه فالسند ضعيف . وذلك كرواية الشاميين عن زهير بن محمد الخراساني فإنها ضعيفة.
5- معرفة اتصال السند من انقطاعه وفيه سبعة أمور :
الأول: إن كان رجال السند ثقات ، وصرحوا بالسماع ، أو بما يقتضيه فهو متصل().
الثاني: إن كان السند بالعنعنة أو نحوها ؛ فينظر : هل الراوي عاصر شيخه أم لا؟
فإن كان لم يعاصره فالسند منقطع .
الثالث: إن كان الراوي عاصر شيخه ؛ فينظر : هل لقيه أم لم يلقه أم لا يعرف ذلك ؟
فإن لم يلقه فالسند منقطع .
وإن لم يعرف فالأصل في الراويين المتعاصرين اللقيا والسماع ما لم توجد قرينة على عدم السماع كنص إمام معتبر ، أو عدم إمكان اللقِيّ لصغر سن راو لا يمكنه التحمل فيه ، أو اختلاف بلد مع التباعد وعدم الرحلة.
الرابع: إن كان الراوي لقي شيخه ؛ فينظر : هل سمع منه أم لم يسمع منه أم لا يعرف ذلك ؟
فإن لم يسمع منه فالسند منقطع .
وإن لم يعرف فالأصل في اللقيا السماع ما لم توجد قرينة على عدم السماع.
الخامس: إن كان الراوي سمع من شيخه ؛ فينظر : هل هو مدلس أم لا ؟
فإن كان غير مدلس فالسند متصل.
السادس: إن كان الراوي مدلساً وروى بالعنعنة أو نحوها عن شيخ سمع منه أو في حكم من سمع منه :
فإن كان نادر التدليس كأبي قلابة عبد الله بن زيد الجرمي أو غير مكثر منه كقتادة والأعمش وأبي إسحاق السبيعي حكم على السند بالاتصال ما لم يتبين خلافه.
وإن كان من المكثرين من التدليس كابن جريج في غير عطاء ، وكبقية بن الوليد توقف في اتصال السند وحكم بضعفه حتى يتبين حال السند من الطرق الأخرى.
السابع: إن كان الراوي عاصر شيخه وأمكن اللقاء والسماع ولم يعرف له منه سماع ولكنه مشهور بالإرسال فيحكم على السند بالانقطاع ،فإن كان غير مشهور بالإرسال فالسند متصل على الصحيح ما لم تأت قرينة تبين سماعه من عدمه .
نتيجة الخطوة الأولى:
إذا سلم السند من جميع العلل الظاهرة ، وثبتت عدالة الرواة وضبطهم ، وصح سماع بعضهم من بعض صحح السند ظاهراً.
وإذا وجدت علة من تلك العلل الظاهرة فالسند يرد ولا يقبل .
فإن كان الضعف الذي في السند قريباً محتملاً صلح للمتابعات والشواهد .
الخطوة الثانية:
1- تُطبَّق الخطوة الأولى على إسناد الحديث الذي يراد الحكم عليه بِدِقَّةٍ.
2- تُجمع طرق الحديث الواحد من مظانِّها .
أولاً: عن الصحابيِّ نفسه ؛ فتعرفُ المتابعة ،والمخالفة ، ويعرف الشذوذُ ، وتعرفُ العلَّةُ.
ثانياً: عن الصحابة الذين رووا الحديث نفسه –إن وجدوا أو أحدهم- وهي الشواهد ، ويُلْحق بذلك المراسيل ، والمعضلات ، والموقوفات والمقطوعات التي لها حكم الرفع .
ولصلاحية الحديث للشهادة شروط ؛ أهَمُّها : أن لا يكون شديد الضعف ، وأن لا يكون شاذاً ولا منكراً .
وتُطَبَّقُ الخطوة الأولى على جميع أسانيد المتابعات والشواهد والمخالفات .
تنبيه: للتخريج طرقٌ تعرف تفاصيلها من مظانِّها() .
3- جمع أقوال أئمة الحديث والعلل() كالإمام أحمد ، وابن المديني ، وابن معين ، وأبي حاتم ، وأبي زرعة ، وأبي داود ، والبخاري ، والترمذي ، والنسائي ، والدارقطني ، والخطيب البغدادي ، وشيخ الإسلام ابن تيمية ، وابن القيم ، وابن رجب ، والحافظ العراقي ، وابن حجر ، وابن الملقِّن ، وأحمد شاكر ، والألباني وغيرهم في الطرق التي تجمعها حتى يتيسر لك فهم طريقة الأئمة في النقد ، وكيفية الحكم على الأسانيد ، وحتى تستفيد من أقوالهم فيما أشكل عليك ، وحتى تعرف مقدار ضعفك أمام هؤلاء الأئمة الجهابذة .
4- هذا إجمال الخطوة الثانية وتحتاج إلى تفصيل وتحرير ، ولعل ذلك يكون في وقت قريب -إن شاء الله تعالى- .
5- اعلم أن الحكم على الحديث من أصعب الأمور وأشقِّها ، ولا يستطيعه إلا كبار المحدثين ، فتأنَّ في الحكم ولا تتسرَّعْ ، واجعل ما كتبته لك للتدريب والتَّمرُّس فقط حتى تتقن علم الحديث .
وأكثر القراءة في كتب مصطلح الحديث ، وعلله ، وتراجم رواته ، وتراجم الأئمة وفقني الله وإياك لِمَا يحبُّه ويرضاه .
والله أعلم وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين .
كتبه :
أبو زيد وأبو عمر أسامة بن عطايا العتيبي
() مثاله: طلق بن معاوية عن سفيان الثوري .. فيوجد بهذا الاسم شخصان: طلق بن معاوية النخعي تابعي كبير مخضرم ، وطلق بن معاوية بن يزيد من الطبقة السابعة.
Download Book Di sini !
Button Image Background by FreeButtons.org v2.0